I-II

0 0 0
                                    


Jun segera menuju ke rumah lama yang dahulu ia tinggali sesampainya ia di bandara. Awalnya ia ragu untuk kembali ke rumah lamanya, tapi kendaraanya terus dipacu menuju jalan yang sudah ia hapal sejak lama.
Ia tidak menyesal untuk kembali ke sana, barangkali hanya untuk melihat bagaimana kondisi rumah itu. Atau mungkin melihat bagaimana keadaan para penghuninya.
Setelah mereka sekeluarga pindah ke luar negeri akibat insiden tak mengenakkan yang terjadi. Pamannya langsung menjual rumah tersebut dengan harga murah pada sepasang suami istri paruh baya yang juga tinggal di daerah itu.
Setelah hampir sepuluh tahun lama menunggu, akhirnya ia hanya terus melirik ke arah jendela kecil yang berada di sisi kanan rumah lamanya itu. Ia memandanginya dalam diam sembari menyandarkan tubuhnya pada mobil.
Ia tidak pernah terpikir akan banyaknya kerinduan beserta kenangan yang muncul. Lantas saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam, jendela itu menguarkan cahaya.
Jun tertegun, ia langsung berdiri penuh harap. Seseorang di sana, matanya menangkap langsung mata gadis itu. Gadis berambut hitam berpotongan pendek dengan mata legam yang menatapnya tajam. Sejenak kemudian, gadis itu langsung menarik gorden jendelanya dan menutup lampu kamar itu.
Jun menarik napas panjang, ia segera memacu mobilnya menembus hutan belantara menuju tempatnya pulang malam ini, ke apartemen milik orang tuanya.

Tak perlu waktu lama untuk sampai ke apartemen tersebut. Hanya perlu 15 menit perjalanan.
Jun masuk ke apartemennya dengan wajah muram ia memandangi sekeliling ruangan itu.
Ketika ia meletakkan seluruh barang bawaannya, telepon genggamnya berdering kencang, terpampang jelas panggilan itu dari ibunya.
“Halo...” Jun berbicara dengan hati-hati. Tidak terdengar suara dari seberang telepon.
“Jangan khawatir, aku baru saja sampai. Kunci utamanya sudah diberikan oleh penjaga tadi. Begitu ayah kembali ke sini, kami akan memulai proyeknya.” Lantas Jun menutup panggilan.
Setelah lama berada di luar negeri, ayahnya memutuskan untuk mendirikan perusahaan cabang guna menyokong perusahaan inti mereka. Jun akan berada di sini untuk jangka waktu yang lama sembari mempersiapkan proyek perusahaan hingga rampung.
Jun melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul 12 malam. Ia langsung merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Kasur hari itu terasa lebih nyaman. Perasaan hangat saat selimut melingkar ke tubuhnya membuat Jun mengantuk. Ia terlelap dalam tidurnya.

--

Jun sudah terbiasa muncul di antara lorong penuh pintu itu. Ia kira mimpi yang sama hanya akan berlangsung dalam jangka waktu pendek. Tapi ia selalu terjebak ke sini kalau tidak sengaja jatuh ke dunia mimpi.
Ia mendapati pintu ruangannya tidak ada di depannya seperti biasa, melainkan kejadian aneh yang akan menimpanya hari itu.
Jun mendapati seorang gadis yang sepertinya pemimpi sadar malah menjulurkan tangannya ke arah orang lain. Hal itu sangat di larang di dunia mimpi ini. Kalau sampai gadis itu bersenggolan maupun bersentuhan sedikit saja, orang lain akan terbangun dalam keadaan jatuh.
Jun hampir berteriak, tapi ia melihat dua petugas yang ia kenal sebagai duo gempal bambi dan bombi. Kedua petugas itu sudah terkenal dalam penangkapan pemimpi sadar.
Tapi tangan gadis itu semakin mendekat, jadi ia tak punya pilihan lain selain berteriak.
Gadis itu langsung saja melihat ke arahnya, seolah kebingungan.
Jun melirik lebih jauh, Bambi dan Bombi sudah bersiap ancang-ancang mengejar mereka berdua.
Segera Jun menarik lengan baju gadis itu dan berusaha sekencang mungkin untuk terus menarik gadis itu melarikan diri.
Gadis itu melontarkan banyak sekali pertanyaan, Jun sampai kesal dibuatnya. Ia berpikir untuk membiarkan gadis itu di tangkap oleh si duo gempal. Tapi sekarang, si duo gempal juga sudah sadar kalau dirinya adalah pemimpi sadar. Hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah melarikan diri.

Mau sampai ke manapun mereka berlari, lorong tersebut tidak akan pernah berbelok. Lorong tersebut juga tidak memiliki ruang tersembunyi yang bisa disusupi.
“Kau!” napas Jun tersengal-sengal, tapi ia berusaha memperingati gadis itu. “Berlari-lah yang benar, jangan sampai menyenggol siapapun!”
“Memangnya kenapa?!”
“Jangan banyak Tanya! Ikuti saja aturan itu.”
Ia bisa merasakan tatapan meragukan gadis itu. Tapi ia tak bisa memberitahu alasannya di saat dirinya sendiri hampir mati karena kehabisan napas.
Bambi yang mengenakan baju biru sudah tertinggal jauh. Si gempal bambi memang tidak bisa berlari dengan jauh. Bisa-bisa celananya melorot dan hanya menyisakan celana tidur saja. Tapi si Bombi terus mengejar, meskipun gempal, Bombi sangatlah atletis.
Pernah sekali Jun hampir tertangkap oleh Bombi. Tapi Jun langsung masuk ke dalam ruangan mimpinya hingga Bombi tak bisa menggapainya.

Mata Jun terus melihat ke kanan dan kiri, ia berharap ada keajaiban seperti terakhir kalinya dimana ia menemukan ruangan itu.
Tapi semakin mereka berlari, mereka malah bergerak semakin jauh.

Jun melihat kerumunan orang di depan mereka.
Bingo! Pikirnya, ia langsung memberitahu saran kepada gadis itu.
“Kau, berpura-puralah tertidur, lemaskan bahumu dan tutup matamu. Tapi ingat, kau tetap harus berhati-hati agar tidak mengenai siapapun saat berjalan. Kalau kau tidak melakukannya, si gempal itu akan menerjangmu dengan tubuhnya.” Jun tau sedari tadi ia hanya melemparkan ancaman yang kekanak-kanakkan, tapi itulah kebenaran.
Gadis itu baru saja mau membuka mulut, Tapi Jun langsung memotongnya sembari menatapnya tajam.
“Lakukan saja!”
Gadis itu berakting dengan kaku, matanya ditutup sedikit, lalu ia berusaha melemaskan tubuhnya. Tapi aktingnya malah terlihat buruk dan mirip seperti orang mabuk.
Jun tetap kukuh menggengam lengan bajunya sambil berjalan menembus kerumunan. Ia berhati-hati dan terus memiringkan tubuhnya ke berbagai arah.
Dari jauh terdengar suara Bombi yang lemas, “Bos, kita kehilangan mereka.”
“Apa?! Cepat tembus kerumunan ini, cari mereka sampai dapat kalau kau tidak mau terkena hukuman lagi!” Suara Bambi menggelegar marah.
Di sisi lain, gadis itu mencoba mengajaknya bicara.
“Psstt... Pssstt, apa yang harus kita lakukan...” ucapnya lirih.
“Kita harus bersembunyi, kalau tidak... kita pasti akan tertangkap. Kau cobalah mencari pintu yang bertuliskan namamu. Kita harus segera masuk ke pintu masing-masing sebelum diagram di kepala kita menyentuh garis REM.” Jun memperingatinya sambil terus bergerak perlahan. Matanya tetap waspada, mana tau ia bisa menemukan ruangannya.
“Bagaimana caranya...”
“Nama itu hanya bisa dilihat oleh diri sendiri, aku tidak bisa mencarikan pintu dengan namamu. Carilah bagian pintu yang memiliki papan gantung berwarna kuning. Kalau kau menemukannya, artinya itu ruanganmu.”
“Ah! Aku tadi melihatnya!” sahut gadis itu dengan semangat.
“Shhh! Kecilkan suaramu. Di mana?”
Gadis itu menggunakan tangannya menunjuk ke belakang mereka. “Jauh di sana...” Kemudian ia menelengkan kepalanya.
“Sial!”
“Pantas saja hanya pintu tersebut yang bercahaya kuning terang. Kalau begitu, apa ada hal lain yang bisa kita lakukan?”
“Ada. Menyusup, atau ditangkap.”
“Hah?”
“Iya menyusup, kau...” Jun terdiam sejenak, ia melihat seorang anak kecil yang berdiri di depan pintusembari memandanginya dalam diam. Anak itu tiba-tiba memutar kenop pintunya.
Jun langsung melangkah dengan cepat menyusuri kerumunan dan langsung menarik gadis itu masuk ke dalam pintu.

The Hallway at NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang