Anak Kelima

9 0 0
                                    

Pengorbanan Ayesha

Bab 1: Anak Kelima

“Diminum dulu kopinya, Mas….” Uap harum mengepul dari cangkir yang kuletakkan di atas meja marmer, berdampingan dengan sepiring chocolate cake juga buatanku sendiri.

“Terima kasih, Sayaaang….” Tak sabar Mas Ega langsung mengangkat cangkir dan menyesap minuman hangat di dalamnya. “Mmmm… Kopi bikinan kamu memang juara, Sha. Kamu tahu kan, aku sudah banyak menikmati kopi di café-café terkenal.  Dan kopi ini rasanya jauuuh lebih enak daripada kopi-kopi itu. Kuenya juga maknyus.” Mas Ega mengacungkan jempolnya tinggi.
Kalau hatinya sedang senang, atau malah ada maunya, bibir Mas Ega sangat lancar melontarkan pujian. Lebih dari sepuluh tahun menikah, aku sudah hafal baik dan buruk tabiat suamiku.

Aku tertawa kecil. Senang melihat Mas Ega menikmati kue buatanku dengan lahap. Sungguh sore yang indah. Kami sedang menikmati waktu bersama anak-anak di halaman belakang rumah yang super luas.  Empat orang puteri kecil kami sedang bermain bebas di halaman yang dilengkapi dengan kolam renang dan beberapa permainan anak-anak.

Tumben hari ini Mas Ega pulang lebih cepat, biasanya lewat tengah malam dia baru sampai rumah. Aku hampir tidak pernah protes dengan kesibukannya. Maklum sekali dengan aktivitas padat Mas Ega sebagai seorang pengusaha sukses.

Karena berkat kerja keras Mas Ega, maka aku dan anak-anak bisa tinggal di rumah besar dan nyaman. Mas Ega juga menyediakan sederet mobil dan sopir untuk mengantar kami bepergian kemana saja,

“Nggak terasa ya, Mas. Dayana sudah hampir dua tahun. “Sebentar lagi Dayana boleh makan MPASI.” Senyum lega terukir di wajahku karena berhasil memberikan ASI eksklusif selama dua tahun. Bukan hal yang mudah karena aku juga masih disibukkan mengasuh tiga orang kakak Dayana.

Pandanganku tertuju pada anak bungsu kami. Tawa Dayana terdengar riang. Bocah kecil itu sedang berlari-lari di sekitar kolam ikan, diawasi pengasuhnya. Rambutnya yang dikuncir dua melambai-lambai setiap kali dia melompat.

“Wah benar juga kamu. Kalau Dayana sudah dua tahun, berarti kita bisa nambah lagi dong.”

“Nambah apa, Mas?” Aku terkejut setengah mati. Pasti ekspresi terkejut tergambar jelas di wajahku.

“Ya, nambah baby lagi dong sayang…. Kita kan belum punya anak laki-laki.” Mas Ega mengedipkan sebelah matanya. “Mumpung kita belum terlalu tua untuk punya bayi lagi.”

Sebentar lagi Mas Ega menginjak usia empat puluh tahun. Aku lebih muda lima tahun darinya. Sesungguhnya kami masih termasuk dalam usia ideal untuk mendapatkan keturunan lagi. Tapi bukan itu masalahnya.

Sungguh aku berharap Mas Ega hanya bercanda. Baru saja aku lega bisa selesai memberikan ASI eksklusif untuk Dayana. Sederet rencana aktivitas pribadi sudah kurancang. Mulai bekerja mungkin, atau menekuni hobi yang selama ini terabaikan karena kesibukanku mengurus anak-anak. Semua rencana-rencana itu pasti berantakan kalau aku hamil lagi. Bukannya aku menolak rezeki dari Yang Maha Kuasa. Tapi hamil lagi setelah empat kali Operasi Caesar, aku pikir bukanlah pilihan yang bijaksana.

Mataku mengerjap tak percaya beberapa kali. “Serius, Mas? Kamu pingin punya anak lagi? Kita sudah punya empat orang puteri loh. Mereka semua anak-anak yang sehat dan pintar.” Aku mengingatkan, siapa tahu Mas Ega lupa. Ada Vania yang sudah berusia sepuluh tahun, lalu Erlina yang baru tujuh tahun dan Sophia empat tahun. Juga si bungsu Dayana.

“Sangat serius, sayaang….” Jemari Mas Ega memeluk tanganku hangat. Pandangannya mesra. Tapi mengapa aku malah merasa dingin merambati punggungku? “Kamu tahu kan, aku anak lelaki satu-satunya papi dan mami. Kalau aku nggak punya anak lelaki berarti keturunan Hadinata akan terputus. Lagipula pada siapa seluruh bisnis dan aset akan kuwariskan kalau kita hanya punya anak perempuan?”

Mendadak helaan napasku begitu berat. “Mas, sekarang ini zaman modern. Laki-laki dan perempuan punya kemampuan yang sama. Aku yakin anak-anak perempuan kita juga nanti bisa menjadi pengusaha sukses seperti kamu.”

“Nggak bisa, Ayesha! Pokoknya aku ingin punya anak lelaki!” Mas Ega selalu memanggil nama lengkapku bila sedang kesal.

Cepat genggaman Mas Ega terlepas. Dia melipat tangan di depan dada. Mukanya masam. Seperti biasa yang dia lakukan saat suasana hatinya tidak enak.

Aku sudah terbiasa menghadapi mood Mas Ega yang cepat berubah-ubah. Tinggal dengannya serupa dengan naik wahana roller coaster. Suamiku itu bisa dengan cepat berubah senang, marah atau sedih hanya dalam hitungan detik.

“Tapi… Mas. Aku sudah empat kali Operasi Caesar loh. Kehamilan kelima akan sangat berisiko.” Aku menggeser posisiku hingga kami duduk lebih berhimpitan. Kurebahkan kepalaku di pundak Mas Ega. Sentuhan fisik selalu mampu meredakan emosi Mas Ega. Terbukti tangannya kini menyusuri helai-helai rambutku yang halus.

“Itu hanya mitos, Sha. Dulu mungkin seperti itu. Tapi aku yakin sekarang dunia kedokteran sudah sangat maju. Pastilah banyak dokter yang bisa membantu kamu melewati kehamilan kelima dengan lancar,” ucap Mas Ega seolah lebih tahu daripada aku yang memiliki gelar dokter umum.

“Memang teknologi kedokteran sudah lebih maju, Mas. Tapi tetap saja bahaya untukku. Banyak risiko komplikasi yang mungkin terjadi. Kasihan anak-anak kalau sesuatu yang buruk terjadi padaku.”

“Jangan memikirkan hal-hal yang buruk. Kamu harus optimis. Bayangkan saja yang indah-indah. Pasti menyenangkan kalau ada bayi laki-laki hadir dalam keluarga kita. Kamu kan senang anak-anak. Ingat deh betapa bahagianya kamu waktu Dayana lahir.”

Seakan ada beban berat menumpu di pundakku. Memaksaku menunduk menatap hamparan tebal rumput hijau.

“Sudahlah jangan langsung menolak keinginanku ini, Sha. Kamu pertimbangkan dulu baik-baik. Konsultasi dengan dokter-dokter ahli. Baru setelah itu kita ambil keputusan.” Suara Mas Ega dingin sekali.

“Baik, Mas. Akan aku pikirkan.”

“Bagus. Sori, kamu teruskan saja mengawasi anak-anak main. Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan.” Mas Ega berdiri dan melangkah masuk rumah.

Pengorbanan Ayesha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang