Bab 1

1 1 0
                                    

Aku menulis ini sembari berusaha menahan perasaan yang sulit sekali aku ungkapkan. Aku marah, kesal, sedih, kecewa dan berbagai perasaan tak mengenakan lainnya. Aku putus asa usai melakukan dan mencoba berbagai macam upaya untuk mengembalikan naskah ceritaku yang hilang begitu saja. Sudah berbagai saran aku lakukan, melihat banyak tutorial di internet, bertanya sana sini. Nihil. Naskah itu tetap hilang. Naskah yang sengaja betul kubuat untuk mengenang tentang cerita aku dan dia. Meski naskah itu memang tidak akan pernah aku terbitkan, aku tetap ingin menyelesaikannya. Aku ingin setidaknya cerita kala itu tidak benar-benar hilang dalam ingatanku, tapi agaknya takdir menolak. Naskah yang berisi nyaris dua ratus halaman itu sebentar lagi rampung dan sudah melalui tahap edit. Entah kecerobohan mana yang tidak aku sadari sampai-sampai aku tak sadar kalau naskah itu sudah tidak ada di penyimpanan mana pun.

Tentu saja aku lemas seketika. Mau menangis pun tidak ada gunanya. Toh, naskah itu tidak akan bisa kembali. Aku juga sudah bertanya ke Mba Vena, salah satu penulis biasa saja yang karyanya cukup aku gemari. Dia malah menyemangatiku dan bilang itu tidak mungkin bisa dikembalikan. Hancur sudah. Upayaku menulis selama tiga bulan terakhir ternyata menghasilkan kepahitan yang nyaris sama seperti isi cerita di dalamnya. Lagi-lagi aku kalah. Hendak menulis ulang pun hatiku sudah tidak sanggup lagi, yang ada aku malah terus-menerus dibayangi dua kepahitan. Pertama, perihal dia dan yang kedua perihal naskah panjang yang tiba-tiba hilang begitu saja.

[Hanum, apa kamu sibuk?]

[Bagaimana kalau kita bertemu sebentar? Aku punya sedikit solusi untuk naskahmu yang hilang itu.]

Mataku langsung berbinar membaca pesan dari Mba Vena. Benarkah bisa di kembalikan? Jantungku semakin berdegup ketika bunyi panggilan itu tidak kunjung diangkat.

“Iya, halo Hanum. Bagai–“

“Betulan bisa, Mba? Mba Vena betulan bisa mengembalikan naskahnya?”

Aku bisa mendengar suara tarikan napas beratnya. Oh, baiklah. Itu berarti tidak bisa.

“Mba gak bisa bantu kembalikan naskah kamu, Hanum. Mba juga pernah di posisi itu dulu. Maksud Mba, bagaimana kalau kamu ceritakan semua cerita itu dari awal. Cukup bercerita saja, tapi sambil di rekam. Nanti Mba yang tuliskan ceritanya. Yah, mungkin gaya tulisannya bakal berbeda dengan gaya tulisan kamu, tapi setidaknya babad itu betulan ada bentuk fisiknya. Bagaimana?”

Aku terdiam cukup lama. Menceritakan kisah itu dari awal tidak sesulit menuliskannya, tapi tetap saja kenangan itu akan tetap terbayang. Juga tentang naskah yang hilang itu. Aku masih belum sanggup melakukan apa-apa.

Suara napas panjang Mba Vena lagi-lagi terdengar. “Tidak apa-apa, Hanum. Kamu pikir-pikir saja dulu. Mba kasih waktu tiga hari. Jika sampai tiga hari ke depan kamu belum memberi kabar Mba mau lanjut menulis naskah baru dan tentu saja tawaran itu hangus.”

Aku terdiam untuk kesekian kali. Bahkan saat Mba Vena pamit menutup telepon aku masih tetap terdiam. Aku masih belum rela naskah itu hilang. Naskah yang aku garap betul-betul dengan perasaan penuh. Naskah yang betul-betul di tulis apa adanya ceritaku. Naskah yang kelak akan menemani masa-masa lajangku yang panjang. Naskah yang begitu aku cinta karena perwujudan rasa yang tidak bisa menjadi nyata.

Aku tentu bisa-bisa saja menceritakan ulang cerita itu pada Mba Vena, tapi hanya secara garis besarnya. Aku tidak rela ada yang mengetahui detail ceritaku dengannya. Tidak. Tentu aku dan dia tidak pernah melakukan hal nista apa pun. Justru karena terlalu unik itulah aku enggan menceritakannya pada siapa pun. Aku tidak rela cerita itu menjadi konsumsi orang publik. Aku tidak rela kalau ada yang sampai terinspirasi dan membuat cerita yang hampir sama dengan ceritaku. Aku tidak mau. Aku ingin cerita itu cukup dinikmati oleh diriku sendiri. Aku memang egois. Sebab itulah dia hilang. Dan aku tidak berniat menghilangkan keegoisan ini. Aku ingin merawatnya menjadi sesuatu yang baik. Aku ingin menjadi egois untuk beberapa waktu. Sampai semuanya selesai. Sampai aku sembuh dan pulih egois itu harus aku pertahankan. Aku harus mementingkan diriku di atas segalanya. Itu harus.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEPERTI NAMAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang