Tahun 1895. Intan POV
Intan, namaku. Melambangkan permata yang berkilau. Sebuah cahaya bagi dunia. Harapan.
"Ibu, biar aku saja." Tangan lentikku yang berkulit sawo matang mengambil nampan berisi jajanan pasar dari tangan ibuku. "Ibu sedang sakit, sebaiknya istirahat dulu."
"Tapi kan kamu juga mau sekolah, nduk." Ibu tetap bersikukuh membawa nampan tersebut, tetapi aku dengan perlahan melepaskan tangan Ibu.
Mataku menatap Ibu dengan parau. Wajah yang sudah berkerut itu seakan tambah berkerut ketika mulut Ibu mengeluarkan batuk. Segera aku meletakkan nampannya dan meraih lap, memberikannya pada Ibu.
"Jangan berlagak seperti Ibu sudah berumur 50 tahun." Ucap Ibu di sela batuknya, perlahan duduk di kursi rotan favoritnya.
Aku terkekeh kecil, berjongkok sesopan mungkin di hadapan Ibu. "Masalahnya, Ibu memang sudah berumur 50 tahun. Dan sedang dalam kondisi sakit."
Ibu dan aku tertawa kecil secara bersamaan, saling menatap satu sama lain. Aku meletakkan kedua tanganku di lutut Ibu. Ibu pun meletakkan kedua tangannya di atas tanganku.
"Kamu ingat kan pesan Bapak sebelum meninggal?" tanya Ibu. Wajahnya berubah murung dalam sekejap.
Aku pun mengangguk antusias. "Berbuat baiklah kepada semua orang, maka kebaikan tersebut akan berbalik kepada kita." Aku tersenyum manis, memperlihatkan lesung pipi.
Karena gemas, Ibu mencubit pipiku, kami pun tertawa. "Benar, nduk."
Dengan itu, aku pamit dengan balutan kebaya putih serta jarik bermotif batik indah yang berwarna cokelat. Tak lupa nampan berisi jajanan pasar juga kubawa.
Tahun 1895. Masa penjajahan Belanda di Indonesia masih berlangsung. Sudah menjadi pemandangan biasa ketika melihat orang Belanda berkulit putih dan berpakaian elok nan formal berjalan-jalan di area kampung dengan seorang pribumi berkulit sawo matang dan berpakaian seadanya berjalan membawa barang-barang orang Belanda tersebut.
Aku tersenyum miris melihat pemandangan ini ketika keluar dari rumah kayuku.
Kedua mataku menangkap seorang wanita bergaun indah, berjalan dengan elegan di depan rumah. Pandanganku tertuju pada sepatu putih bersih berhak tinggi yang dihiasi dengan bunga, terlihat pas di kaki wanita itu.
Aku pun berpaling pada kakiku sendiri dan hanya bisa sabar menerima nasib. Aku tak pernah merasakan alas kaki yang nyaman. Kakiku bergantung pada sandal dari kayu rotan yang sudah menipis.
Namun itu tak mematahkan semangat.
Aku melangkah keluar rumah, menuju pasar. Aku tersenyum kepada siapapun yang kukenal, dan hanya yang pribumi saja.
Bapak selalu berpesan bahwa jangan pernah menyapa orang Belanda supaya tidak kena masalah. Lebih baik jangan. Pribumi seperti kita hanya perlu bersosialisasi dengan sesama pribumi.
Kakiku membawaku memasuki pasar yang ramai akan lautan manusia.
"Sugeng enjing, dek Intan." Sapa seorang ibu di balik kios pasarnya.
Aku tersenyum dan menyalimi tangan ibu tersebut. "Bu Tari sehat?"
"Sehat, nduk." Bu Tari melirik nampan yang kubawa. "Kok jajanannya lebih banyak dari yang biasanya. Ibu sudah sembuh to?"
Aku menggeleng, membuat rambut kepang duaku bergoyang. "Durung, bu. Masih masa penyembuhan. Jajanan pasarnya saya yang buat tadi malam, kebetulan Pak Bambang memberi bonus kiriman bahan karena sedang memperoleh untung banyak dari tuannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Silih Berganti
Mystery / ThrillerKorban yang sama. Tempat yang sama. Kasus yang sama. Masa yang berbeda. Bagaimana bisa 4 mayat muncul di sebuah sekolah secara bersamaan di 4 tahun yang berbeda? • 1895 : Intan yang sedang memperjuangkan martabat perempuan di masa penjajahan Beland...