Bab 1: Ketika Dunia Meninggalkanku

19 5 0
                                    

Cerita ini diangkat dari kisah nyata. Nama dan tempat telah disamarkan.

Hara tersenyum melihat ibunya yang berbaring lemah. Meski sebenarnya ia sangat ingin menumpahkan air mata saat itu juga. Anak mana yang tidak sedih melihat ibunya berbaring lemas. Kondisi wanita hebat di hadapannya itu amat mengkhawatirkan. Namun ia tetap tersenyum.

Rambutnya kian lama menipis disertai dengan kaki yang dipenuhi dengan luka. Sesekali serangga menghinggapi lukanya itu, dengan sigap mengipas agar serangga itu kabur dari sana. Ia kembali menatap ibunya. Wajahnya memancarkan kedamaian yang siapapun melihatnya akan merasakan ketenangan.

Hara tersenyum menyiratkan kekuatan di dalamnya dan memberi semangat untuk berusaha kuat dan mau sembuh. Ibunya ikut tersenyum melihat Hara, anak bungsunya. Ia merasa beruntung memiliki buah hati sebaik dan sangat peduli kepadanya. Lalu ia memandang langit-langit kamar ini.

"Huftt, Mama mau sholat."

"Sholat dzuhur?"

Ibunya mengangguk. Setelahnya ia mengoceh tak jelas. Dan Hara sudah terbiasa dengan itu. Ia berdiri dan melangkah menuju kamar mandi.
Ibunya sudah tidak kuat untuk berjalan mengharuskan Hara mengambil air untuk ibunya berwudhu. Bersamaan dengan air yang dipindahkan dari bak menuju ember, air matanya ikut turun bersamaan. Dan Hara menyadari itu.

Ia meletakkan gayung dan mengusap air matanya.

"Gue kenapa, sih?"

Hara berusaha tegar menghadapi semuanya. Matanya perih menahan tangis. Haruskah ia menahan kepedihan ini dengan usia yang masih belia.

Ia menginjak umur sebelas tahun. Tepatnya kelas empat sekolah dasar. Ibunya mengidap penyakit diabetes yang mengakibatkan kakinya luka karena hal tersebut.

Entah mengapa hari ini terasa berat bagi Hara. Ia merasa sesuatu membebani dirinya, dan ia pun tidak tahu beban apa yang membuatnya merasa terpikul tak karuan.

Ember yang ia isi sudah terisi penuh. Hara membawanya masuk ke kamar tempat ibunya berbaring. Di sana wanita hebatnya itu tersenyum menyambut kedatangan Hara, anak bungsunya, buah hati yang amat baik. Di usianya yang masih muda dengan lapang dada mau mengurus orang tua dengan segala kesakitannya.

Haruskah ia memikul beban yang sangat berat ini? Sendirian pula?

"Berat, Nak. Suruh aja kakak."

"Lagi kerja, ah, gak enak ganggunya."

Meski keberatan Hara tetap berusaha membawa ember tersebut mendekat kepada ibunya. Ibu itu tersenyum.

"Kamu gak ngantuk, Ra? Malam gak tidur, ini pulang sekolah, kamu gak capek?" tanya ibunya.

Hara menggeleng. Matanya memerah melihat mamanya itu. Hari ini ia sangat berharap atas kesembuhan ibunya. Wanita hebatnya itu bukanlah sosok yang lemah dan mudah menyerah. Ia akan tetap kuat meski penyakitnya ini seringkali membuat orang sekitarnya tidak berharap lebih.

Hara tersenyum.

"Ayo, Ma, wudhu dulu."

"Kakinya gimana, ya? Apa harus di copot dulu?"

Wajar saja bicaranya tidak nyambung. Orang sakit memang seperti itu bukan? Biasanya mereka sampai lupa pernah bicara sesuatu. Sekali bicara pun hanya asal bunyi.

Tawa NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang