Satu Telepon Mengubah Segalanya (WenJoy) [1]

18 2 1
                                    

Peringatan:
- Latar lokal.
- Joy: Sania, Wendy: Widya.
- Panjang BANGET. 3,5k!

×××××

Jakarta, 2018.

Hari yang sibuk untuk membersihkan rumah. Sudah hampir sejam wanita itu masih berkutat dengan alat-alat kebersihan. Sedikit lagi selesai. Hanya perlu sesi mengelap di lemari kaca dan penyimpanan lama.

Kini, dia mengelap lemari kaca. Isinya piala-piala anak gadis satu-satunya yang berprestasi, baik peringkat kelas, lomba sains yang dihitung sebagai bidang akademik, dan non-akademiknya ialah di perlombaan vokal. Semua itu didapatkan sejak putrinya baru menginjak kelas 1 SD. Namanya Nina Clarissa. Kini, putrinya sudah kelas 4. Wanita itu tersenyum bangga lalu menghela napas.

Dia teringat akan perkataannya beberapa hari yang lalu pada Nina.

"Kamu tuh jangan pinter-pinter amat. Bunda tuh capek harus ngebersihin piala kamu terus."

Wanita itu tertawa. Entah hal itu lucu lantaran reaksi anaknya yang cemberut atau miris. Miris karena dia di waktu kecil tak sama dengan Nina. Lebih pasif dalam belajar dan cenderung memilih asyik bermain dengan teman-temannya.

Setelah itu, dia beralih pada foto-foto di meja. Dari foto dirinya saat menikah dengan sang suami, saat dirinya dinyatakan hamil, waktu mengandung, hingga lahir dan tumbuh kembang Nina.

Satu tempat terakhir yang perlu dilap, lemari penyimpanan yang terletak di loteng. Wanita yang berbadan tinggi itu langsung melangkahkan kakinya ke lantai dua.

Loteng itu tak terlalu sering ditapaki. Namun, barang-barang yang tak terpakai masih dikemas rapi dalam kardus yang tersimpan di lemari. Dari koleksi novel-novel semasa dia SMA, perlengkapan sekolahnya semasa dulu, koleksi jam dan sepatu suaminya, sampai barang-barang bayi dan balita milik Nina. Untuk di luar lemari juga ada, seperti kereta dorong waktu Nina masih bayi dan sepeda Nina yang terabaikan mengenaskan karena kerusakannya sudah parah.

Ibunya pasti mengoceh lagi kalau dia masih menyimpan semua barang tak terpakai ini.

"Aduh, Sania! Kunaon kamu gak kasih ke tetangga atau dijualin ke tukang loak gitu? Rumahmu empet banget, kebanyakan barang!"

Sudah tak terkira berapa banyak Ibu selalu bilang mengenai hal yang sama. Namun wanita yang masih berpenampilan muda itu kepala batu. Alasannya mudah saja. Dia tak ingin barang-barang itu lenyap kenangannya ditelan waktu. Dia, Sania tipikal yang sangat menghargai bukan hanya secara ingatan. Namun dengan peninggalannya pula. Lagipula, yang barangnya memenuhi ruangan hanya di bagian loteng.

Tinggal dua kardus lagi, tiba-tiba bunyi berdebam jatuh ke samping yang mengagetkan dirinya.

"Ah, lupa ternyata masih ada kardus lagi bagian lemari paling atas. Kapan ya aku ngebersihin yang ini?" gumamnya sambil terkekeh.

Sania menghampiri dan membuka kardus itu. Dia terkejut. Seluruh badannya kaku. Mulutnya terkunci rapat. Semua yang seketika itu terjadi ketika melihat isi dari kardus tersebut.

Ini ... merupakan barang-barang saat dia masih menjalin kasih dengan mantan satu-satunya di SMA. Yang otak lugunya sempat berpikir kalau dialah yang sejatinya memiliki cinta di dada Sania.

Tangannya bergetar kala mengambil ponsel jadul yang berdebu parah, dulunya ramai digunakan pertengahan tahun 2000-an.

"Malam ini rasanya lebih menarik karena ... aku bisa ngobrol sama kamu."

Sania tak meminta untuk air matanya keluar ketika ucapan mantannya itu hinggap lagi setelah bertahun-tahun terbang bersama waktu. Namun, itu terlanjur terjadi.

Kita yang DiceritakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang