Satu Telepon Mengubah Segalanya (WenJoy) [2]

5 1 0
                                    

Semenjak malam itu, Sania merasa Widya makin gencar mendekatinya meskipun saat di sekolah dia tak menunjukkannya. Mungkin karena si tinggi minimalis ini tahu bahwa tradisi permusuhan antara klan IPS dan IPA akan selalu berlanjut. Sebaliknya juga sama.

Widya akan lebih sering menetap di warung sekitar sekolah dan meneleponnya intens, padahal tak ada yang penting bila Widya menelepon. Untung saja, Widya sangat sudi untuk membelikannya pulsa sebagai risiko dari aksinya.

"Kamu kunaon telepon saya terus, sih?"

"Emangnya kenapa?"

"Pake nanya. Pulsa saya cepet abis gegara kamu."

"Nanti aku beliin."

"Ngawur. Ngomong gampang pisan."

"Emang."

Sania sempat greget dengan Widya kala itu. Niat sekali mengejarnya. Loh, mengejar? Sepertinya kata itu tidaklah cocok, itu mengerikan. Seolah-olah seorang siswa perjaka buangan yang menaksir pada gadis paling cantik dan populer di sekolah. Baik dari Widya atau Sania, mereka bukanlah keduanya.

Widya bukan seorang buangan, gadis itu populer dengan sikap supel dan handal urusan bola. Sania juga bukan sosok yang mempunyai kecantikan yang mencolok, dia biasa-biasa saja. Lantas, sekali lagi, kenapa Widya sangat menginginkan kedekatan darinya?

Bruk!

Bila Sania sudah begini, tergilas melalui bayang-bayang gadis itu, realita yang dihadapi tak dipedulikan lagi. Dirinya ambruk di tengah khidmatnya nyanyian 'Bagimu Negeri' dari tiga lagu nasional yang dibawakan pada upacara pagi ini. Hal ini menyulut penasaran sebagian besar para peserta.

"E-eh, aya-aya wae kamu, San!" Rosa yang berada di belakangnya tanggap aksinya menyangga tubuh Sania yang sama jangkungnya.

"Ini PMR mana, sih?" Rosa menggerutu sembari mengipas wajah Sania.

Beberapa detik kemudian, petugas PMR datang, meletakkan tubuh Sania di tandu dan membawanya UKS.

Widya dengan tubuh pendeknya berusaha melihat dengan meloncat-loncat di antara kerumunan, siapa coba yang pingsan hingga buat gempar hampir seluruh barisan?

"Mungil! Kamu teh kunaon? Loncat-loncat gitu." Shella yang berada di depannya merasa risih. Dan panggilan 'Mungil' memang nama lain dari Widya yang diberikan oleh teman-teman sekelasnya dengan alasan tinggi badannya.

Widya berhenti meloncat dikarenakan kewalahan melompat untuk mengintip di antara kepala teman-temannya. "Itu kenapa? Rame amat."

Shella merespon. "Ada yang pingsan. Di barisan sana, anak 11 IPA 1, kayaknya."

Widya mengerutkan jidatnya. "Siapa? Cewek atau cowok?"

"Cewek. Rambutnya panjang."

"Namanya?"

Decakan lidah Shella berikan. "Banyak tanya kamu, Ngil. Emang dikira kamu, aku teh wartawan, hah?"

"Y-ya, gak gitu!"

Shella sudah kembali menghadap ke depan. Widya hanya bisa mendengkus, nanti saja dia tanyakan. Firasat tak sedap Widya rasakan. Entahlah.

Upacara akhirnya selesai. Widya bernapas lega. Dia agak menggerutu, dia tahu upacara bendera diadakan untuk menghormati para pahlawan yang telah gugur, hanya saja kakinya lelah dengan sia-sia cuma untuk berdiri setengah jam. Dan tentulah penyebabnya amanat pembina upacara yang berputar-putar di itu-itu saja. Lebih baik kakinya lelah untuk menendang bola, menurutnya.

Kita yang DiceritakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang