Tidak Peduli

0 0 0
                                    


Ibu bilang semuanya akan baik-baik saja dengan keadaan yang akan pulih kembali. Namun, kenyatannya tidak benar. Aku tidak tahu apa yang tengah terjadi saat ini, ayah sudah hampir tidak kembali ke rumah. Aku merasa ibu kini menyembunyikan sesuatu, tapi aku sendiri tidak mampu untuk bertanya.

Itu semua karena aku melihat wajah sedih ibu setiap hari, dia sering melamun tanpa alasan. Bahkan, sesekali aku mendapati ibuku menangis sendirian. Dia hanya akan tersenyum di depanku yang jelas saja itu adalah senyuman palsu. Senyuman yang sangat aku benci dalam hatiku. Sedangkan ayahku tak kunjung pulang.

Aku memang masih terlalu muda untuk memahami masalah orang dewasa, namun melihat semua ini membuatku tahu jika semuanya tidak sedang baik-baik saja.

Aku terdiam sejenak, menaruh pulpen yang sedang kugenggam itu ke atas buku belajarku. Kakiku melangkah ke arah jendela, melihat sebuah mobil hitam masuk. Aku sangat kenal dengan mobil itu.

"Ayah?" gumamku saat melihat seorang pria gagah yang dulu selalu aku kagumi itu keluar dari mobilnya.

Melihat ayah yang masuk ke rumah membuatku berlari keluar, aku tidak ingin ayah menyakiti ibu lagi seperti tiga bulan lalu. Namun, langkah kakiku terhenti saat melihat kedua orang tuaku bertatap muka.

"Ada apa kamu datang ke mari, Mas?" tanya ibu dengan suaranya yang sedikit bergetar.

"Aku datang untuk mengambil anakku! Di mana Fithra? Mulai sekarang, aku yang akan membesarkannya."

Mataku membulat mendengar ucapan ayah, tubuhku menjadi lemas seketika. Sedangkan ibuku di sana masih terus mengelak tidak ingin menyerahkanku pada ayah.

"Fithra! Keluar kamu! Ayo ikut Ayah, ibumu itu tidak akan dapat membesarkanmu!" teriak ayah membuatku merasa marah dibalik rasa takut yang aku rasakan.

"Tidak, aku tidak mau ikut Ayah, Ayah jahat, Ayah sudah tidak sayang aku dan ibu lagi, Ayah jahat sudah buat Ibu menangis," ucapku lirih keluar dari persembunyianku.

"Kamu harus ikut Fithra!" bentak ayah.

"Tidak!" teriakku langsung membuka mataku, napasku terengah-engah, sedangkan pipiku basah, tanpa sadar aku menangis.

"Astaga, mimpi lagi," gumamku saat melihat jam yang sudah menunjukkan waktu pagi, dan aku harus segera berangkat ke sekolah. Dengan sedikit tergesa-gesa aku menyiapkan semua perlengkapan sekolah. Beranjak dari kamar.

"Selamat pagi sayang. Ayo sarapan sebelum pergi sekolah," sapa ayah yang selalu terdengar ramah di telingaku. Namun, nada ramah itu menjadi sesuatu yang sangat aku benci.

Tanpa peduli aku melangkahkan kakiku meninggalkan rumah besar tersebut. Membiarkan ayah yang kini hanya mengeluh di hadapan wanita yang sudah resmi menjadi istrinya sejak 2 tahun lalu.

Setelah 1 tahun lebih ayah bercerai dengan ibu, dia akhirnya menikahi wanita cantik yang aku sendiri tidak pernah menerimanya. Yang aku lakukan hanya mengacuhkan semua yang aku benci.

Tanpa membuang banyak waktu, aku menyalakan sepeda motor, membawanya melaju keluar dari pekarangan rumah, melaju dengan kecepatan sedang di jalanan yang cukup ramai dengan angin pagi yang terasa sejuk itu membelai tubuhku.

Setibanya di sekolah. Aku langsung berjalan meninggalkan sepeda motor yang sudah terparkir itu menuju kelas. Kebiasaan 3 tahun terakhir ini membuatku dikenal sebagai gadis nakal, dingin, dan sebutan lainnya yang sangat tidak enak di dengar.

Namun, mereka semua berkata benar. Penampilanku saja sedikit berantakan dengan rambut yang selalu dibiarkan tergerai begitu saja dan sedikit diwarnai merah di ujung rambut hitamku.

Bukan Rumah BerteduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang