Bab 5

460 22 8
                                    

Laju kereta tersebut berhenti, membuat Ria tersadar dari lamunannya. Ah, karena kebanyakan melamun ia jadi tidak sadar kalau sekarang ia sudah sampai di kawasan Cipete.

Berderap turun dari stasiun itu, Ria beberapa kali menghela napas berat karena beban hidup yang ia alami saat ini. Bayangan kejadian di kantor tadi cukup membuat mood-nya turun drastis hari ini. Masih teringat jelas oleh Ria bagaimana para lelaki tua itu mempermalukannya di depan umum. Kalau tidak ada Fendi, mungkin ia akan semakin direndahkan oleh orang-orang itu.

Fendi ... nama itu kembali berkutat di kepalanya. Kenapa harus cowok itu yang menolongnya? Bukannya Ria tidak tahu berterima kasih. Hanya saja dirinya tidak ingin terlibat urusan apa pun lagi dengan lelaki itu. Mereka sudah menutup buku lama. Dan Ria tidak berniat membuka lembaran baru dengan mantannya itu. Apalagi melihat perbedaan kelas yang lumayan kentara di antara mereka.

Menggeleng samar, sepertinya ia harus mampir ke kafe tempatnya berkenalan dengan Fendi dulu sebelum memutuskan pulang ke rumah. Setidaknya ia ingin menyegarkan pikirannya sejenak.

***

Kopi dan kesendirian. Dua hal itu adalah teman sejati Ria sejak dahulu. Tempat ini kembali mengingatkannya dengan Fendi. Tidak ada yang berubah dari kafe itu. Hanya saja wajah-wajah pegawainya terlihat asing di mata Ria. Semua itu wajar mengingat pekerja kafe adalah orang-orang yang umurnya di bawah dua puluh lima tahun.

Mengaduk cangkir espresso pesanannya, Ria kembali mengingat masa lalu. Tempat ini yang mempertemukan dirinya dengan Fendi. Setiap sudut kafe ini memiliki kenangan tersendiri untuk mereka.

Kopi ini beda rasanya sama kopi buatan kamu, Mas. Ria membatin. Ia masih ingat rasa kopi buatan Fendi yang selalu cocok di lidahnya.

Ria menghela napas berat. Jika dulu ia datang ke sini dengan buku sketsa, maka sekarang ia datang dengan segudang permasalahan hidupnya. Ria memukul jidatnya sendiri. Kenapa di saat ia mengalami masalah hidup seperti ini ia harus dipertemukan kembali dengan Fendi? Ria rasa Tuhan memberikan cobaan tanpa penyelesaian. Setelah membuatnya terluka oleh keadaan, kini ia harus malu muka pula karena bertemu Fendi di versi dirinya yang melarat seperti saat ini.

Ini sungguh tidak adil. Ria masih belum terbiasa dengan situasinya yang seperti sekarang ini. Semuanya bermula saat keluarganya hancur berantakan beberapa tahun lalu ....

Siang itu Ria pulang dari kampus dan menemukan keadaan rumahnya yang hancur berantakan. Vas bunga mahal koleksi ibunya pecah berkeping-keping. Saat itu Ria sedang berkuliah tingkat dua jurusan Kedokteran. Bertepatan pula hari itu Ria sedang melaksanakan Ujian Akhir Semester.

Kaki Ria terasa gamang berpijak pada lantai rumahnya nan dingin. Apa yang terjadi sebelum ia pulang ke rumah? Kenapa semuanya hancur berantakan seperti ini?

"Bunda!" panggil Ria. Ia pun mencari Bundanya ke dalam kamar. Tepat saat ia sampai di depan kamar sang ibu, Ria mendengar suara tangis dari dalam sana. Tanpa berpikir panjang Ria pun membuka pintu tersebut dan menemukan ibunya menangis dalam keadaan menekukkan kedua lututnya. Dada Ria terasa sakit melihat pemandangan itu.

"Bunda kenapa?!" tanyanya panik.

Melati—nama Ibu Ria—menyahut pelan. "Ayahmu...."

"Ayah kenapa?!"

"Dia ternyata bohongin kita selama ini. Dia ... dia punya istri muda."

Bagai disambar petir di siang bolong Ria mendengar berita itu. Bagaimana bisa ayah yang menjadi cinta pertamanya itu berbuat sekejam itu pada mereka? Tubuh Ria kehilangan segenap tenaganya. Kakinya mendadak lemas berpijak pada lantai nan dingin itu.

"Nggak mungkin, Bun. Ayah nggak mungkin kayak gitu ...."

"Gimana nggak mungkin?Ayah kamu lebih memilih istri mudanya. Sekarang dia kabur dari rumah ini ninggalin kita...."

Perasaan Ria hancur berkeping-keping. Detik itu juga air matanya tumpah menerima fakta itu.

Dan selayaknya belum cukup dengan satu masalah yang ia hadapi, beberapa menit kemudian ponsel Melati berdering. Wanita itu mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

"Nggak, nggak mungkin! Kalian pasti bohong!"

Dapat Ria lihat setelahnya wajah ibunya itu berubah panik. Air mata Melati semakin berhamburan, ponsel yang ia pegang jatuh dari tangan.

"Ada apa, Bu?"

Melati berujar lirih. "Ayah ... ayah kecelakaan bersama istri mudanya. Mereka meninggal di tempat."

Detik itu juga isakan Melati dan Ria melambung ke udara. Ria hancur sehancur-hancurnya. Ia tidak pernah menduga kemalangan ini harus ia terima dalam sekejap mata. Padahal ayahnya hanya pamit kerja ke luar kota untuk mengurus cabang baru mebel mereka. Namun kenapa malah meninggal bersama seorang wanita yang disinyalir sebagai istri baru ayahnya itu?

Sewaktu hendak pamit ke luar kota ayahnya bahkan berpesan agar ia meneruskan kuliah kedokterannya karena sang ayah ingin melihatnya menjadi dokter sukses suatu hari nanti. Sayangnya semua itu tidak berjalan sesuai rencana. Justru ayahnya yang berkhianat duluan di sini.

Sakit ....

Ria sakit waktu itu. Ia menolak fakta bahwa ayahnya punya selingkuhan. Ia menolak segala pemberitaan buruk tentang ayahnya itu. Sampai pada akhirnya ia melihat sendiri jenazah ayahnya dibawa ke rumah, barulah Ria menerima takdir buruknya.

Berselang beberapa hari keadaan semakin memburuk. Ria bahkan tidak pergi kuliah karena menjaga ibunya yang depresi kala itu. Keadaannya, Nindy—kakak Ria—masih berada di Australia dan belum bisa pulang sampai detik itu. Ria terus memaksa dirinya untuk kuat padahal ia sendiri butuh topangan kala itu.

Barulah beberapa minggu kemudian Nindy pulang. Awalnya Ria merasa lega karena mengira kepulangan Nindy itu untuk membantunya mengurus Bunda yang mentalnya sedang kena. Nyatanya, kakaknya itu malah membawa masalah baru. Nindy ... mengalami depresi karena ditinggal oleh kekasih bulenya.

Ria dipaksa menjadi satu-satunya orang waras untuk mengurus bunda dan kakaknya. Dan selayaknya masalah tidak bosan-bosan datang kepadanya, sebulan setelah itu polisi datang menjemput Bunda atas tuduhan korupsi. Hidup Ria semakin kelam. Ia melihat sendiri ibunya diseret-seret keluar rumah oleh polisi itu. Disaksikan pula oleh para tetangga yang memandang keluarga mereka dengan miris.

Kini semua yang dimilikinya satu persatu pergi.

Harta benda terkikis.

Mebel bangkrut.

Rumah disita oleh pihak bank.

Keadaan yang sama sekali tidak pernah Ria bayangkan dalam hidupnya. Semua terjadi seperti mimpi buruk. Ria bahkan hampir bunuh diri kala itu kalau tidak ingat dengan kakaknya yang depresi berat. Kuliah pun ia tidak lanjut karena tidak ada yang membiayainya. Pupus sudah cita-cita Ria menjadi seorang dokter seperti yang diimpikan oleh ayahnya selama ini.

Ria menggeleng samar. Kepalanya mendadak sakit mengingat semua masa lalunya. Sekarang, Bunda Ria di penjara, dan Kakak Ria berada di rumah sakit jiwa. Oleh karenanya ia bekerja keras saat ini demi memenuhi kebutuhan mereka. Terutama biaya perawatan kakaknya yang tidak sedikit.

Di saat ia hampir gila, ia harus tetap waras demi berjuang untuk keluarganya. Bukankah ini sangat tidak adil? Lantas setelah yang terjadi padanya sekarang, bagaimana mungkin ia masih mengharapkan Fendi yang hidupnya jauh lebih berada itu?

Ria cukup tahu diri di sini ....

Sialan, Dia [COMPLETED]Where stories live. Discover now