Alasan

9 0 0
                                    

Sejak acara makan malam tempo hari, hidupku tak pernah tenang lagi. Setiap pagi Mami menghubungi lewat ponsel. Ia mengajak, setengah memaksa malah, untuk konsultasi dengan dokter kandungan tentang rencana aku dan Mas Ega untuk menambah anak.

Setiap kali juga aku mengajukan alasan untuk mengelak dari ajakan Mami pergi ke dokter. Aku berniat mengulur waktu, karena masih berharap Mas Ega akan berubah pikiran. Tidak lagi mengharapkan kehadiran anak kelima mengingat begitu banyaknya risiko kesehatan yang bisa terjadi padaku.

Pagi itu aku baru saja selesai melepas anak-anak pergi ke sekolah. “Daah… belajar yang baik di sekolah ya….” Aku melambaikan tangan pada mobil yang membawa Vania, Erlina dan Sophie menuju sekolah. Senyum lebar terlukis di wajahku melihat mereka balas melambai dengan seru.

Sambil menggandeng Dayana, aku melangkah masuk kembali ke rumah, lega karena kehebohan yang terjadi setiap pagi baru saja usai. Menyiapkan seragam, buku dan keperluan sekolah lainnya untuk tiga orang anak selalu jadi kegiatan seru, walaupun ada pengasuh yang membantu.

“Mbak, tolong pegang Dayana dulu.” Aku meminta bantuan baby sitter pengasuh Dayana karena ponselku berdering nyaring. “Halo, Mi.”

“Ayesha, hari ini kamu nggak sibuk kan? Mami sudah buat appointment. Kita konsultasi ke dokter Winarto tentang rencana kehamilan kamu,” terang Mami panjang setelah mendengar aku menyapa.
“Hari ini, Mi? Aduh, agak mendadak ya.” Aku kaget sekali. Tidak menyangka Mami akan bergerak secepat ini. Baru semalam kami membicarakan soal program kehamilan yang akan aku jalani. Pagi ini dia sudah membuat janji untuk bertemu dokter. Padahal aku sendiri masih belum memutuskan langkah yang akan kuambil.

“Katanya minggu depan kamu nggak bisa. Ya sudah Mami percepat jadi hari ini. Ingat, ini masalah penting Ayesha. Jangan ditunda-tunda. Kamu tahu Ega sangat mengharapkan kehadiran anak lelaki dalam pernikahan kalian. Jangan sampai suamimu berpaling dan meminta anak lelaki dari wanita lain gara-gara kamu menolak hamil lagi. Maaf ya, Mami hanya ingin membantu mengingatkan.” Ada nada mengancam di suara Mami.

Aku tertegun. Benarkah Mas Ega tega berbuat seperti itu? Menjalin cinta dengan wanita lain dengan alasan menginginkan anak lelaki? Buru-buru kuusir pikiran buruk itu. Tidak baik menaruh prasangka pada suami sendiri.

Pelan aku menghela napas pelan, supaya Mami di seberang sambungan telepon tidak mendengarnya. “Terima kasih, Mi. Tapi hari ini sepertinya aku juga nggak bisa. Ada agenda rapat orang tua murid di sekolah anak-anak.” Ini alasan pertama yang melintas di benakku untuk menolak ajakan Mami. Tentu saja Mami tidak mau begitu saja menerima alasan ini.

“Aduh, batalkan saja dong, Sha. Rapat seperti itu kan sama sekali nggak penting.”

“Tapi aku kordinator kelas, Mi. Rapat nggak akan jalan kalau aku nggak hadir.”

Mami mendengkus keras. Kesal. “Oke, jadi kapan kamu punya waktu luang untuk pergi ke dokter? Jadwal Dokter Winarto itu padat. Nggak gampang bisa konsultasi sama dia. Kamu beruntung karena Mami kenal baik dengan Dokter Winarto. Jadi kapan saja kamu mau konsultasi bisa didahulukan dari jadwal pasien lain.”

Aku merasa tersindir karena Mami menekankan kata luang. Tapi mau bagaimana lagi. Terus terang aku belum siap untuk menjalani kehamilan lagi karena proses mengandung bukan hal yang mudah kujalani. Empat kali hamil, aku selalu mengalami rasa mual yang hebat di bulan-bulan pertama. Hampir tidak ada makanan dan minuman yang mampu mengisi lambungku. Apapun yang kutelan akan segera keluar lagi. Tubuhku lemas karena kekurangan makanan dan cairan. Terpaksa jarum infus ditancapkan di lenganku untuk mengantarkan nutrisi.

Terbaring berbulan-bulan di ranjang tempat tidur rumah sakit, dengan infus di tangan, pasti bukan hal yang menyenangkan bagi seorang calon ibu. Apalagi saat menjalani kehamilan kedua sampai keempat. Aku harus meninggalkan anak-anak di rumah. Pikiranku jadi bercabang karena harus terpisah dengan mereka yang masih kecil-kecil.

Mengatasi rasa mual bukan satu-satunya masalah yang mengganggu. Selama hamil aku tidak bisa bebas melakuan berbagai aktivitas ringan. Kandunganku lemah. Terlalu aktif sedikit saja, perdarahan jadi ancaman yang selanjutnya harus kuhadapi. Jadi meski tidak lagi diinfus, tetap aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur.

Selama berbaring di ranjang rumah bahkan rumah sakit, aku juga kehilangan banyak waktu bersama anak-anak. Aku tidak lagi bisa bebas bermain dengan mereka. Jadi kehilangan kesempatan untuk mengasuh anak-anak. Kasihan mereka karena harus puas hanya melakukan berbagai aktivitas bersama para pengasuh.

Pandanganku menerawang memandang Dayana yang sedang berjalan-jalan santai di taman depan rumah bersama pengasuhnya. Baru dua tahun usia Dayana. Masih usia emas yang memerlukan pengasuhan ibunya. Aku sendiri belum puas mencurahkan perhatian dan kasih sayang untuknya.

“Cepat tentukan jadwal konsultasi, Sha. Kamu nggak boleh menganggap sepele pemintaan Ega. Ega bisa marah kalau tahu kamu terus-terusan menolak pergi konsultasi ke dokter.” Mami terus mendesak. Seperti pemburu yang menyudutkan mangsanya. Bahkan aku menangkap ancaman halud di kata-kata Mami.

Aku menangkap ancaman halus di kata-kata Mami. “Bukannya aku nggak mau, Mi,” jawabku dengan nada membujuk. Gawat kalau Mami sampai mengadukan masalah ini ke Mas Ega. Jangan sampai Mas Ega panas hati dan jadi emosi. “Nanti aku sesuaikan dengan jadwal kegiatanku dulu. Pasti aku akan langsung menelepon Mami begitu ada jadwal kosong.”

Lega hatiku karena Mami tidak lagi memaksa. Dia langsung memutuskan hubungan setelah sedikit berbasa-basi kaku. Tapi ternyata desakannya tidak juga berhenti. Keesokan harinya Mami kembali menelepon. Dan aku lagi-lagi berhasil mengajukan alasan.

“Maaf, Mi. Hari ini aku nggak bisa pergi ke dokter. Ada acara bakti sosial dengan Ibu Gubernur.” Aku tidak bohong. Rencana ini memang sudah dirancang jauh-jauh hari. Dan pastinya Mami mengalah tidak memaksa. Bagi keluarga Mas Ega, membangun koneksi dengan pejabat adalah urusan penting. Tidak mungkin Mami memintaku membatalkan hadir di acara yang dihadiri pejabat.

Di hari lain, Aku mengajukan alasan harus mengantar Vania ke dokter gigi. Lalu memberi alasan akan mendampingi Mas Ega di acara bisnisnya. Beberapa kali aku berhasil menolak ajakan Mami. Begitu terus sampai telepon Mami terhenti.

Sayang kelegaanku tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah Mami tidak lagi meneleponku, Mikha datang ke rumah. Saat itu aku sedang menemani Dayana di kamar bermain.

“Mikha? Ada apa? Mami sehat kan?” tanyaku kaget, bergegas berdiri dan menghampiri Mikha yang berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada.

Pengorbanan Ayesha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang