Aku tidak terlalu suka kopi. Aku meminum kopi jika aku ingin. Tidak menjadikannya sebagai suatu kebutuhan. Tapi, hari ini aku berakhir dengan secangkir kopi di tanganku. Kopi panas tanpa gula.
"Kau tidak memandu turis keliling galeri, Jun?"
Suara yang sangat dalam langsung mengagetkanku. Ketika aku menoleh ke kanan, George-bosku yang berusia lima puluhan-sedang menatapku gemas.
Aku menggaruk bagian belakang kepalaku bingung. "Sebenarnya aku baru saja memandu tiga belas turis dari Perancis dan Scotlandia, Sir. Aku cuma beristirahat sebentar sembari menunggu galeri tutup."
George mengangguk kecil lalu memandangi jam tangannya. Sekarang pukul 5.23 sore. Jam enam tepat galeri akan tutup. Dan sepertinya George memahami alasanku.
"Baiklah. Kurasa kau ada benarnya juga. Terima kasih untuk hari ini. Kau bekerja dengan baik." George menepuk pundakku pelan lalu berjalan meninggalkanku.
Aku tersenyum kecil melihat George berjalan meninggalkanku. Sekarang aku kembali berfokus pada kopi dan salah satu lukisan surealisme yang menggantung di dinding.
"Aku tidak terlalu paham seni."
Dobel kaget. Bisa saja aku menumpahkan kopi panas ke tanganku saat mendengar suara dari arah kiriku dengan tiba-tiba. Ketika aku menoleh ke arah suara itu datang, aku mendapati wanita yang tidak asing berdiri di sebelahku sembari menatap lukisan dengan bingung.
"Maharani?" Aku terdengar tidak yakin.
Maharani mengangguk lalu menoleh kepadaku dan tersenyum. "Kau ternyata bisa tahu tentang namaku juga, ya?"
Aku tertawa kecil. "Keberuntungan, tahu. Kau kan menuliskan namamu di kaca yang berembun."
Maharani tersenyum kecil lalu mengalihkan pandangannya ke arah lukisan kembali. "Aku heran dengan cara berpikir seniman. Lukisan aneh seperti ini saja bernilai jutaan poundsterling."
Aku diam sembari memandangi Maharani dalam-dalam. Wanita ini sangat cantik dan terlihat bersinar di mataku. Rambutnya yang tergerai indah, membingkai manis wajah ayunya dengan pas. Oh, Tuhan, aku mulai gila.
"Ayahku senang sekali dengan seni," Maharani bercerita. "Hidupnya didedikasikan untuk seni. Bodohnya aku yang tidak mewarisi hobinya itu."
"Yah, kau tahu, semua orang punya kesukaan masing-masing," jawabku kalem lalu menerawang. Aku teringat ayahku yang sama sekali tidak tahu seni. Hobinya tidak lain dan tidak bukan adalah membuat hidupku seperti roller coaster. Aku suka seni, ayahku menentangnya. Aku ingin belajar bermain gitar, ayahku mennetangnya. Aku ingin belajar tentang mesin, ayahku menentangnya. Yang boleh hanya bisnis. Mengingat ayah, membuatku menjadi merinding.
Maharani tersenyum masam. "Kau benar, hanya saja... aku rindu ayahku."
Sejak pertemuan pertamaku dengan Maharani, aku memang menyadari jika wanita ini sangat unik dan misterius. Jalan pikirannya terlalu rumit dan tidak mudah ditebak. Belum lagi apa yang selalu dikatakannya selalu membuatku memeras otak.
"Tinggal bertemu dengan ayahmu saja, kan?" Kebiasaan. Aku selalu menjawab enteng pertanyaan yang terdengar klise.
Maharani melengos. "Tidak bisa. Aku tidak bisa bertemu ayahku karena hujan akan berhenti."
Hah? Hujan lagi? Mengapa wanita ini selalu berbicara tentang hujan, sih?
"Kau tahu London memang selalu begini, kan?" Aku terdiam lalu tersenyum, "Oh! Aku lupa aku memiliki kopi. Katamu kau suka kopi, jadi minumlah! Aku belum meminumnya, kok. I swear."
Tanganku terulur pada Maharani, menawarinya secangkir kopiku. Maharani cuma terdiam. Matanya sendu membuatku berpikiran aneh-aneh.
"Jun," Maharani memanggilku. "Hujan akan berhenti. Aku harus pergi."
Baru saja aku akan menahannya pergi ketika suara dalam yang kukenali sebagai suara George memenuhi pendengaranku.
"Jun, kau bicara dengan siapa?" George datang dari belakangku, membuatku membalikkan badan dengan cepat.
Aku menatap George sebentar lalu menjawab, "Dengan seorang wanita di belakangku, Sir. Apa kau tidak lihat?"
George menganga, bisa kulihat matanya memandangku aneh dan khawatir.
"Di belakangmu tidak ada siapa-siapa, Jun!"
Aku melengos, lalu ikut terkaget ketika melihat tidak ada siapa-siapa di belakangku. Dengan secepat kilat, aku membalikkan badanku lagi menghadap George. "A few minutes ago there's a woman behind me, Sir. An Asian one like me!"
George memandangku tidak percaya.
Aku menggeram. "Sumpah mati, Sir! Maharani tadi ada di sini. Dia memandangi lukisan ini dan bercerita tentang ayahnya yang menyukai seni!"
Pancaran mata George mulai berubah. Ada sepercik rasa kaget, ingin tahu, dan tidak percaya di sana. "What's her name?"
Aku memandangi George sebentar. "Maharani."
Tiba-tiba saja mata George berkaca-kaca, tampak sangat sensitif dengan nama yang kusebutkan.
"Goddamn it! You bastard, Jun!" George tanpa aba-aba langsung memegang kerah kemejaku dan menariknya, seakan-akan ingin memukulku. "Aku sudah mencarimu sekian lama!"
Dengan terengah-engah karena kesusahan bernapas, kusempatkan diriku untuk melongo sejenak karena mendengar perkataan George. "Apa?!"
George menghempaskan tangannya dengan lemah, nyaris tak berdaya dan mulai menangis sedih di hadapanku. "Maharani adalah putri angkatku. My precious one. Dia kecelakaan dua minggu yang lalu."
"A-apa?! T-tapi dia tadi.. Is there any kind of joke you play better than this, Sir? It's not funny at all!" Aku dengan kurang ajarnya membentak George yang seusia ayahku. Kalau saja yang ada di depanku ini ayahku, mungkin aku tinggal nama sekarang.
George menatapku sendu lalu memegang lenganku lemah. "Kau harus melihat putriku. Dia menunggumu. I beg on you, Boy."
Tiba-tiba saja aku terserang migrain. Malaikat, hujan, kopi, Maharani, George, dan segala tetek bengek sialan ini membuatku pusing setengah mati.
"Baiklah," Aku terdiam sebentar. "Ayo, kita lihat Maharani."
George tersenyum haru lalu menepuk lenganku sebagai ucapan terima kasih. Tanpa dikomando, George mulai melangkah keluar galeri, membuatku mau tak mau mengikutinya.
"Em, Sir?" Aku memanngilnya ragu.
George menoleh lalu memandangku heran. "Ada apa?"
"Aku rasa aku butuh nikotin patch. Sekarang." Mata George membulat sebagai reaksinya. Masa bodoh. Aku butuh pelampiasan sekarang. Hari ini penuh kejutan.
Yeah, kejutan yang sangat gila.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN
Short StoryKetika sebuah delusi dan kenyataan bercampur menjadi satu di bawah rintik-rintik hujan.