Hanya Ada Kericuhan

6 0 0
                                    

Seperti biasa, saat hari sudah siang dengan cahaya matahari yang terik itu terasa menyengat kulitku. Aku menuju rumah dengan ceria, begitu juga dengan kakiku yang melangkah dengan pasti seperti seorang anak pada umumnya yang tidak sabar mendapat jamuan nikmat dari ibu di rumah sepulang sekolah dengan rasa lapar dan haus. Begitu juga dengan selembar kertas ujian dengan nilai baik membuatku membayangkan pujian mereka yang membanggakanku setiap kali aku mendapatkan nilai bagus. Itu cukup membuat senyumanku mengembang di setiap langkah kakiku memasuki halaman rumah.

Namaku Fithra, Aku masih sekolah dasar, tentu saja aku belum cukup dewasa, aku juga anak tunggal, yang aku rasa hidupku sangat bahagia. Ibu dan ayahku selalu saja memanjakanku, tidak ada yang lebih menyenangkan lagi selain dimanja oleh mereka.

Dengan ceria aku mendekati pintu utama rumahku yang menjulang tinggi dan berwarna putih itu. Suara-suara aneh terdengar menyapa telingaku dari dalam rumah besarku. Aku berusaha menajamkan pendengaranku agar dapat mendengar dengan baik. Samar-samar aku mendengar teriakan ayah dan ibu di dalam sana.

"Apa mereka tengah bertengkar? Bukankah ayah dan ibu tidak pernah bertengkar?" ucapku dengan suara lirih, juga ekspresi wajah kebingungan dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan di kepalaku. Sayangnya aku tidak bisa memikirkan lebih jauh lagi untuk mendapatkan jawaban.

Aku berusaha memberanikan diri dan melangkah mendekati pintu utama yang tertutup rapat, membukanya dengan perlahan, tanganku semakin gemetar saat membuka pintu tersebut lantas mendengar teriakan orang tuaku dengan sangat jelas. Mereka tengah bertengkar hebat saat ini.

Aku mengintip pada celah-celah pintu yang aku buka, aku dapat melihatnya, aku dapat mendengarnya, suara-suara yang keras dan kasar itu memenuhi telingaku. Ayah dan ibu saling menghardik, aku lihat ibu menangis, dan dapat aku lihat ayah yang menampar wajahnya. Hatiku rasanya remuk, sakit tidak tersisa.

Pemandangan yang hampir tidak pernah aku lihat itu sejenak membuatku ketakutan, aku bergidik ngeri melihatnya. Sekalipun aku sama sekali tidak mengerti apa yang membuat mereka bertengkar hebat seperti ini.

Selama ini, aku hanya tahu jika keluarga kecilku bahagia, jika keluarga kecilku sangat rukun. Ya, walaupun ayah selalu sibuk bekerja di kantor, sehingga sangat sedikit waktu untuk aku atau pun ibu. Tapi, sejauh ini semuanya baik-baik saja.

"Diam! Beraninya kamu melawanku hah?!" Ayah berteriak dengan wajah merah padam, sedangkan ibu sudah tersungkur di lantai sambil terisak pelan.

Tubuhku lemas seketika, aku bahkan tidak dapat pergi dari sini, atau masuk dan melerai mereka berdua. Kakiku terasa bergetar hebat karenanya.

"Assalamualaikum."

Entah keberanian dari mana yang mendatangiku, aku mengucapkan salam dengan suara bergetar. Kedua orang yang tengah sibuk bertengkar itu melirikku yang berdiri di ambang pintu. Mataku memanas, aku ingin menangis, aku merasa sangat ketakutan saat ini.

Tidak ada jawaban dari dalam sana, melainkan ayah yang pergi meninggalkan ibu begitu saja yang masih terus terisak. Bahkan, sama sekali tidak menyapaku seperti biasanya. Aku merasa ayah mengabaikanku dan memilih masuk ke mobil meninggalkan rumah kami dengan keadaan kacau yang aku lihat.

"Waalaikum salam."

Akhirnya aku mendapatkan jawaban dari salamku. Itu ibu, ibu yang menjawab salamku. Dengan kaki yang bergetar aku mendekatinya, memeluknya dengan erat. Dapat aku rasakan saat ini air mataku jatuh membasahi pipiku.

"Hey, jangan menangis sayang. Ibu tidak apa-apa," ucapnya yang masih sedikit terisak, yang aku ketahui dia tengah menahan tangisnya.

Ibu menangkup wajahku, membelainya dengan lembut, kemudian menghapus air mataku yang maleleh itu. Aku melihatnya tersenyum kecil sambil membelai rambutku dengan sangat lembut seperti biasanya.

"Apa ayah menyakiti Ibu?" tanyaku berusaha memberanikan diri, meski dengan suara yang bergetar. Ibu menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Tidak sayang, ayahmu itu sangat menyayangi Ibu, ayah tidak akan tega menyakiti Ibu, sudah jangan dipikirkan soal tadi. Ayahmu hanya sedang marah. Sekarang, pergilah mandi. Ibu siapkan makan siang ya," ucapnya dengan lembut.

Aku mengangguk lemah, dan beranjak meninggalkan ibu di sana yang aku lihat sudah berdiri dari tempatnya dan meninggalkan ruangan tersebut menuju dapur.

Aku sendiri sudah masuk ke kamarku. Aku melihat diriku pada pantulan cermin di depanku, terekam jelas bagaimana orang tuaku yang tengah bertengkar hebat, mengingatnya membuat air mataku kembali meleleh.

"Tidak Fithra, kau tidak boleh menangis," monologku pada diri sendiri sambil mengusap kasar air mataku. Rasanya sangat perih, namun aku tidak boleh menangis, apalagi terlihat oleh ibu.

Tubuhku luruh pada lantai kamar dengan punggung yang bersandar pada pintu. Aku masih dapat mendengar kedua orang tuaku yang bertengkar di kepalaku. Lagi-lagi air mataku jatuh karenanya, aku diam meringkuk dengan memeluk lututku sendiri, menenggelamkan wajahku di antara kedua lututku, tubuhku bergetar seiring isak tangis yang keluar dariku.

Hingga akhirnya aku mendengar suara pintu yang berdebam dengan keras, bersamaan dengan suara ibu yang memanggil ayah. Sepertinya ayah kembali untuk mengambil sesuatu, kemudian kembali meninggalkan rumah. Aku memberanikan diri membuka pintu kamar, membuatnya terbuka sedikit untuk mengintip dan melihat apa yang tengah terjadi sekarang.

"Kenapa bisa menjadi seperti ini? Kenapa? Aku tidak pernah melihat mereka bertengkar seperti ini sebelumnya," lirihku mengusap habis air mataku.

Sejenak aku memikirkan beberapa hal  yang memicu pertengkaran keduanya, sekalipun aku tidak mendapatkan jawabannya.

"Fithra! Makan siang sudah siap, sayang! Ayo keluar, Nak!" Suara ibu terdengar nyaring menghentikan lamunan yang tengah aku lakukan. Aku segera bangkit, memperbaiki penampilanku dan menghampiri ibu di meja makan.

"Bu, aku ingin bertanya. Kenapa Ibu dan ayah bertengkar?" tanyaku pelan sambil mengaduk-aduk makananku, tanpa berniat memakannnya.

"Tidak apa-apa, jangan pikirkan. Sebentar lagi semuanya akan baik-baik saja," balas ibu dengan nada suaranya yang lemas dan sedikit serak akibat menangis.

~☆~

Bukan Rumah BerteduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang