PROLOG

5 2 0
                                    

[POV : Writer]

Gadis itu, iya, Jevriona Van Jiane, sedang mengemasi barang-barangnya.

Ia akan pindah ke Bandung, kembali ke tempat lahirnya. Karena Jakarta yang sebelumnya ia tinggali membuatnya frustasi.

Segala kenangan tentang lelaki itu menghantuinya dan setiap sudut di kota Jakarta membuat Jeva teringat padanya.

Sosok satu-satunya manusia yang membuatnya tidak merasa sendirian.

Jovan Arkeon.

Jeva menghembuskan napas panjang. Lalu berkata, "Gapapa, ini baru permulaan." Ia tersenyum pilu, entah meratapi apa.

Ia akan tinggal di daerah Pahlawan, Cikutra, Bandung. Menyinggahi rumah ayah dan ibunya yang kelewat besar. Sangat besar jika untuk ia tinggali seorang diri.

Mau Bandung, atau Jakarta. Keduanya membuat hatinya sakit. Namun gadis itu memilih tinggal di rumah almarhum kedua orang tuanya. Setidaknya ia masih bisa mengingat lagi, kala ia menghabiskan banyak waktu sebelum orang tuanya pergi.

Daripada singgah di Jakarta. Disana tempat orang yang ia anggap segalanya kini telah tiada. Kenyataan itu membuat hatinya berdenyut nyeri.

Ia menaiki bus malam dari terminal Jakarta, lalu keesokkan harinya sampai di Terminal Cicaheum, Bandung.

. . . . .

Sekarang pukul 03.00 WIB. Ini masih terlalu pagi. Gadis itu sebentar lagi sampai di Bandung. Dia terlihat sedikit bersemangat.

Kemarin ia berangkat sekitar pukul 23.00 WIB. Malam sekali bukan? Karena sebenarnya ia sudah memesan tiket dan jadwal keberangkatan pukul 19.00. Namun, bis tersebut memiliki kendala yang cukup parah sepertinya. Jadi keberangkatannya tertunda.

Penumpang lain mungkin enggan menunggu, jadi mereka pindah bis. Namun Jeva sendiri masih ingin mengenang Jakarta, ia memanfaatkan waktunya untuk jalan-jalan kemanapun di daerah sana.

Dia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia ke Bandung. Karena Bandung dan dirinya seperti belahan jiwa. Ia merindukan Bandung. Suasana, bau, keramaian, dan indahnya Bandung membuatnya merasa bahwa kota itu adalah awal dari segalanya.

"Udah lama ya, Bandung, kita ketemu lagi. Seneng banget." Gadis itu menggumam sumringah.

Dia lalu merogoh sakunya, mencari smartphone yang ia bawa, kemudian menulis diary di dalamnya.

Bandung.

Aku kembali lagi kesini. Tempat yang kutinggali sejak dini. Suasana Bandung sejak dulu adalah canduku. Dimana banyak taman asri, dan tempat indah yang melekat dihati. Aku rindu Bandung, sebab disini terlukis kehidupan awalku sebagai manusia dan kisah ku dengan papa mama.

Aku tidak mau berbohong pada diri sendiri lagi. Aku merindukan sosok dan kenangan dulu yang mustahil kembali. Jika Tuhan perkenankan, bolehkah aku meminta.. supaya kenangan orang yang kini telah pergi tidak lagi menghantui? Bisakah aku meminta untuk Tuhan hadirkan sosok baru, yang nanti tidak akan ku sebut pengganti, namun ku anggap terakhir kali.

(Jeva 20/02/25)

Dini hari itu, Jeva menapaki perempatan Pahlawan, ia lalu menunggu taksi online untuk datang dan mengantarnya ke rumah. Meski masih sangat pagi, para ojek dan supir taksi hilir mudik mencari penumpang.

Alasan ia tidak mau ikut taksi biasa atau ojek, adalah karena takut terculik. Bandung itu rawan, asal kalian tau. Jeva hanya mau menaiki taksi online karena ongkos dan arah tujuan sesuai aplikasi.

Aku tidak bilang bahwa Bandung itu berbahaya ya, tetapi lebih baik tetap waspada. Sepertinya tidak hanya di Bandung, dimanapun harus was-was.

Selepasnya gadis itu sampai, ia langsung membawa 2 koper besarnya ke dalam rumah. Menginjakkan kaki di teras rumah, lalu tersenyum sendu.

"Maa, Paa, Jeva pulang." Jeva berbicara seakan ayah dan ibunya masih ada di rumah. Padahal ia tau bahwa tak akan pernah ada jawaban atas salamnya itu.

Ia melihat betapa terawatnya rumah itu meski tidak ditinggali. Tentu karena Bi Devi dan pembantu lain yang mengurusnya.

Jeva lalu memasuki kamarnya. Lalu menjatuhkan diri ke lantai. Ia terisak, menangis sekencangnya karena tidak akan ada yang tau.

Padahal ia baru sampai, tubuhnya mungkin kaku karena perjalanan bis. Ia telah menguras tenaganya, sehingga kali ini yang terkuras adalah emosinya.

"Kalo aja.. gue ikut mati waktu itu..."

Gadis itu meremat pakaiannya, menahan dadanya yang sesak. Hatinya luar biasa perih.

"Gue ga akan sendiri disini."

"Egois banget matinya cuma berdua.. gue harusnya diajak juga..."

RAJEVA & BANDUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang