Suara gemuruh awan mengganggu tidur lelap Gulf. Cahaya kilat meledak di seluruh ruangan, membangunkannya dengan tiba-tiba. Ia duduk tegak di tempat tidur, sesak nafas seolah-olah baru saja ia berlari maraton. Ia mendengar raungan petir menggetarkan jendela diikuti hujan deras. Tiba-tiba lampu meja lampu mati dan kegelapan menyelimuti.
Listrik padam.
Panik dingin menyelubungi dadanya dan ia bisa merasakan keringat mulai mengalir di pelipisnya. Gulf membungkuk, menutup mata erat-erat. Ia tidak suka ini. Ia tidak pernah suka kegelapan dan kilatan petir yang meledak, ini membuat tubuhnya gemetar. Panik menghentakkan pikirannya dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia berjuang untuk bernapas, meraih selimut sehingga buku-bukunya memucat.
Angin bertiup semakin kencang, hujan turun lebih keras, dan guruh bergemuruh yang lain melewati rumah. Gulf terkejut dan saat itulah ia merasakan lengan kuat menarik tubuhnya ke dalam pelukan hangat dan akrab.
"Gulf, sayang, kamu gapapa. Aku ada di sini."
Mew.
Gulf bisa merasakan lengan Mew yang erat memeluknya, memegang tubuhnya yang gemetar. Mew ada di sini. Mew bersamanya. Seketika, air mata meluap tanpa peringatan, mengalir turun dari wajahnya.
"Gulf," kata Mew, khawatir. "Jangan nangis. Aku di sini. Kamu gak sendirian."
"Mew—" Gulf tidak bisa menahan desahan rendah yang terputus di suaranya. "Mew."
Mew menarik Gulf lebih erat lagi, kaki mereka terjerat satu sama lain. Mereka sangat dekat—ini adalah kedekatan mereka pertama kali setelah berpisah. Gulf berguncang saat ia merasakan kehangatan yang memicu sesuatu di dalam dirinya. Ia tidak menginginkannya. Ia tidak ingin merindukannya, tetapi ternyata Gulf memang merindukan kehangatan tersebut. Dengan begitu dekat dan mencium wanginya yang akrab mengingatkannya betapa amannya dia dipelukan Mew.
Berusaha untuk mengendalikan pernapasannya namun gagal, Gulf melingkarkan tangannya di sekitar leher Mew dalam cengkraman dan menangis di tenggorokannya.
"Sayang, tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja. Aku di sini bersamamu," Mew mengayun-ayunkan tubuh Gulf ke depan dan ke belakang, tanpa menyadari panggilan sayang yang meluncur dari bibirnya. Fokusnya sepenuhnya pada Gulf.
Mew mulai memberikan ciuman-ciuman kecil yang menenangkan pada wajah suaminya. Itu kebiasaan yang ia lakukan untuk menenangkan Gulf. Dia selalu melakukan ini ketika Gulf mengalami serangan panik. Di dalam pikirannya, Mew sadar seharusnya dia tidak melakukan ini. Tapi ia juga tidak bisa duduk diam dan tidak berbuat apa-apa saat Gulf membutuhkannya. Pada saat ini, nalurinya mengambil alih kendali perilakunya.
"Tidak apa-apa, sayang," terus ia bisikkan. "Kamu baik-baik saja. Aku di sini."
Gulf menarik napas dengan cepat dan kuat. Mew memeluknya lebih erat lagi. Tidak ada celah tersisa di antara mereka. Tubuh mereka sangat pas, seolah tuhan menciptakan mereka secara sepasang.
Rasa rindu tiba-tiba melanda Gulf. Sangat kuat, melandanya. Hatinya berdenyut menyakitkan saat kesadaran akhirnya menyergapnya.
"Mew," ia terengah. "Mew, aku butuh kamu. Aku merindukanmu."
Gulf bisa merasakan tubuh Mew yang menjadi kaku. Ia mendengar nafas dalam yang diambilnya tetapi Mew tetap tidak melepaskan genggamannya.
"Gulf—"
"Aku mohon Mew," suara serak meledak menjadi tangisan, dikuasai oleh nafsu dan rasa rindu. Gulf menyusupkan tangannya melalui rambut Mew, Gulf menarik kepalanya dan menekuk dagunya ke atas, mengecup bibirnya di sudut mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir - MEWGULF
ChickLitMew Suppasit menyadari bahwa sebagai pewaris Palet Grup, suatu saat dia diharuskan menikah. Tetapi ketika calon pengantin yang seharusnya melarikan diri, dia harus menikahi saudara laki-lakinya sebagai pengganti. Yang tak disangka bahwa pasangan yan...