Bab 1
Apakah semua orang harus menikah?
Kenapa perempuan matang harus menikah?
Banyak hal yang seharusnya kupikirkan. Misalnya, bagaimana aku bisa menyelesaikan laporan tahunanku sebelum aku memutuskan resign atau apa yang harus kumakan malam nanti hingga nggak kelaparan. Seharusnya pikiranku nggak tertuju pada satu pertanyaan yang sebenarnya aku tahu jawabannya.
Pertanyaan terkait pernikahan itu kadang nggak penting tapi bisa membuat semua orang menoleh padamu, penasaran akan jawabanmu atau menunggu bagaimana reaksimu. Pernikahan bak sebuah mobil tank yang gagah dan berani di jalanan yang penuh dengan motor dan mobil biasa.
Pernikahan akan membuat dirimu naik derajatnya di mata masyarakat dan juga jatuh sekaligus.
Aku tahu bahwa seharusnya aku nggak memikirkan hal ini. Pertanyaan nggak penting itu datang begitu saja ke dalam kepalaku saat aku menenangkan diri dari tumpukan pekerjaan yang sudah dua minggu ini menghantuiku.
Ada empat market research yang belum kuserahkan pada Nauren. Si perfectionist itu meminta semua laporan itu sore ini sudah jadi. Sepuluh persen aku yakin bisa memberikannya, sembilan puluh persen aku enggan memberikannya tepat waktu.
Ciri-ciri karyawan mau resign itu memang malas-malasan.
Menurutku udah cukup pengalamanku sepuluh tahun di perusahaan ini. Aku udah seharusnya menapaki hal baru, yang mungkin nggak terpikirkan sebelumnya. Aku sudah seharusnya berada di tempat lain dan bukan di tempat yang memberiku kenyamanan namun nggak membawaku kemana-mana seperti ini.
Lalu ... apa rencana hidupku selanjutnya?
Apa itu? Pernikahan?
Bisa jadi, kan?
Usiaku matang untuk menikah. Semua keinginanku sudah terkabul semua. Aku punya notes terkait semua mimpiku dari usiaku masih muda, semuanya sudah terceklis dengan baik. Bahkan Tanisha muda nggak berpikir itu akan terjadi di awal umur tiga puluhan ini.
Satu-satunya yang belum tercapai adalah enyah dari perusahaan ini.
Sejujurnya perusahaan ini memperlakukan—menggajiku dengan baik. Apalagi setelah aku mendapatkan jabatan manajer lima tahun yang lalu. Semakin tinggi jabatanmu, semakin baik perusahaan memperlakukanmu. Itu benar adanya. Percaya padaku, aku sudah melewatinya.
Hanya saja, aku udah nggak memiliki waktu lagi. Akhir tahun adalah waktu terbaik atas rasa tanggung jawabku pada pekerjaan untuk keluar dari perusahaan ini. Jenuh juga banyak hal yang nggak bisa kujelaskan sudah terjadi yang membuatku merasa makin lama makin tercekik.
Aku sudah nggak bisa menunda lagi.
Selain itu, tanggal pernikahanku makin dekat.
Tapi aku bahkan sama sekali belum mengenal calon suamiku.
Sulit dibayangkan perempuan mandiri sepertiku harus menerima kenyataan bahwa orangtuaku sudah menjodohkanku.
Aku pun menerima begitu saja.
Cinta bukan satu-satunya landasan pernikahan. Aku bisa menjamin hal itu. Banyak hal yang bisa menjadi dasar atas pernikahan. Selain cinta, aku bisa mengusahakannya.
Lagipula aku juga yakin mau tidak mau aku pasti akan menyukai suamiku nanti. Bak pepatah jawa mengatakan, cinta datang karena terbiasa. Usiaku nggak mengenal lagi suka-sukaan era muda yang begitu polos dan lugu.
Aku yakin akan menyukainya. Entah harus mengenalnya saat ini atau nanti. Entahlah.
Sejujurnya aku nggak peduli dengan pernikahan ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/359996071-288-k693371.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To Love
RomanceUmur-umur segini, siapa yang menikah karena cinta? - Evelyn Tanisha. *** Evelyn Tanisha menerima perjodohannya dengan Elzein Daaris dan meninggalkan segalanya yang ia miliki di Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya, Tepian. Menikah tanpa cint...