Umurku Baru 16 Tahun

8 0 0
                                    

Sun, kalian bisa memanggilku seperti itu. Tentu bukan nama asliku. Hanya saja Sun memiliki inisial yang sama dengan nama asliku. Sun juga nama panggilan dari seseorang yang akan aku ceritakan di sini, entah bagian mana. Kalian akan menemukannya nanti.

Umurku baru 16 tahun saat kisah ini dimulai. Sebenarnya, semua sudah dimulai sejak aku lahir. Hanya saja aku tidak paham betul saat itu. Jadi, saat umur 16 tahun lah aku mulai mengerti di mana aku berada.

Jika kalian berpikir ini kisah cinta seorang remaja. Kalian jelas salah. Jika kalian berpikir ini kisah persahabatan. Kalian juga salah. Cerita ini berisi kisah hidup Sun. Kisah hidup seorang anak gadis yang tidak terlalu pintar tapi juga tidak terlalu bodoh. Bisa dibilang pemalas tapi memiliki sisi rajin. Sering mengeluh tapi pantang menyerah. Kisah tentang hidupnya baik itu asmara, keluarga, dan teman ada dalam cerita ini.

Kuingatkan sekali lagi, Sun ini pemalas jadi jika cerita ini berhenti di tengah jalan dan tidak diteruskan dalam waktu yang lama, kalian boleh mengomel sesuka hati. Boleh juga memakinya agar tidak malas menulis cerita. Tapi jangan mengutuknya menjadi batu ya.

Tuh kan sudah kubilang di awal, saat bercerita, aku sangat suka mampir ke mana mana. Sampai aku sendiri lupa seharusnya menceritakan tentang perjalananku yang dimulai saat umur 16 tahun. Mimpi buruk itu dimulai.

Sore hari, ruang tengah rumahku yang sangat sederhana, hanya terdapat TV tabung dan tikar di lantai. Aku duduk di tikar bermain bersama adikku yang berusia 2 tahun. 

Ibu yang menyusul duduk di sana tiba-tiba saja bertanya "Sun, nanti SMA mau lanjut di mana?"

Jelas dengan bangga aku menjawab SMAN 2 Kota. SMA itu adalah sekolah favorit di kota. Sejak SD, aku rajin belajar agar dapat masuk ke SMAN 2 Kota. Bukan bermaksud sombong tapi aku selalu mendapatkan peringkat 1. Itu semua aku lakukan agar aku bisa masuk SMAN 2 Kota. Sekarang kalian pasti paham seperti apa keinginanku masuk sana.

Namun, sore itu impianku tentang SMAN 2 Kota patah dalam sekejap.

Ibu mengatakan padaku "Sun, sekolah di SMAN 1 Kabupaten saja ya, kan sama bagusnya dengan SMAN 2 Kota".

"Tapi kan SMAN 1 Kabupaten ada uang SPPnya bu, toh tidak sebagus SMAN 2 Kota" Aku berusaha menyanggah.

"Apa bedanya dengan sekolah di Kota Sun, sekolahnya memang gratis, ongkos untuk beli bensinnya yang tidak gratis, pulang pergi menghabiskan 20 ribu. Coba kamu hitung sebulan sudah habis berapa untuk bensin mengantarmu sekolah?" Ibu memberi penjelasan.

Beberapa detik ruang tengah itu hanya terdengar ocehan adikku yang belum mengerti arah pembicaraan kami. Aku diam tidak menjawab, ibu juga diam menunggu responku.

"Nanti Sun pikirkan lagi ya Bu" jawabku sedikit lesu.

Obrolan itu berdampak panjang setelahnya. Setiap ada kesempatan, ibu pasti membujukku untuk masuk SMAN 1 Kabupaten. Seolah tidak kenal menyerah untuk membujukku dengan mengatakan beberapa kata rayuan.

"Nanti di SMAN 1 Kabupaten, kamu bertemu teman - teman lamamu Sun"

"Nanti di SMAN 1 Kabupaten, kamu tidak perlu bangun sebelum subuh untuk siap siap berangkat sekolah"

"Nanti di SMAN 1 Kabupaten, kamu bisa berangkat sekolah dengan teman teman"

Dan masih banyak 'nanti...' yang diucapkan ibu untuk merayuku.

Bagaimana dengan bapak? Apa bapak mendukungku untuk masuk SMAN 2 Kota? Mengingat dulu beliau yang paling semangat mencarikanku sekolah terbaik.

Ternyata bapak sama dengan ibu. Kondisi ekonomi kami yang membuat bapak juga berpikir yang penting dekat. Bisa lebih hemat jika nanti aku nebeng motor teman. Jadi, bapak tidak perlu mengantar dan menjemputku sekolah.

Akhirnya aku menuruti keinginan bapak dan ibu untuk masuk SMAN 1 Kabupaten. Masuk kelas MIPA yang mereka panggil sebagai kelas unggulan. Faktanya aku tidak seunggul itu di SMA.

Selayaknya remaja pada umumnya yang merasa kecewa karena dipaksa mengikuti kemauan orang tua. Aku memang masuk kelas unggulan, hanya saja aku tidak pernah mau belajar. Aku berhenti belajar di SMA. Tidak ada lagi Sun yang sering membaca buku, Sun yang mengerjakan semua PR-nya sepulang sekolah, Sun yang belajar sampai jam 10 dan bangun jam 3 hanya untuk belajar lagi, Sun yang menghafal materi setiap dibonceng berangkat sekolah. Sun yang rajin telah pergi bersamaan dengan pengumuman dirinya diterima di SMAN 1 Kabupaten. Tindakan pemberontakan yang sengaja aku lakukan karena bosan menjadi anak penurut. Tindakan yang suatu hari nanti akan membuatku menyesal.

Aku menjalani kelas 10 dengan biasa saja. Aku suka tidur di kelas saat guru menjelaskan, tidak pernah mau mencatat materi pelajaran, menyontek PR teman di sekolah. Tidak ada yang istimewa. Nilai ujianku selalu di bawah KKM, tidak pernah absen untuk mengikuti perbaikan nilai, itu hal biasa saat SMA. Peringkat 3 dari bawah,  cukup untukku yang tidak pernah belajar. Kadang aku jijik melihatnya, mengingat selama SD sampai SMP nilaiku selalu paling tinggi di kelas. Tapi ya sudah, aku yang menginginkannya sebagai tanda pemberontakan. Toh aku kelas unggulan, nilaiku tidak lebih jelek dari anak anak kelas reguler. Itu yang aku pikirkan.

Memang niat awalnya hanya untuk memberontak tapi ternyata menjadi murid biasa saja dapat membuatku melihat manusia dari sudut pandang lain. Maksudnya selama aku menjadi murid pintar, aku tidak perlu mencari teman. Teman-teman  yang datang kepadaku, mengajak diskusi soal tugas, menanyakan cara belajar, mengajak bermain. Berbeda dengan sekarang. Temanku sedikit, tidak ada yang mengajakku diskusi, tidak ada yang bertanya cara mengerjakan atau sekedar mengoreksi jawaban denganku. Tidak ada pula yang sekedar mengajakku ke kantin. Seringnya dalam diskusi, aku dianggap tidak ada. Aku baru tau, ternyata seperti ini rasanya menjadi siswa biasa saja.

Mendapat perlakuan seperti itu membuatku semakin malas berangkat sekolah. Pada semester 2, aku tidak berniat membuktikan jika aku bisa seperti anak-anak pintar itu. Aku tetap menjadi Sun, siswa yang suka duduk di belakang, tidur saat pelajaran, mendapat nilai di bawah KKM, dan mendapat peringkat 3 dari bawah.

Hanya satu perubahan kecil yang tidak terlalu berarti saat itu, aku punya jiwa seni yang baik. Demikianlah mereka mengenal seorang Sun. Seni selalu menarik minatku. Lupakan sejenak tentang pemberontakan. Aku tidak bisa menolak totalitas dalam seni. Ada 2 pelajaran seni yang aku dapatkan selama sekolah, seni rupa pada semester 1 dan seni tari pada semester 2. Mereka bilang aku jago keduanya tapi aku tidak minat pada seni rupa. Kalau menari, jangan ditanya lagi, sejak SMP aku sangat suka dengan dunia tari dan teater.

Menari tradisional itu keren. Apalagi tradisional kontemporer yang memiliki cerita seperti drama. Aku pernah mendapatkan tugas itu. Aku membuat tari tradisional kontemporer yang menceritakan tentang seorang gadis baik, sopan, dan pemalu yang tinggal di desa. Gadis itu memilih untuk merantau ke kota. Pergaulan bebas kota merubahnya menjadi gadis centil yang suka menggoda banyak lelaki. Hingga akhirnya dia mendapat teguran dari Yang Maha Kuasa, hidupnya hancur, dia frustasi sampai hampir gila. Namun, jalan yang dia pilih untuk akhir kisahnya adalah bertobat dan menata kembali hidupnya. Aku memberi nama tarian itu Lintang Kemayu. Musik tariannya perpaduan dari musik adat Betawi dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Tarian itu hanyalah tarian biasa saat aku membuatnya. Aku terinspirasi dari musik daerah yang aku dengar. Terlepas dari tarian itu menjadi tarian terbaik  yang dinobatkan oleh guru seni tariku. Cerita dari tarian itu adalah bagian terpenting yang baru aku sadari beberapa tahun setelahnya.

Matahari MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang