Bab 2
"Siapa namanya?"
"Elzein?" Aku mencibir ketika menyebutkan namanya. Sumpah. Namanya terlalu keren untuk seseorang yang tinggal di Tepian. Baik. Sepertinya aku terlalu mendiskredit Tepian. Aku tahu banyak sumber daya manusia yang potensial di Tepian, tapi ketika itu nama .. aku benar-benar jarang sekali mendengar seseorang bernama Elzein. yang. hidup. di Tepian.
Alias, nama laki-laki yang dua jam lalu pergi berfoto latar biru di belakangku.
Kening Adiba makin mengerut. Aku hanya menahan tawa. Rupanya, waktu rasanya cepat berlalu. Hari ini, aku sudah berada si salah satu cafe di pinggir pantai Tepian, janjian bersama dua sahabatku dari sekolah. Meski ada beberapa tempat wisata baru atau tempat nongkrong baru, Tepian tetaplah Tepian yang memberikan perasaan yang sama setiap kali aku datang.
Rumahku berada di Kabupaten Tepian bahkan sudah mendekati kabupaten sebelah, bukan di pusat kabupatennya. Sedangkan kehidupan orang-orang di sini kalau nggak dekat pelabuhan, pastinya lebih memilih tinggal di Kota Tepian. Jarak rumah dan pusat keramaian di kabupatenku kurang lebih satu jam ... hmm satu setengah jam kalau musim liburan atau wisata. Biasanya wisatawan akan lebih ramai dan menyebabkan macet jika musim liburan sekolah, lebaran atau natal.
Rata-rata teman-temanku tinggal di dekat pelabuhan sehingga aku memutuskan untuk berkunjung dekat dengan rumah mereka saja. Meski berjarak setengah jam atau empat puluh lima menit, itu nggak membuatku mundur. Kami bisa dejavu mengulang kembali masa-masa sekolah, kami sering hangout di sini.
"Kenapa ya perempuan matang itu katanya harus menikah?" Selorohku sambil menyeruput matcha latte-ku. Dingin segar minuman ini sepertinya bisa mendinginkan kepalaku yang sudah nyeri karena terpapar teriknya matahari di Tepian. Pandangan di depanku adalah air laut yang tenang. Ia memantulkan cahaya sinar matahari sehingga tampak berkilauan.
"Kamu ngomong begini .... setelah menyepakati hari pernikahan?" Senna, sahabatku yang sudah berkeluarga, menanggapi. Dia bebas tugas dari bayi kecilnya sekarang karena sedang bersama Opa dan Oma. Tumben sekali Senna bisa ikutan, biasanya dia nggak bisa karena sudah berkeluarga.
Satu-satunya temanku yang available hanyalah Adiba, itu pun kalau dia nggak sibuk dengan pekerjaannya.
Aku mengembuskan napas malas. "Ya ... kalau nggak terpaksa juga aku nggak mau banget ini menikah. Kenapa perempuan dewasa harus diburu-buru dijodohkan dan menikah? Memangnya menjadi single semenyedihkan itu ya? Kalau kita happy menjadi single, kenapa orang tua nggak bisa mengerti hal itu?" Aku menyuarakan pendapatku dengan lantang. "Pernikahan juga belum tentu mendatangkan kebahagiaan, keamanan dan kenyamanan, kan?"
"Ada apa sih?" Tanya Senna penasaran. Meski kami selama ini berpisah daerah, Senna dan Adiba dua orang yang wajib kukunjungi selama di Tepian bersama beberapa teman SMA kami lainnya.
Aku berdesis. "Penasaran aja."
Adiba terkekeh. "Ini karena El nggak chat kamu sama sekali setelah datang di Tepian?"
Aku menyipitkan mata. "Kita ketemu kok tadi pas photo. Abis itu dia pergi. Aku yang nunggu hasil fotonya sama Mama dan ngurus segalanya di Kelurahan. Untungnya, orang kelurahannya temannya Mama."
"Foto latar biru?"
"Nggak putih," sarkasku. "Sekalian buat aku nyari kerjaan di sini."
Adiba langsung tergelak.
Siapa yang menggunakan latar putih untuk dijadikan foto di buku pernikahan?
"Kamu beneran mau resign? Sanggup hidup di Tepian? Gaya hidupmu kan, metropolitan banget sekarang." Senna berkomentar.
![](https://img.wattpad.com/cover/359996071-288-k693371.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To Love
RomantizmUmur-umur segini, siapa yang menikah karena cinta? - Evelyn Tanisha. *** Evelyn Tanisha menerima perjodohannya dengan Elzein Daaris dan meninggalkan segalanya yang ia miliki di Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya, Tepian. Menikah tanpa cint...