Begini.
Usiaku udah tiga puluh satu tahun. Karierku bagus dengan gaji lumayan. Ya memang lumayan. Tempat tinggalku nyaman meski jauh dari orang tua. Semua hasil kerja kerasku sendiri tanpa bantuan siapapun.
Hanya satu kekuranganku.
Aku belum memiliki pasangan. Satu kekurangan bisa menutupi semua kelebihan-kelebihan maupun pencapaianku.
Pertanyaan kapan-akan-memiliki-pasangan ini akan ditanyakan pada momen kumpul keluarga besar dua bulan lagi. Yang kesepuluh kali.
Bayangkan. Aku dipaksa menikah dari umur dua puluh satu tahun.
Tapi, tahun ini aku mulai mengalah.
"Yaudah, Ma. Aku mau dikenalin."
Kutarik napas panjang. Aku baru saja selesai shopping di daerah Pratunam, Bangkok. Posisiku sekarang ada di jembatan penyeberangan. Pemandanganku terpaku pada jalanan macet yang tak jauh berbeda dari jakarta. Tuk-tuk dan motor bahkan lebih ugal dari hari ke hari. Tangan kananku memegang ponsel, ada airpods di telingaku, sedang tangan kiriku penuh dengan beberapa kantong dan tas belanja. Besok, aku bahkan mau hunting barang-barang lucu di Chatuchak Market.
Itu keinginanku. Sebelum Mama menyebutkan keinginannya di telepon.
"Nggak buru-buru menikah. Kamu kenalan dulu. Kalau cocok ya lanjut, kalau nggak ya nggak apa-apa. Kamu mau kenalan dulu kan?" Desak Mamaku, yang entah kenapa satu bulan ini lumayan sering menanyakan apakah aku memiliki pacar atau tidak. Tahun-tahun sebelumnya, Mamaku bungkam.
"Mau, Ma," aku mengalah. Pernikahan pernah terpikirkan olehku tapi karena aku belum tahu siapa yang bisa kunikahi, jadi pikiran itu berlalu begitu saja. "Yang penting Mama nggak makan aneh-aneh lagi." Mamaku mengidap darah tinggi yang parah. Salah makan sedikit, berujung di rumah sakit.
"Minggu depan dia ke Jakarta. Kamu mau ketemu dia ya?"
Aku berpikir sejenak. "Aku pulang ke Jakartanya Senin malam."
"Jam berapa?"
"Sepuluh."
"Malam?"
"Iya."
"Mama minta tolong Elzein buat jemput kamu ya?"
Oh My .... Namanya Elzein?
Memangnya ada warga kampungku namanya sekeren itu?
"Nggak, Mam. Ini Jakarta. Jam sepuluh itu orang-orang baru keluar, lho." Aku berbohong. Orang-orang dengan jam kerja shift malam atau mau dugem tentu saja baru keluar malam. Sedangkan para pekerja nine-to-five, itu pun kalau nggak lembur tentu sudah pulas di kasur masing-masing. Atau lebih banyaknya, mereka masih diperjalanan pulang, melawan macet.
Akan tetapi aku tetap mempertegas bahwa aku akan mengikuti keinginan Mama. "Kalau dia ada waktu, mungkin Selasa sore aku bisa ketemu, Ma." Aku melanjutkan langkah. "Ma, aku mau jalan lagi, nanti dijambret kalau jalan sambil ngobrol begini."
"Ya udah, nanti Mama telepon lagi, Tanisha."
Aku tersenyum lebar. "Bye, Ma."
Aku masih senyam-senyum. Sadar bahwa sebentar lagi .... checklist-ku untuk pindah-karena-menikah akan terbuka lebar.
Umur-umur segini ... siapa yang menikah karena cinta?
TBC
Haii selamat datang di cerita baruku.
Sejak berapa lama ya aku hiatus? Sepertinya juga udah mau setahun sejak aku on-off on-off untuk menulis.
Semoga suka yaaa.
Note : cerita ini akan dipublish sekali seminggu
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To Love
RomanceUmur-umur segini, siapa yang menikah karena cinta? - Evelyn Tanisha. *** Evelyn Tanisha menerima perjodohannya dengan Elzein Daaris dan meninggalkan segalanya yang ia miliki di Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya, Tepian. Menikah tanpa cint...