2. Laut dan Debur Ombaknya

7 0 0
                                    

Aku duduk berpangku tangan sambil memperhatikan kakekku yang sedang menjemur sarungnya. Terlihat sangat sulit hanya untuk menjemur sepotong kain itu. Kakek memasukkan sarungnya ke dalam sebilah bambu, lantas mengaitkan kembali pada tali yang menggantung. Tangannya lihai merapikan sarungnya agar tidak tertekuk atau terlipat. Kemudian, sebilah bambu lainnya kembali dimasukkan, dan kedua sisinya kakek ambilkan botol air bekas yang sudah diisi air sebagai pemberat.

Aku menghela nafas. Berpikir, cara itu adalah cara yang terlalu ribet untuk terus digunakan. Ini hanya satu sarung saja memakan waktu, apalagi jika kakek menjemur sepuluh atau ratusan sarung. Mau digantung dimana? Bisa-bisa seluruh rumah ini akan tertutup oleh juntaian sarung.

Kakek melihatku yang terlihat bosan. "Setelah ini kakek mau ke laut cari tiram. Kamu mau ikut?"

Mataku langsung berbinar mendengar ajakan kakek. Aku mengangguk cepat. "Mau dong!"

"Telpon mama kamu, minta izin dulu. Takutnya nanti saat dia datang, dia bingung mencari kamu."

Aku segera berdiri dan masuk ke dalam kamar kakek untuk mengambil telepon genggam. Namun, langkah ku terhenti di tengah jalan. Dari ruang tengah, aku mendengar suara nenek yang sedang menelepon seseorang.

"Iya, kemaren dia datang-datang langsung ngamuk-ngamuk. Emang udah gila dari dulu dia. Bukannya bilang makasih udah mau dititipin anaknya disini, malah ngamuk-ngamuk kayak orang gila."

"Emak kenapa nggak nyuruh Rafi cerain istrinya aja? Mumpung masih punya satu anak. Rafi nikah lagi juga pasti banyak yang mau."

"Nggak mau dia, padahal udah sering emak bilangin. Kayaknya si Salma itu udah kasih dia jampi-jampi."

Mataku kembali memanas mendengar nama ibuku yang dibicarakan dan direndahkan seperti itu oleh nenekku dan bibiku, istri dari kakak ayahku itu.

Padahal, meskipun ibuku bukan ibu yang sempurna. Tapi dia selalu berusaha menjadi ibu yang baik untukku dan menantu yang baik bagi nenekku. Setiap pulang dan di jemput ibuku yang selalu datang sehabis berjualan keliling dengan sepeda kayuh yang catnya sudah memudar itu, aku selalu menatapnya sedih dari belakang tempat boncengan yang dimodifikasi menjadi bakul jualan. Aku duduk disana dan berpegangan pada pinggangnya yang terlewat kurus dan ramping. Ibuku adalah pekerja keras. Juga keras pada dirinya sendiri.

Aku berbalik, tak jadi mengambil telepon kakek.

"Udah bilang?" Tanya kakek setelah melihatku kembali. Dia menungguku sambil memegang ember dan sekop ditangannya.

Aku mengangguk, memilih berbohong. Kakek menggenggam tanganku lantas kamu berjalan beriringan menuju laut di belakang rumah.

Sepanjang jalan aku terdiam, masih terngiang percakapan yang aku dengar di ruang tengah tadi. Kakek sepertinya menyadarinya, karena dia tiba-tiba menepuk pundakku.

"Kenapa?"

Aku menggeleng, menahan air mataku agar tidak jatuh. Aku bertekad untuk tidak menjadi anak cengeng yang sedikit-sedikit menangis.

"Kalo sedih, ya nangis aja. Jangan ditahan begitu. Nanti 'disini' kamu sakit." Ucap kakek sambil menepuk pelan dadaku.

Aku terdiam, rasanya kakiku tak mampu berjalan. "A-aku nggak mau pu-punya ibu tiri." Patah-patah aku berbicara. Seiring airmata yang deras mengalir mewakili kesedihan ku.

"Kenapa bilang gitu, nak?" Kakek nampak terkejut dengan kalimat yang aku lontarkan.

"A-aku nggak mau punya ibu baru. A-aku maunya kita sama-sama sampai meninggal nanti." Racauku sambil menangis sesenggukan. Kakek memeluk. Mengusap punggungku, berusaha menenangkan. Karena disaat seperti ini, kakek tau bahwa aku tidak akan pernah mengatakan alasanku mengucapkan kalimat barusan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unfading Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang