Part 8 : Sophie

955 63 2
                                    

Aku masih mengemas barang-barang Ibuku ke dalam tas yang sudah kubawa sejak kemarin. Beruntung barang-barangnya tidak banyak, beberapa lembar baju, dua mug, satu sisir, dan beberapa perlengkapan mandi.

"Kemarin... biaya rumah sakitnya banyak ya?" aku sudah menduga ibuku akan menanyakan hal ini. Hanya saja ia tidak menanyakannya kemarin saat Aaron masih ada sama kami.

Tidak mungkin aku memberitahunya bahwa Aaron lah yang sudah melunasi biaya rumah sakitnya, karena akan menambah beban pikirannya. "Nggak kok ma, aku kan rutin bayar tiap bulan, jadinya kemarin pas bayar pelunasan nggak terlalu berat."

Pandai sekali mulutku berbohong. Aku tidak menyangka bahwa aku akan merasa se-ringan ini mengatakan kebohongan pada Ibuku sendiri.

"Maaf ya, mama jadi nyusahin kamu terus."

Sambil tetap fokus menyelesaikan mengemas barang-barang Ibuku, aku menjawab dengan ceria. "Mama sama sekali nggak nyusahin aku kok, bukan cuma mama yang pengen mama sembuh, aku juga pengen mama sembuh."

"Kamu udah pesan uber? Mau mama aja yang pesan?"

Mendengar ucapan Ibuku, aku tiba-tiba teringat ucapan Aaron yang mengatakan bahwa ia menawarkan agar sekretarisnya yang akan mengantar kami, tetapi aku lupa memberitahu Ibuku semalam.

"Kak Aaron nawarin buat anterin kita Ma, jadi nggak usah pesan uber."

Baru saja membicarakannya, sosok Aaron sudah melongok dari balik pintu dan memperlihatkan tubuhnya yang dibalut dengan pakaian kasual kaos berwarna hitam polos dan celana dan celana berwarna abu-abu gelap, tidak seperti penampilan yang sering aku lihat. Aaron benar-benar menjadi terlihat seperti orang yang berbeda.

"Hai," sapanya saat melangkahkan kakinya untuk lebih masuk ke dalam kamar. "Gue telat ya?"

Aku menggeleng dengan cepat. "Gue juga baru beres packing perlengkapan sama peralatan mama, bisa jalan sekarang?"

Aaron tersenyum kecil diikuti dengan anggukan kecil saat mendengar pertanyaan aku. Ia dengan sigap mengambil tas dan beberapa barang lain yang bisa ia pegang dan membawanya keluar dari rumah sakit menuju tempat di mana mobilnya terparkir.

"Tunggu di sini aja ya, nanti gue bawa mobilnya ke depan lobby."

"Bawa mobil sendiri kak? Nggak pakai sopir kayak biasanya?" tanyaku heran. Biasanya Aaron memang memanggil sopirnya untuk mengendarai mobil alih-alih mengendarainya sendirian.

"Kalau kegiatan pribadi gue emang lebih suka bawa mobil sendiri, tunggu disini ya?" balasnya. Ia kemudian beralih melihat Ibuku yang sedang memakai sweaternya. "Tante pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru," ucapnya yang dibalas anggukan lembut oleh Ibuku.

Aaron pergi mendahului kami berdua. Dan saat sosok Aaron benar-benar sudah menghilang dari hadapan kami, Ibuku merangkul aku dan dengan senyum cerah berkata, "Aaron perhatian banget ya? Padahal lagi nggak bareng mama nya, tapi tetap mau anterin kita berdua."

Aku menatap Ibuku dengan tatapan heran. Tidak biasanya ia tersenyum se-cerah ini hanya karena mendapat perlakuan manis dari seorang pria. Dan juga, pria yang sedang ia puji ini beberapa tahun lebih muda dibanding dirinya.

"Mama kalau dapat menantu kayak Aaron juga nggak bakalan mama tolak, langsung nikah!" pekiknya, beruntung tidak ada orang lain selain kami di kamar rawat inap nya.

"Menantu apa sih Ma? Siapa yang mau nikah sama kak Aaron?" aku bertanya karena tidak paham dengan maksud perkataannya.

Ibuku memukul pelan lenganku yang sedang ia peluk dengan tangan kanannya. "Kamu ini," ucapnya. "Ya kalau kamu nikah sama Aaron, Mama udah seratus persen setuju!" sambungnya.

Aku tersedak ludah sendiri sesaat setelah mendengar ucapan Ibuku. Bisa-bisanya ia mengatakan hal seperti itu saat orang yang sedang ia puji mungkin saja mendengarnya.

"Ma!" Kataku dengan sedikit nada merengek. "Jangan sembarangan bilang gitu, nggak enak kalau kak Aaron denger, nanti dia jadi canggung gimana? Mama emangnya mau tanggung jawab?"

Kami berjalan menuju lobi tempat aku dan Aaron menyutujui untuk bertemu. Kami tidak terburu-buru seperti permintaannya, dan dari jauh aku sudah melihat mobil Aaron sudah menunggu di depan lobi.

Saat aku dan Ibuku semakin dekat dengan jarak mobilnya, Aaron terlihat keluar dan membuka pintu mobil untuk Ibuku, tidak lupa ia juga membantunya untuk naik ke atas mobilnya yang bisa terbilang cukup tinggi.

Aaron segera membawa mobilnya meninggalkan lobi rumah sakit setelah memastikan aku mengenakan seatbelt. 5 menit perjalanan tidak ada yang aneh, namun saat Aaron berbelok ke kanan alih-alih ke kiri—ke arah apartemen aku dengan Hannah.

"Mau ke mana kak? Tadi harusnya belok kiri."

"Bukannya mau cari apartemen baru?"

Seketika mataku membulat secara sempurna karena terkejut. Punggungku secara spontan terangkat dari sandaran kursi mobil. "Sekarang? Kak... nanti aja, gue mau cari pelan-pelan." Aku bisa mendengar suaraku bergetar karena gugup, tetapi aku berusaha membuatnya terdengar normal.

Saat ini kondisi keuanganku sedang tidak berada pada fase dapat membayar uang muka menyewa apartemen, dan aku tidak mau Ibuku mengetahui hal ini.  Tetapi Aaron bertindak sendiri tanpa membicarakannya dengan aku terlebih dahulu.

"Sekarang aja, gue juga punya waktu buat anterin lo cari apartemen," ujarnya dengan melihat ke arahku sesaat kemudian kembali fokus pada jalanan yang ada di depannya.

Aku berbalik ke arah belakang dan mendapati Ibuku mengulum senyumnya setelah mendengar ucapan Aaron. Aku memejamkan mataku sebentar untuk menyusun kata setiap kata yang akan kembali aku lontarkan.

Dimulai dari membantu aku membayar biaya rumah sakit Ibuku, sekarang ia membantu aku mencari apartemen murah yang sudah pasti sulit untuk ditemukan.

"Nanti aja kak, nyari yang harganya affordable juga nggak gampang, kita cari nanti aja."

Meskipun sudah aku beri penjelasan, Aaron tampak tidak terganggu dengan ucapan dan penjelasan aku. Ia tetap melajukan mobilnya ke arah jalanan yang tidak aku kenali yang dalam kata lain adalah tidak pernah aku lewati.

Perjalanan selama 20 menit akhirnya berhenti. Aaron memasuki area lobi apartemen yang terlihat sangat mewah dan membiarkan valet untuk mengambil alih mobilnya.

"Kak? Ini gedungnya kok gede banget?"

Aaron yang sudah menyelesaikan pembicaraannya pada salah satu pegawai yang menjaga meja informasi pun kembali memfokuskan tatapannya padaku. "Lo mau penthouse atau apartemen?"

"Apa?"

BETWEEN LIES [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang