01

8 0 0
                                    

Bel masuk kelas berbunyi, menandakan pelajaran ketiga hari ini akan segera dimulai. Semua murid pun langsung melangkahkan kakinya menuju kelas masing-masing, kecuali Fajar dan Jefa yang malah pergi ke gudang sekolah.

Tidak, mereka bukan mau ke gudangnya tapi malah ke belakang gudang itu. Siapa sangka, di balik ruangan yang penuh dengan barang-barang itu ada sebuah kursi yang menyender pada tembok tinggi yang membatasi area sekolah itu. Mungkin, tingginya sekitar 2 meter. Jadi siapa saja yang ingin melewatinya, minimal harus menaiki sesuatu dan mereka berdua selalu menaiki kursi-kursi tak terpakai dari gudang.

Apalagi selain untuk bolos? Pelajaran dan tugas—terutama hal-hal yang menyangkut Fisika, Kimia—adalah alasan yang tepat untuk bolos. Yah, nasib mereka juga karena dipaksa mengambil jurusan IPA, bukannya IPS yang lumayan gampang masuk ke otak walau agak ngelag dikit. Tapi setidaknya, IPS tidak akan membuat otak mereka mendidih seperti IPA.

Dulu, Fajar tidak mau mengambil jurusan IPA. Rumus sudah jadi musuh bebuyutan Fajar sejak kecil, dia malas sekali jika harus mempelajari semua rumus-rumus yang ada di muka bumi ini karena satu rumusnya saja tak mudah ia mengerti. Melihatnya saja sudah malas.

Kalau Jefa, sebelumnya ia memiliki keinginan untuk SMK daripada SMA, ia tertarik oleh jurusan Multimedia. Namun, kedua orang tuanya tidak menyetujui sama sekali dan malah memaksanya ke SMA. Beginilah mereka sekarang, malas belajar karena keduanya sama-sama tak tertarik sedikitpun dengan semua pelajaran IPA.

"Kursinya masih di situ, belom ada yang ke sini ya?" tanya Fajar. Karena biasanya, setelah bolos saat mereka memeriksa ke sana lagi pasti kursinya sudah hilang, entah itu dipindahkan oleh guru atau OSIS. Untungnya, bukan hanya mereka saja yang sering bolos tapi ada sekitar 30% dari anak laki-laki di sekolah ini yang sering bolos. Jadi mereka tidak akan dihukum selama guru ataupun OSIS tidak mengetahui siapa yang bolos dari belakang situ.

"Yok lah, sebelom ketahuan." Jefa menaiki kursi terlebih dahulu, kemudian dengan mudahnya menaikkan satu kakinya ke tembok dan setelah itu ia turun ke bawah. Fajar mulai menaiki kursi itu juga, namun baru saja ia ingin menaikkan satu kakinya tiba-tiba seorang murid perempuan datang dengan berlari sambil terisak. Ia menyender pada tembok belakang gudang itu, tanpa sadar kalau tak jauh darinya ada anak nakal yang susah payah menaiki tembok itu.

Melihatnya membuat pergerakan Fajar terhenti, alisnya mengerut, bertanya-tanya dalam hati apa yang gadis itu lakukan di sini. Gadis dengan surai hitamnya itu duduk dan menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya. Dia terlihat memprihatinkan, entah apa yang baru saja menyakiti hati gadis cantik sepertinya.

"Jar! Buruan nanti ketahuan!" panggil Jefa dari sebrang sana.

"E-e.... Sebentar Jef."

Tanpa babibu Fajar turun dari kursi lalu melangkah menghampiri gadis itu. Sadar ada yang menghampiri, gadis itu mendongakkan kepalanya. Matanya merah, cepat-cepat dia usap air matanya dengan kasar.

"Lo kenapa?"

"Apaan sih, sono jangan ganggu gue!"

Ucapannya membuat Fajar tersentak, padahal dia nanya baik-baik, tapi dia malah mendapat bentakan sebagai balasannya. "Yaelah, gua kan nanya baik-baik lu malah ngebentak."

"UDAH SONO AH PERGI!" tiba-tiba Fajar ditarik paksa untuk menjauh dari sana. Fajar hampir saja terjatuh kalau saja ia tak bisa menjaga keseimbangannya.

"E-eh eh main narik-narik aja!"

"Makanya buruan pergi! Ganggu aja jadi orang."

Masih dengan wajah kebingungan, Fajar pun akhirnya mengalah dan memilih pergi dari sana. Awalnya Fajar mencibir gadis itu sepanjang perjalanan menuju kelas, tapi lama kelamaan ia malah tersenyum sendiri membayangkan gadis tadi. Lucu, rambut gadis itu dikuncir kuda. Dan sepertinya dia seangkatan dengan Fajar.

"Winde.... Windeya–apa sih ya tadi namanya? Ck, harusnya perhatiin namanya tadi!"

Saat sampai di lorong kelas, ia baru menyadari sesuatu. Fajar pun menepuk jidatnya, mau kembali lagi pun dia malas jadi dia lanjut saja melangkah ke kelas. Pantas saja, seperti ada yang kurang.

"Sorry Jef."

Sedangkan di tempat lain, ada Jefa yang terus memanggil-manggil Fajar dari luar tembok belakang gudang. Wajahnya sudah memerah dan sepertinya lama kelamaan akan menjadi ireng akibat cuaca yang sangat terik. Ia mengacak-acak rambutnya, bisa-bisanya Fajar malah pergi sedangkan dirinya ini sudah di luar sekolah.

Namun, Jefa masih setia menunggu sampai akhirnya ada kepala yang muncul dari balik tembok itu. Tapi ternyata tak sesuai tebakan Jefa, dia bukan Fajar melainkan seorang gadis.

"Bolos?" tanya gadis itu singkat, padat dan jelas. Air matanya sudah tak keluar lagi, tatapannya kini berubah datar dan dingin.

"E-eh engga engga g-gua jatoh ke sini tadi! Tadi lagi duduk di tembok doang terus–"

"Temen lo udah pergi daritadi. Sekarang lo diem bisa? Sana bolos pergi yang jauh ga usah balik sekalian! Kalau berisik sekali lagi, gua cepuin lo ke guru kalau lo bolos!"

Bukan apa-apa, sebenarnya bisa saja gadis itu melaporkannya sekarang kalau saja dia sendiri sedang tidak bolos juga. Ia ingin sembunyi di sana beberapa menit lagi, kalau Jefa masih memanggil-manggil nama Fajar bisa-bisa dia yang ketahuan berada di belakang gudang karena teriakan Jefa bisa terdengar sampai ke mana-mana.

"Kenapa masih masuk? Udah di-alpha-in. Percuma kamu masuk, nilai absensi kamu gaakan bertambah," sindir Pak Dodo—guru Fisika kelas 12—setelah melihat Fajar masuk ke dalam kelas dengan cengiran di wajahnya. Tak ada yang bisa ia lakukan, mau salim saja malah ditolak oleh Pak Dodo.

"Push up 20 kali!"

-TBC-

Duh nakal banget ya tu dua😂
Jangan lupa vote jika kalian suka cerita ini dan komen yang banyak-banyak ya!❤️
See you next part

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Satu Jiwa Dua RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang