31. Tiga Pertanyaan

757 80 8
                                    

"Jam segini baru pulang?"

Langkah Satya berhenti di anak tangga. Seluruh tubuhnya seketika membeku saat dia mengenali suara familiar itu. Pemikiran pertama yang terbesit di benaknya adalah meneruskan langkah dan secepatnya pergi ke kamar untuk beristirahat. Tetapi pikiran dan tubuhnya saling bertentangan, karena berbeda dengan pikiran, fisiknya mengingat dan tidak dapat membohongi diri sendiri.

Dengan usaha besar, Satya memaksakan diri untuk membalik badan dan menghadap sosok di belakangnya. Beberapa meter tak jauh darinya, Giro berdiri dengan kedua tangan tenggelam di dalam saku celana. Dia masih mengenakan kemeja dan setelan kerja.

Bukankah Giro baru akan pulang besok lusa? Mengapa ayahnya sudah ada di sini?

"Papa enggak inget kamu ada les dan bimbel hari ini," lanjut pria itu. "Kenapa baru pulang?"

Dibutuhkan seluruh keberaniannya untuk menatap mata Giro secara langsung. "Satya ada kerja kelompok tadi... Pa."

"Sampai semalem ini? Gimana ceritanya Papa sampai pulang lebih dulu dari kamu?" Tekanan pada kalimatnya semakin melimpah, beriringan dengan nada suaranya yang kian meninggi.

Malam itu masih pukul 10. Giro biasanya tiba di rumah pada pukul 12 malam jika tidak sedang keluar kota. Kalaupun ada, justru Satya yang seharusnya terkejut dengan kedatangan Giro yang jauh lebih cepat dari biasanya.

"Maaf, Pa." Itu sajalah yang dapat Satya utarakan.

Giro menatap putranya tajam. Pria itu berjalan mendekat, dan Satya mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan keinginan mundur. Jantungnya terus berdentum keras tanpa perintahnya. Satya bersyukur hanya dia seorang yang dapat mendengar detak jantungnya, namun sering kali dia curiga bahwa Giro juga dapat melakukannya, sebab apa pun yang ayahnya itu lakukan, dia selalu mempercepat lajunya berkali-kali lipat.

Rasanya seolah Giro yang mengendalikan jantung Satya alih-alih pemiliknya sendiri.

"Kamu enggak keliatan seolah kamu udah belajar," ujar Giro tajam.

Satya mendongak cepat. Wajah tidak suka ayahnya itu mengirim sensasi ngilu ke seluruh tulangnya. Belajar? Belajar apa--

Oh.

"Sampai kamu akhirnya belajar kesalahanmu, kamu tetap di sini."

"Apa dirawat inap sama Dokter Pram bikin kamu jadi lebih santai?!" Giro mendengus kecewa. "Seperti biasa, kamu nggak tau diri dan memanfaatkan kebaikan Papa seenaknya. Apa kamu bahkan bakal mengulang kesalahan yang sama? Hancurin aja reputasi Papa sekalian!"

Satya menggeleng secepatnya. "Nggak, Pa. Satya... janji nggak akan melakukan kesalahan yang sama lagi.

Dia tidak tahu apakah itu akan meyakinkan Giro atau tidak, namun ayahnya terdiam setelahnya. Keheningan tersebut membuat Satya kembali sadar dengan rasa pusing konstan yang sejak tadi mengganggunya. Bagian belakang kepalanya berkedut-kedut tanpa henti.

"Kantor Papa. Sekarang," final Giro.

Pria itu melewati Satya di tangga dan naik ke lantai atas. Bahu Satya terjatuh dan dia menarik napas dalam. Dengan menghilangnya sosok sang ayah di depannya, dia kini dapat bernapas dengan lega. Kendati demikian, perintah Giro menyikut rasa takutnya. Bahkan sebelum terjadi apa-apa, seluruh tubuhnya terasa sakit. Dia pun juga belum pulih dari migraine yang terus meremas otaknya.

Dengan berat hati, Satya ikut naik ke lantai atas. Dia sengaja meletakkan tasnya di kamarnya terlebih dahulu sebelum berjalan menyusuri lorong ke kantor ayahnya. Pintu cokelat tua itu besar dan terasa jauh. Satya sengaja menunggu selama tiga detik penuh untuk mengatur napasnya sebelum mendorong pintunya terbuka.

To the Moon and Back [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang