Buku Putih

8 1 0
                                    

Geytsa pov

•••

"Gey, bangun dulu yuk."

Suara berat terdengar bersamaan dengan sebuah benda yang pelan, menyentuh kepalaku.

Aku berusaha untuk membuka mata dan segera sadar akan apa yang terjadi. Ketika itu, Kak Daffa sedang berdiri di samping ranjang kamar dengan sebuah tongkat kayu berada di tangannya. Ternyata benda itu yang mengenai kepalaku hingga aku bisa bangun.

Betul, sejujurnya Kak Daffa tak pernah lupa akan kebiasaanku sejak dulu. Ia paham dengan bermodalkan suara saja, tak mampu untuk membuatku terbangun. Aku perlu di sentuh, dan untuk Kak Daffa, dan untuk Kak Daffa lainnya, perlu perantara lain karena aku tak bisa disentuh oleh lelaki bukan mahram. Seperti tongkat ini misalnya.

"Lo belum salat Dzuhur deh ya keknya. Soalnya terakhir kita pulang sekitar jam 11, dan lo langsung tidur," ujar Kak Daffa begitu melihat mataku yang sudah terbuka sempurna.

"Jam berapa sekarang, kak?"

"Jam dua, masih bisa kan?" tanya Kak Daffa yang entah kenapa, nada suaranya terdengar khawatir.

"Aman, makasih ya kak."

Mendengar pernyataanku, lelaki itu langsung menghela napas lega.

"Syukurlah, gue hampir lupa mau bangunin lo tadi. Btw, Bunda lagi pergi ke supermarket, makanya gue yang bangunin lo. Tapi tenang, ada temen gue di sini ko. Jadi gak berdua banget.

Sementara Kak Daffa menjelaskan panjang lebar, aku terdiam sembari mengganguk.

Gak pernah berubah kamu, kak.

"Btw, mukenahnya di atas meja ya," ujar Kak Daffa dan setelahnya menghilang dari pandangan.

Aku beranjak dari tempat tidur, dan bersyukur sakit maag ini sudah raib. Mataku tertuju pada mukenah jumbo putih yang tak asing.

Bentar. Itu mukenah yang aku kenakan dua tahun lalu, tepatnya sebelum Kak Daffa dan keluarga memutuskan untuk pindah ke luar kota.

Saat itu, hubungan baik antara keluargaku dan keluarga Kak Daffa memang tak usah dipertanyakan. Beberapa kali, aku menemani Bunda memasak hingga aku bisa menghabiskan setengah hariku di rumahnya.

Bahkan, Bunda sampai membelikanku mukenah agar aku tak perlu untuk pulang ke rumah hanya untuk melaksanakan salat.

"Kasihan kalau kamu bolak balik," kata Bunda ketika ditanya alasannya membelikanku mukenah. Padahal jarak rumah kami hanya lima langkah.

"Pun nanti siapa tau ada temen Muslim Bunda yang dateng, jadi gak akan percuma Bunda beli mukenah," tambahnya saat itu.

Hatiku menghangat mengingat moment itu. Dengan segera, aku beranjak mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibanku.

Setelah selesai, aku berencana untuk pulang. Namun sebelum itu, aku membereskan tempat tidur dan sesuatu yang sekiranya perlu untuk dibersihkan. Membuka kembali gorden jendela, dan mengatur suhu AC kembali ke suhu semula--sesuai dengan suhu kesukaan Kak Daffa.

Aku melangkahkan kaki keluar kamar dan mendapati Kak Daffa sedang bersama dengan temannya. Dikelilingi oleh buku-buku tebal dan beberapa bungkus makanan ringan, aku bisa menyimpulkan bahwa mereka sedang bergulat dengan tugas kuliah.

Menyadari keberadaanku, Kak Daffa memberhentikan aktivitasnya.

"Kak, gue mau pulang dulu ya."

"Gak nunggu Bunda pulang dulu, Gey?" tanya Kak Daffa.

"Soalnya udah gak nyaman banget, gue pengen cepet bersih-bersih. Hehe," jawabku sembari sesekali tersenyum simpul pada temen Kak Daffa yang memperhatikan percakapan kami.

"Titip salam buat Bunda aja ya, kak. Nanti kalau sempet, malam ini gue mampir lagi," lanjutku.

Kak Daffa mengganguk pada akhirnya. Terakhir, sebelum aku keluar rumah, ia sempat menanyakan apakah keadaanku sudah baik-baik saja atau belum sembari memberikanku martabak manis ketan hitam kesukaanku.

"Ini tadi gue beli lebih, bawa gih buat tante sama om ya. Salam buat mereka juga."

Siapa yang bisa nolak kalau gini? Hehe.

•••

"Bang Juan!! Lagi ngapain?"

Aku mengernyitkan dahi ketika tak ada sahutan yang terdengar dari dalam kamar.

"Bang, gue masuk ya. Mau minjem stabilo, punya gue habis."

Hening. Sepersekian detik kemudian, aku mendengar suara dengkuran keras dari dalam bilik kamar.

"Ah pantes."

Setelah mengetahui keadaan Bang Juan yang sudah tertidur, aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Bang, pinjem stabilo. Lo lagi tidur tadi."

Aku meninggalkan pesan pada sebuah sticky notes dan menempelkannya di meja.

Baru saja berniat hendak membalikkan badan dan ingin keluar kamar, sebuah benda mencuri perhatianku, tepatnya sebuah notebook putih polos yang nampak asing. Aku amat mengerti, bahwa Bang Juan lebih suka menggunakan catatan digital di android maupun laptopnya dibandingkan buku atau sejenisnya.

Tetapi, bukan tak mungkin jika memang Bang Juan adalah sang pemilik buku itu.

"Ih, tapi ko tulisannya, 'untuk Geytsa'."

Aku mentapnya penuh keheranan ketika tulisan "untuk Geytsa" tertulis di lembar cover.

"Ulang tahun gue kan masih lama," ujarku menerka. "Pun, kalau buat kado, kenapa udah penuh sama tulisan." Tanganku dengan gesit membuka laman demi laman dengan cepat. Pada awalnya, tak ada niatan untuk membacanya, hanya ingin melihat ternyata buku itu tak menyisahkan satu pun lembar kosong, semuanya sudah terisi.

Rasa penasaranku sungguh sudah tak bisa terbendung. Ibu selalu berpesan bahwa jangan pernah menyentuh barang milik orang lain meski itu keluarga kita sendiri sebelum mereka memberikan izin. Namun, pertahananku goyah malam ini.

"Aaa penasaran, baca lembar pertama gak ngaruh kali ya."

Aku semakin mantap untuk mengeksekusi niatku ketika kembali melihat tulisan pada cover buku tersebut.

Untuk Geytsa..

Aku tak bisa berhenti tersenyum ketika membaca tulisan di lembar pertama, hingga tersadar bahwa aku sudah menghabiskan lima menit mematung dengan tatapan yang tak sedikitpun ku alihkan dari tulisan itu.  Tidak, tulisannya hanya terdiri dari tiga kalimat. Dan mungkin hanya butuh waktu beberapa detik untuk membacanya.

Namun, sudah tak terhitung berulang kali aku membacanya, beberapa kali pula, aku terkesima.

"Ini bener Bang Juan yang nulis?"

Saat ini, jawaban yang paling masuk akal adalah 'iya', karena buku itu ada di kamarnya.

Persetan sepertinya dengan rencanaku yang hanya berniat untuk membaca lembar pertama, tulisan ini terlalu indah jika hanya berhenti pada lembar pertama.

Yang bener aja? Rugi dong.

Namun, ketika tanganku dengan mantap membuka lembar kedua, suara berat khas bangun tidur muncul dan mengurungkan niatku.

"Gey, jangan. Buku itu bukan punya gue."

Selang beberapa detik, aku terdiam. Menatap Bang Juan yang juga sedang menatapku dengan cemas.

Terus, siapa pemilik buku ini?

•••

To be continued.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FAITHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang