Finally, bab 3 selesai
Awas aja cuma dibaca
Minimal vote dan beri komentar
Kalau nggak, nanti aku hiihhh
"Allah menunda hal yang indah bukan karena kamu tidak pantas mendapatkannya. Melainkan memintamu untuk bersabar lebih keras agar hal yang lebih indah datang tepat pada waktunya."
***
Jam istirahat menjadi hal yang paling dinanti-nanti oleh para pekerja. Termasuk aku dan Carmila. Usai menunaikan salat Zuhur, kami berniat mencari makan siang untuk mengisi perut yang keroncongan.
Pilihan kami jatuh pada warung makan Cik Merry. Katanya, warung ini sudah dibangun sejak tahun 1998, sejak zamannya Pak Soeharto.
Di tengah maraknya makanan ala restoran mahal yang sedang viral di luar sana, warung makan Cik Merry membuktikan bahwa kuliner Nusantara tidak lantas terhenti perkembangannya. Dikelola sedemikian rupa oleh Cik Merry sendiri, warung makan memberi kesan
seolah 'pulang ke rumah' yang lekat dengan kehangatan dan kesederhanaan. Menu-menu makanannya pun dibandrol dengan harga yang terjangkau, cocok untuk yang sedang mode ngirit."Cik, minta sambal lagi dong," pinta Carmila saat Cik Merry mengantarkan pesanan kami.
"Siap, Cantik," jawab Cik Merry dengan senyum yang menampilkan keriput di ujung matanya. Meski sudah berumur, Cik Merry semangat sekali dalam membangun bisnisnya. Ini bisa menjadi motivasi yang baik untuk para kaum muda yang hobinya rebahan. Masa kalah dengan yang sudah tua.
Aroma rempah-rempah yang keluar bersama uap dari sop iga pesanan kami membuatku tak sabar untuk segera mencicipi. Namun, berusaha kutahan karena Carmila sedang sibuk memotretnya untuk bahan instastory.
Begitu sambalnya datang, Carmila buru-buru meletakkan ponselnya di meja.
"Kamu kelihatan muram beberapa hari ini. Lagi ada masalah, ya, Ghin?" tanya Carmila setelah menelan makanannya.
Aku membalas dengan gelengan karena masih mengunyah makananku.
"Kemarin, Mas Theo hubungin aku. Dia nanya apa kamu lagi ada masalah. Katanya udah tiga hari kamu terlihat menghindar. Bukannya hari Minggu kemarin kalian habis liburan, ya?"
Aku terdiam beberapa saat. Berusaha mencari jawaban yang tepat atas kegelisahanku beberapa waktu ini. Aku sengaja menghindar dari Theo bukan tanpa alasan. Ya, sekalipun aku sadar bahwa diamku akan berdampak buruk pada hubungan kami. Hanya saja, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Aku nggak apa-apa, Mil. Cuma stres karena kerjaan aja kok," jawabku pada akhirnya.
Carmila merespons dengan nada sinisnya, "Cewek kalau udah bilang nggak papa itu sulit dipercaya. Udahlah, cerita sama aku. Kayak sama orang asing aja."
Benar kata Carmila. Kami sudah bersahabat sejak tiga tahun yang lalu. Namun, aku masih saja sulit untuk terbuka. Seolah Carmila adalah orang asing di kehidupanku. Padahal, nyatanya Carmila ada bagian dari warna terindah yang aku punya, selain Theo.
Aku menghela napas sejenak. Ada rasa sesak yang terus berontak minta dikeluarkan. "Aku kepikiran omongan Ibu, Mil."
"Ibumu ngomong apa?"
"Ibu terus-terusan nanya hubunganku sama Theo. Ibu pengin Theo cepat-cepat seriusin aku. Sedangkan kamu tau, ini sulit. Aku dan Theo sedang berusaha untuk itu."
Kali ini, tanganku gemetar. Terasa darahku berdesir begitu hangatnya. "Aku cinta banget sama Theo, Mil. Aku nggak bisa tanpa dia. Dia rumahku, bagaimana bisa aku jauh dari rumahku sendiri? Tempat ternyamanku, tempat di mana aku merasa dilindungi, dicintai. Dia yang angkat aku dari lubang penuh duri itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dan, usai.
SpiritualDaily Writing Challenge NPC 2024 ________________________________ Kita berupaya, kita berdoa. Semoga kelak harapan terkabul bersama amin paling serius, bukan ikhlas paling serius. Hanaksara, 28 Januari 2024