mulai terusik

429 32 4
                                        

Ada ribuan spekulasi yang bertebaran dalam benakku ketika melihat untaian pesan yang sudah ku kirimkan pada Kak Jungkook tidak juga mendapati tanggapan. Beberapakali aku berhati-hati untuk mencoba menghubunginya, tapi nihil. Sama sekali tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara operator yang menyapa pendengaranku.

Lenguhan panjang secara alami keluar begitu saja dari mulutku, melepaskan hela napas yang cukup panjang disusul dengan sepasang bahuku yang melemas.

"Bagaimana? Masih tidak ada respons?" Usai mengemasi peralatan sekolah dan buku-bukunya ke dalam tas, Yumi mengajukan tanya.

Aku meliriknya singkat, sebelum pandanganku berlabuh kembali pada layar ponselku yang menyala. Lekas memberikan gelengan dan menyahut singkat, "Tidak."

Energiku total menguap drastis. Bukan tanpa sebab, 70—tidak, 80% aku mendengar segelintir rumor yang mengatakan bahwa Kak Jungkook sedang berkencan dengan seorang gadis yang sekelas dengannya disaat ia masih memegang status sebagai kekasihku.

Aku berusaha menampik, mencoba untuk tidak percaya tentang apa yang selama ini aku tangkap dan aku cerna, sebab aku tidak ingin menciptakan asumsi-asumsi buruk yang justru berimbas pada hubungan kami.

Selama menjadi rumor, berarti semua itu belum tentu benar bukan?

Tatapan Yumi mengacu padaku, terlihat teduh sekaligus iba. Mungkin dia bingung akan memberikan alasan seperti apa lagi dikala dihadapkan dengan keadaanku yang berubah nelangsa. Terhitung ini adalah hari ke empat kami tidak bertukar kabar dengan jelas.

Shin Jungkook dan kehadirannya seperti menghilang.

Sepasang iris kecoklatan itu menyalurkan afeksi yang sedikit menghangatkan, membuatku agak tenang. Walaupun hanya sekejap, tapi itulah alasanku menjadikan Yumi sebagai satu-satunya presensi yang kuizinkan untuk berbaur dengan kehidupan privasiku. Dia dan kepribadiannya yang menyegarkan, memberikan setiap kehidupanku rona warna yang menggelora. Aku benar-benar beruntung mempunyai sahabat sepertinya.

Kuputuskan untuk ikut membenahi peralatan sekolah yang berserakan di atas meja. Memasukkan satu-persatu buku beserta alat tulis lainnya secara asal.

Bel pulang sudah berbunyi kurang lebih 20 menit yang lalu. Ruang kelas sudah berubah kosong, hanya diisi dengan eksistensiku dan Yumi yang setia menunggu.

"Ji." Gerak tubuhku secara otomatis terhenti, mataku bergulir menatap Yumi yang bersuara. "Aku tidak bermaksud untuk sekedar menghiburmu lagi. Tapi ..." dia menjeda kalimatnya, membasahi bibir sebelum berungkap lagi, "... percayalah, Kak Jungkook bukanlah orang yang seperti itu. Jangan termakan rumor."

Dia mengirimiku tatapan yang teduh, memberikan genggaman tangan untuk memperkuat gagasannya yang terlontar barusan.

Aku menatapnya sekilas saja. Sebab, terdengar ketukan langkah kaki yang beradu dengan marmer mengusik perhatianku.

Sosok Shin Haerin masuk ke ruang kelas, mengalihkan tatapan kami.

"Haerin?" Tampaknya Yumi sedikit kaget dengan esensinya yang muncul mendadak. "Kau belum pulang?"

Netra Haerin bergulir sejemang untuk menilikku, kikuk. Tapi dengan skeptis, dia menghapus jarak diantara kami dan mencoba mendekat.

Kemudian dia mendaratkan bokongnya dibangku yang ada di depan posisi kami duduk. Tanpa berucap sepatah kata, aku dan Yumi membiarkannya bergerak merogoh saku jas sekolah.

Entah kenapa, tepat saat Haerin menyodorkan ponselnya ke depan wajahku, total debaran jantungku berubah berpacu. Aku tidak tau apa maksudnya, hanya saja tanganku spontan bergerak untuk mengambilnya.

Disertai dengan rasa penuh tanda tanya, gelisah, risau, semua bercampur aduk menjadi runyam, bola mataku terpaku.

Ini merupakan sentilan. Segala opini yang Yumi beberkan beberapa waktu yang lalu, lenyap tak bersisa. Sedikit konyol sebenarnya, lantaran gurat wajahku berubah ekspresif. Merefleksikan keterkejutan yang cukup mencolok.

Wonderfall ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang