Dari balik pintu kamar, aku mendengar suara riuh penuh dengan cacian dan kebencian. Hari-hari seperti ini, bukanlah yang pertama kali dalam hidupku sejak aku sudah mampu melihat dan mendengar dunia di sekeliling ku.
Dan seperti biasa, aku hanya bisa duduk memeluk lutut sambil menahan degupan jantungku yang berdentum keras seakan memaksa untuk merobohkan bendungan air mata yang sudah ku tahan sejak beberapa jam yang lalu. Dan itu tidak pernah berhasil. Aku akan selalu kalah, dan menangis tanpa suara di dalam ruangan kecil yang tak mampu melindungiku dari mendengar pertengkaran ibu dan nenekku itu.
Aku bisa apa?
Aku hanyalah anak kecil berusia 7 tahun yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan masih belajar hitungan pertambahan dan pengurangan. Aku tidak pernah tau, aku harus apa. Karena jika sampai tangisan ku ini di dengar oleh mereka, bukan berhenti tapi malah akan semakin jadi mereka melontarkan kata benci.
Deru nafasku semakin memburu. Bajuku sudah basah oleh air mataku. Aku hanya bisa menunggu. Menunggu uluran tangan kakekku merangkulku dan membawaku pergi menjauh dari tempat itu.
Aku mendengar suara kakek. Tapi sepertinya mereka tidak mau mendengarkan kakek. Mereka masih bertengkar, suara pecahan barang mulai terdengar. Aku terus bertanya dalam hati, ini akan berakhir kapan? Dan mulutku terus menggumam bahwa aku takut dan ingin ini segera usai.
Cklek.
Suara pintu kamarku terbuka. Sosok yang aku tunggu dari tadi datang.
"Kakeekk!" Aku menghambur memeluk sosok kakek.
Mata tuanya menatapku penuh iba. Dia memelukku erat dan menggendongku keluar. Aku kembali menangis keras dalam pelukannya.
"Mau sampai kapan kalian begini, kalian ndak kasian dengan anak kecil yang ketakutan ini? Kalian ndak merasa sedih saat mendengar tangisan ini? Sudah cukup berhenti, jika kalian masih punya hati!"
Tangisku yang kencang dan bentakan berang kakek, akhirnya membuat pertengkaran mereka terhenti.
Kurasakan tangan ibu hendak mengambilku dari gendongan kakek. Kakek menepisnya. "Jangan sekali-kali kamu menyentuhnya jika kamu masih terus menangis dan mengucapkan kata-kata kasar seperti ini. Biarkan dia bersama bapak dulu."
Aku melihat ibu. Wajahnya basah oleh air mata, matanya sembab dan hidungnya memerah. Pertengkaran ini, juga menyakiti hati ibuku rupanya. Saat itu aku sudah mengerti, bahwa yang membuat ibuku tidak bisa fokus merawatku adalah karena alasan ini.
Aku kembali memalingkan muka, membenamkan wajah ku dalam pelukan kakek yang membawaku keluar dan menjauhi halaman rumah.
Tangisku sudah reda. Aku mengangkat kepala dan melihat sekelilingku. Aku tahu tempat ini. Puluhan pepohonan rimbun berdiri tegak dengan rerumputan hijau yang hampir menutupi permukaan tanah. Ini adalah hutan di belakang rumahku.
Kakek menurunkan ku dari gendongannya. Aku menatapnya. "Ke, kenapa kita kesini?" Tanyaku dengan suara masih terbata-bata akibat menangis sesenggukan tadi.
Kakek menghapus air mata yang masih tersisa di pipiku. "Lihat itu, pohon-pohon mangga dan kelapa berbuah banyak. Aria mau kakek ambilkan?"
Aku melihat pohon yang kakek tunjuk. Buah mangga bergelantungan rimbun dan terlihat menggoda. Aku berlari mendekati pohon itu lantas memanjatnya naik. Batang yang tidak terlalu tinggi dan bercabang membuatku selalu mudah untuk memanjatnya.
"Hati-hati, nduk!"
Tanganku lincah menggapai tangkai buah dan memetiknya, setelah dapat beberapa aku kembali turun dan menghampiri kakek. Menyerahkan hasil panenku yang hanya dapat lima buah.
Kakek tertawa, mengusap rambut hitamku sayang. "Sini kakek kupas." Kakek mengeluarkan pisau lipat kecil dari saku celananya. Kemudian mengupas dan memotong kecil-kecil buah mangga untukku.
"Makan yang banyak ya, kamu harus cepat besar."
"Kenapa aku harus cepat besar? Aku lebih suka menjadi anak-anak. Orang besar terlihat menakutkan dan selalu bertengkar." Aku berceloteh. Teringat hari-hari yang ku lewati setiap hari.
Kakek terlihat menghela nafas. "Ria, ndak semua orang besar akan seperti yang Aria pikirkan. Ada kalanya kita di uji untuk bisa bersikap sabar, dan ada kalanya kita akan bahagia hingga lupa pada segalanya. Tapi nduk kakek berharap kamu kelak bisa menjadi orang yang selalu ingat dan bersyukur apapun dan sesulit apapun keadaan kamu."
"Kakek pernah bahagia?" Aku menyeletuk.
Kakek menatap ku, dia mengambil sehelai kain dan membersihkan mulutku yang cemong karena sari-sari mangga. "Sekarang kakek bahagia."
"Kenapa? Padahal tadi kakek marah?"
Kakek kembali meletakkan kain itu ke dalam saku kemeja Pramuka yang sering kulihat dia memakainya. "Karena Aria bersama kakek."
Aku lihat mata tuanya yang berkaca-kaca menatapku. Tubuhku bergerak memeluknya erat. "Aria juga bahagia bersama kakek. Kakek jangan khawatir, Aria akan selalu menemani kakek."
"Nak, dengarkan kakek." Aku melepaskan pelukan ku dan mulai mendengarkan perkataan kakek lagi.
"Nanti, kapanpun kamu merasa sedih dan ingin menangis. Tapi kamu tidak bisa menangis di depan orang lain. Pergilah ke sini, menangislah disini, dan kakek akan selalu datang untuk mencarimu."
"Tapi kenapa kakek harus mencari ku? Kan kita bisa pergi bersama."
"Mungkin saat itu, kakek sedang tidak ada disamping kamu. Mungkin kakek terlambat seperti tadi. Jadi kamu boleh pergi terlebih dahulu."
"Kakek janji ya akan datang mencari ku?" Aku mengangkat jari kelingkingku, bermaksud untuk membuat janji yang akan selalu kakekku tepati.
Kakek menautkan kelingkingnya menyambut jari kelingkingku. "Kakek janji."
Aku tersenyum cerah. Rasa sedih yang tadi kurasakan hingga berurai air mata, telah terlupakan. Kakek selalu tahu cara untuk menghibur dan menenangkan ku.
Di kemudian hari, hutan itu selalu menjadi tempat ku lari saat lagi-lagi terjadi keributan di dalam rumah. Aku akan berlari, dan duduk sambil menangis menunggu kakek datang menjemputku.
Dan kakek, selalu menepati janjinya kepada ku.
Meskipun keluarga ku rapuh, mungkin suatu saat bisa runtuh. Aku tidak takut, karena aku memiliki kakekku. Meskipun kasih sayang ibu dan ayah tidak pernah cukup memelukku, tidak apa-apa karena kakekku bisa menggantikan itu. Meskipun sedikit teman yang aku punya, aku tidak masalah karena kakek akan selalu menemaniku. Meskipun ribuan kata kebencian menusukku, tidak peduli. Karena kakek akan selalu membalut lukaku.
Asalkan ada kakek, anak perempuan pertama ini akan bisa berpijak tanpa khawatir akan apapun di dunia ini.
Jika ada yang bertanya apakah aku tidak takut pergi ke hutan sendirian?
Oh. Aku takut. Tapi aku lebih takut terlihat lemah karena menangis di depan orang tua dan nenekku yang sering bertengkar. Aku lebih takut dengan tatapan hina dan kasihan dari tetangga dan teman-teman. Rasa takut itu, membuatku memiliki keberanian. Dan aku tidak pernah takut, karena kakekku tidak pernah ingkar janji dan selalu datang lebih cepat dari jatuhnya air mataku.
Aku takut, tapi memaksakan diri untuk menjadi berani.
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfading Memories
General FictionIni adalah cerita tentang seorang laki-laki yang paling hebat yang aku kenal dalam hidupku. Laki-laki yang telah menjadi cinta pertama dan menjadi tipe ideal laki-laki dimasa depan ku. Laki-laki yang mengajarkan ku untuk menjadi wanita tangguh yang...