2.SANDARAN PERTAMA

13 1 1
                                    

"Sejatinya kita hidup bersama mereka yang tak kasat mata"

••𝓜𝓮𝓷𝓳𝓮𝓶𝓹𝓾𝓽 𝓡𝓸𝓱 𝓑𝓾𝓷𝓭𝓪••

Sepasang mata mengerjap-erjap tatkala membuka matanya menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke netra. Ia terdiam sejak menatap sosok Jenggala yang ternyata sudah ada di ranjangnya dengan wajah sumringah yang masih terlelap. Tak ingin membuang waktu, Sakala bangun dan segera bersiap-siap berangkat ke sekolah. Di ruang makan sana, Sakala melihat Gentala dan Ayahnya-Bagas tengah serius menatap laptop, tidak perlu terkejut, itu pemandangan biasa, di pagi hari seperti ini mereka berdua sudah berkutik dengan kerjaannya.

Entah berapa lama ia mandi, yang jelas saat ia kembali sudah ada Jenggala yang ikut gabung bersama Ayah dan Kakak pertamanya. Sakala yang sudah rapih itu pun turun dengan niat ikut bergabung bersama mereka. Namun, belum juga langkah Sakala sampai di ruang makan, terlihat dengan jelas Bagas segera berdiri dari duduknya, membereskan semua berkas dan membawa laptopnya lalu pergi tanpa sepatah katapun. Sontak hal itu membuat Sakala terdiam dan kedua kakaknya kebingungan menatap Ia dan Ayahnya secara bergantian.

"Pagi adik gue, weh udah ganteng aja, lo sekolah? Nggak mau bolos aja? " Jenggala menghampiri Sakala dan membawa Sakala duduk di meja makan. Jenggala yang berada di sebelah Gentala mendapat jitakkan dari Kakaknya itu. "Sensian banget lo prawan! Gue juga bercanda doang kali! " ujar Jenggala pada Gentala.

"Rotinya di makan, gue anter ke sekolah. "

Sakala menatap Gentala lekat. "Lo? Anterin gue? Kenapa? Gue bisa bawa motor gue sendiri. "

"Oke."

Sakala menarik nafasnya, ia harus ekstra sabar menghadapai Gentala yang sangat irit kosakata.

•• 𝓜𝓮𝓷𝓳𝓮𝓶𝓹𝓾𝓽 𝓡𝓸𝓱 𝓑𝓾𝓷𝓭𝓪••

Malam sudah menunjukan pukul delapan. Terlihat dengan jelas, seorang gadis yang berdiri di trotoar jalan terlihat kebingungan. Ia celingukan mencari orang yang ia kenal. Ini salahnya, salahnya yang selalu lupa membawa dompet.

Arunika kembali duduk di kursi yang telah di siapkan, ia mencoba kembali mengubungi kekasihnya Zen untuk yang ke tujuh kali.

Zen: kenapa, Ka? Lo ganggu gue aja, gue lagi sibuk, paham nggak?!

Arunika: sorry Zen, gue mau pulang tapi gue lupa bawa dompet. Gue masih di depan toko bunga yang sering kita datengin. Lo bisa jemput gue kan Zen? Gue bingung minta tolong ke siapa lagi, di sini cuma ada kontak lo, Kakak gue, Mama sama Papa, tapi mereka nggak akan bisa bantu gue. To---

Mendadak, Arunika terdiam tatkala panggilan itu di akhiri sepihak oleh Zen. Arunika meremat handphone yang ia genggam dan menunduk dalam.

Tak lama, Arunika kembali mengangkat kepalanya dan mencoba mengubungi Papanya. Namun tak kunjung di angkat bahkan sudah sepuluh kali.  Lalu, ia tak menyerah, Arunika mengubungi Ibunya

Setelah percobaan ke lima akhirnya mama nya menjawab telpon dari dirinya.

Arunika: Ma, Arunika---

Tuttt... Tutt... Tutttt...

Terputus. Kali ini Arunika kembali menyerah dan menundukkan dalam kepalanya. Di handphone nya yang bagus dan mahal, ia hanya menyimpan keempat kontak itu, tak ada teman sekelas satupun yang ia simpan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENJEMPUT ROH BUNDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang