1 Shooting Star

269 31 0
                                    


Tembus 771 Kata

°•°•°

Hari yang melelahkan, dan selalu melelahkan bagi pemuda yang kelaparan dan tidak punya uang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari yang melelahkan, dan selalu melelahkan bagi pemuda yang kelaparan dan tidak punya uang. Beratapkan gubuk reyot hasil warisan, apa yang bisa Jimin andalkan selain dirinya sendiri. Meski tidak ada kepercayaan didalam sana, sialnya ia memang hanya punya dirinya.

Sangat kesepian.

Dirumahnya, debu-debu akan terus berterbangan setiap Jimin lewat. Tersapu angin dari tiap langkahnya. Seminggu sekali itu wajib untuk jadi rajin. Setidaknya bisa membuat satu-satunya harta benda miliknya tidak berubah jadi penampungan sampah hidupnya. Takut tambah kumuh dan tampak semakin sengsara saja nantinya. Kemiskinan yang sekain parah.

Manusia mana yang mau menunjukkan kekurangan. Orang lain tidak akan iba, malah tertarik menghina.

Beberapa cup mie instan yang berjajar berantakan diatas meja, kaleng-kaleng minuman bersoda, sampah samgak kimbab, Jimin membuangnya sekaligus kedalam tempat sampah. Me-lap seluruh permukaan meja. Menyingkirkan debu dan bau dari kuah mie basi.

Memang seberantakan ini kesehariannya. Pemuda yang tidak cukup waktu untuk membenahi diri. Terlalu sibuk mencari pundi-pundi uang untuk menyambung kehidupan.

Tidak butuh waktu lama sebenarnya untuk menyelesaikan semuanya. Yang penting ada niat dan pergerakan. Lagipula pengalaman Jimin jadi pegawai sortir paket membuat gerakannya terbiasa cepat dan teliti. Ada untungnya juga jadi buruh kebutuhan. Setidaknya ia gesit dalam melakukan sebuah hal.

Tidak banyak yang berubah semenjak satu-satunya keluarga yang tersisa dalam hidup Jimin memilih pulang ke rumah Tuhan. Alasannya simple, tidak tahan katanya. Dunia kejam, kehidupan dari hari ke hari seperti memberikan cengiran setan. Pada akhirnya menyerah kelihatan mudah.

Kata mati mungkin kedengaran sederhana, atau lebih mudah dilakukan daripada tetap bertahan.

Padahal Jimin juga manusia, sama seperti Ibunya. Tapi bukannya berenang-renang bersama ketepian, Ibu malah memilih tenggelam. Membiarkan Jimin melawan arus kehidupan sendirian.

Tak apa, Ibunya berhak mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri. Meskipun Jimin tidak masuk dalam bagian yang penting untuk dipertimbangkan. Sebagai seorang anak tentu ia kecewa.

Beban yang membuat Jimin tetap punya sisi terang dalam singkatnya akal hanya satu, mati bunuh diri itu dilarang. Dosa besar, dan bukan katanya. Jimin pikir, jika memang dunianya begitu mengerikan setidaknya alam baka mau menampungnya ditempat yang lebih baik. Jimin berusaha tetap berpikir lurus.

Tata letak barang-barang masih sama, perabotan yang tidak bertambah, mungkin ada beberapa yang terjual untuk kebutuhan hidupnya. Seluruh biaya bertahan dengan nasib buruk, sampai kini masih berusaha Jimin tekan supaya cukup hanya dengan gaji kerjanya yang tidak seberapa.

Ayolah, Jimin masih diumur wajib sekolah. Orang mana yang mau menggaji pelajar seret biaya dengan gaji yang tinggi. Terlalu beresiko, sentimen masyarakat sangat miring kalau soal pekerja dibawah umur.

Bisa diterima dalam satu job saja sudah luar biasa. Meskipun paruh waktu.

Padahal, tidak semua orang mampu. Jimin lebih bangga jikalau ia bisa belajar tanpa harus membuat kepala orang tuanya jadi kaki atau sebaliknya. Sayangnya, itu cuma harapannya saja. Disamping hidupnya yang sebatang kara, mengambil tiga pekerjaan dalam sehari menguras cukup banyak tenaga. Mana sempat Jimin belajar seperti remaja seusianya.

Pilihannya hanya dua, tetap sekolah dengan perut kosong atau putus sekolah dan tetap hidup. Jimin hanya mengambil keputusan yang lebih dibutuhkan dalam hidupnya sekarang, kebanding menuruti egonya untuk bisa seperti orang yang sepantaran dengannya.

"Huft.." mengikat bagian atas dari kantung sampah. Jimin sudah usai dengan pekerjaan berbenahnya. Memang rumahnya tidak terlihat seperti barang mengkilat meskipun sudah dibersihkan, tapi setidaknya tidak ada debu. Aura dari rumah bersih tidak akan bohong meski bentuk rumahnya tidak bagus.

Melirik sekilas pada jam dinding. Siang nanti Jimin harus bekerja, ia masih punya waktu setengah jam lagi untuk siap-siap. Supaya tidak terulur terlalu banyak, Jimin buru-buru keluar dari rumah dengan membawa kantung sampahnya. Tempat pembuangan sampah tidak begitu jauh, mungkin sekitar sepuluh menit ditempuh jalan kaki. Kalau malas, biasanya mulur jadi lima belas menit. Untungnya Jimin mengedepankan on-time daripada rasa lelahnya.

"Yya! Matamu dimana!" Jimin langsung tersentak seketika. Ia sudah berusaha menghindar saat tiba-tiba seseorang muncul dari belakang mobil box dan hampir menabraknya. Tapi agaknya, pria itu berpikir Jimin tidak memperhatikan langkahnya sendiri, "Augh! Dasar anak jaman sekarang."

Padahal Jimin sudah minta maaf meskipun ia merasa bukan murni kesalahannya. Jimin mana lihat tadi, pria itu tiba-tiba muncul begitu saja tanpa aba-aba. Nasib baik Jimin punya refleks yang lumayan bagus.

Tidak mau memperpanjang, Jimin kembali melanjutkan langkahnya setelah membungkuk untuk terakhir kalinya. Ia sempat memaku pandang pada rumah disamping mobil box tadi, 'Sepertinya ada yang pindah.' rumah yang sudah kosong lebih dari satu tahun itu akhirnya ada penghuninya juga. Jimin jadi tidak perlu takut kalau harus lewat didepan rumah itu malam-malam.

Tinggal berjalan sekitar 100 meter lagi hingga akhirnya sampai. Jimin membuang sampahnya sesuai prosedur pemilahan sampah ramah lingkungan, "Beres."


Hanya tinggal urusan pekerjaan.

Hayo, Siapa yang menunggu, wajah baru dari When The Stars Fall?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hayo, Siapa yang menunggu, wajah baru dari When The Stars Fall?




Written by
Minminki



WHEN THE STARS FALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang