Mark POV
Apakah aku mengatakan hal yang salah?
Tidak, tidak. Bukan aku yang salah. Tidak ada yang salah disini. Seharusnya aku tidak mengatakan itu dan langsung meninggalkannya sendirian. Aku hanya... syok. Aku tidak mau menerima fakta bahwa kita akan berpisah.
Namun aku tahu pasti, aku tidak boleh menjadi penghambat Kak Taeyong meraih mimpinya. Aku cinta dia, aku akan melakukan apapun untuknya.
Tapi... Bukankah kita akan berpisah untuk waktu yang cukup lama?
Aku tahu Jepang itu dekat, tapi bagaimana kita akan bertemu? Apakah hanya setiap liburan semester kuliah? Aku juga belum mempersiapkan untuk tahun terakhir SMA nanti.
Aku harus bagaimana...?
Aku harus tanya seseorang!
Yang pastinya aku harus meminta maaf ke Kak Taeyong. Namun untuk sekarang, aku harus merangkai kata yang tepat.
Aku mengambil handphone ku untuk menghubungi Donghyuck. Aku harus curhat.
Pip!
"Halo, Donghyuck?"
"Woy, Mark? Kenapa, bro?"
"Gue pengen nanya bentar, lu ada waktu kan?"
"Ada, kok. Santai aja. Kenapa bro? Lagi ribut kah sama ayang?"
"Yah... begitu deh. Jadi gini..."
Aku menceritakan semuanya ke Haechan.
"Walah... Lu beneran harus minta maaf, Mark. Lu tolol, tau gak sih?"
"Bisa lebih baik ga bahasa nya...?" Aku tersenyum miris mendengar hinaan dari sahabatku sendiri.
"YA LU BAYANGIN AJA! Lagi rayain mensive, lu malah marah dan ninggalin dia sendirian! Gue mah kalo jadi Kak Taeyong, malem ini gue putusin lu!"
"Ya terus gue harus apa dong? Jelas-jelas gue bakal kangen lah sama dia! Ya gue marah kenapa dia ngomonginnya pas lagi mensive... Kan bisa lain waktu, gitu lho..."
"Justru Kak Taeyong ngerasa pas mensive itu waktu yang tepat. Logikanya gini, bro, kalau Kak Taeyong secepet ini ngabarin lu, berarti dia percaya banget sama lu! Karena lu pacarnya, lu berhak jadi orang yang pertama kali dia ceritain soal cita-cita nya kuliah di Jepang!"
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Donghyuck.
"Coba kalau keadaannya tukeran. Lu yang mau balik ke Kanada, misalnya. Terus lu ngasih tau Kak Taeyong duluan karena lu percaya sama dia, tapi Kak Taeyong marah, gimana tanggepan lu?"
"Ya... Sedih banget sih."
"Yaudah! Itu yang dirasain Kak Taeyong sekarang! Ah tolol lu mah, sumpah!"
"Oke deh, makasih ya omelannya, Donghyuck."
"Ye, sama-sama. Maaf gue marah-marah. Greget abisan gue sama lu, tolol."
"Iye, iye. Gue tutup ya."
"Yo."
Pip!
Aku menghembuskan napasku. Kali ini aku mengakui aku yang salah. Namun aku bingung. Apakah aku harus meminta maaf lewat telepon, atau langsung kuhampiri Kak Taeyong di rumahnya?
Baiklah, tanpa berpikir panjang, aku pergi ke garasi untuk mengeluarkan mobilku. Kali ini aku menghampirinya dengan mobil, sekalian ingin mengajaknya jalan.
Sudah malam hari. Tidak apa-apa, deh.
Kak Taeyong, maafkan aku. Aku akan datang.
----
Taeyong's POV
Setelah Mark meninggalkanku sendirian tadi, aku pulang dengan perasaan sedih bercampur marah. Aku sedih karena aku membuatnya berkata sampai seperti itu.
"This is the worst mensive gift i got."
Aku ingat betul betapa kecewanya Mark ketika dia berkata seperti itu. Mark itu tipe orang yang jarang marah. Bahkan, dia hampir tidak pernah marah karena ulahku. Biasanya dia marah karena cemburu, dan itu pun marahnya kepada orang lain, bukan kepadaku.
Bodohnya aku. Aku salah, aku sangat salah. Seharusnya aku tidak memberitahunya terlebih dahulu. Aku marah pada diriku sendiri yang tidak bisa menilai situasi.
Tangisan keluar dari mataku ketika aku baru sampai rumah. Ibu ku yang ada di dapur memanggilku, "Nak? Udah pulang? Kok gak dianter Mark?"
Aku tidak menjawab apa-apa. Aku bergegas ke kamarku dan menguncinya. Tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku rasa itu ibu.
"Nak? Ada apa? Sini cerita sama ibu!"
Tangisan ku keluar dengan deras, namun aku menahan suara isakan ku. Ibu tidak boleh melihatku menangis.
"Gapapa, bu. Taeyong butuh waktu sendiri dulu."
Aku mengambil bantal dan memeluk bantal ku dengan erat. Aku berharap Ibu dapat mengerti perasaanku.
"Oke deh, Nak. Pokoknya kamu harus inget, kamu punya Ibu disini. Ibu siap denger kamu kapan aja, ya?"
Aku tersenyum. Memang Ibu yang selalu ada untukku.
"Iya, ibu. Makasih ya."
"Sama-sama, nak. Ibu di bawah, di dapur, masak enak. Kamu makan kalau udah beres nangisnya, ya?"
Aku tertawa sedikit. Ibu memang pandai membujuk dan menenangkan ku, walau hanya dengan kata-kata.
"Iya, ibu. Nanti Taeyong ke bawah."
Setelah itu, aku mendengar suara langkah kaki ibu ke lantai bawah. Aku melanjutkan sesi nangisku, ditambah dengan menyalakan lagu ballad untuk mendukung rasa sedihku.
Aku mengeluarkan handphoneku untuk chat Mark.
Taeyong
Mark, maafin aku ya?Aku harap, Mark bisa memaafkanku.
To be continued...
---
Siapa yang greget sama mereka berdua? AKU AKU AKUUU
Oh iya, aku minta maaf banget updatenya nunggu 3 tahun WKKWKWKW aku udah kuliah soalnya... dan LIFE IS NOT GWAENCHANA kalo udah kuliah tuh ya. Tugas-tugas makin gak ngotak banget! Belum lagi project... Haduh... Banyak hobi yang ga aku lanjutin gara-gara kuliah... Ini baru lanjut lagi karena aku muak sama dunia menuju dewasa. Ternyata dewasa se-menyeramkan itu ya, guys...
Oke, udah itu aja author's note nya. Selamat membaca~
KAMU SEDANG MEMBACA
Seniority Program 2 (Long Distance) • MarkYong
Fanfiction"Aku bakal kuliah di Jepang." Hati Mark pecah berkeping-keping. Baru pertama kali ini Mark merasa seluruh dunianya hancur. Bukannya Mark melarang Taeyong untuk pergi, tetapi rasa khawatirnya melanda hati Mark terus menerus. Mau tidak mau, mereka har...