O1

163 15 0
                                    

"Ibu, aku bertemu dengan sosok cantik di pulau ini, apakah dia adalah sebuah hukuman karena aku sudah melawanmu atau ia adalah sebuah berkah yang akan membawa keberuntunganku?"
(Arthur Chen)

Helaan napas berat terdengar, seorang pemuda di meja makan meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar saat sang ibu lagi-lagi menunjukkan foto seorang wanita cantik di ponselnya.

"Ibu, aku sudah bilang aku belum tertarik dengan siapapun, aku belum minat untuk menjalin hubungan sekarang, lagipula usiaku baru 26 tahun!"

Wanita cantik yang di panggil ibu itu menatap putranya malas, "Baru 26 tahun katamu? Arthur, seusia itu sudah seharusnya kau dekat dengan wanita dan memacari mereka, tapi apa yang ibu dapat? Kau selalu mengusir mereka setelah ibu berkata kau bersedia berkenalan lebih jauh dengan mereka."

Pemuda yang di panggil Arthur itu menoleh dan menatap ibunya lebih malas, "Itu karna selera wanita yang ibu pilihkan sangat buruk!"

Chen Hong melotot pada putranya lalu ia mengangkat sendok di tangannya, mengancam putranya agar diam dan tidak memancing amarahnya.

Pria yang duduk di kursi kepala keluarga hanya menggeleng, "Chen Hong, turunkan sendokmu. Kita sedang di meja makan dan kalian terlihat tidak menghargai makanan dengan berdebat di hadapan makanan."

Arthur Chen menyeringai mendengar sang ayah akhirnya bersuara, ia melihat pada satu-satunya wanita di ruang makan yang terlihat kesal, seperti matanya akan mengeluarkan api.

Akhirnya mereka diam dan kembali menikmati makanan. Kepala keluarga, Chen Kaige yang sudah selesai makan lebih dulu membersihkan mulutnya perlahan setelah meminum segelas air putih yang sudau di siapkan.

"Arthur, bagaimana perkembangan perusahaan akhir-akhir ini?" tanya Chen Kaige.

Arthur Chen menoleh pada ayahnya lalu menjawab, "Terkendali ayah, sebenarnya ada sedikit masalah kemarin, namun aku sudah membereskannya bersama Zhou Qi dan Yibo-ge."

Chen Kaige mengangguk, "Kau sudah semakin dewasa, aku harap kau bisa bertanggung jawab untuk perusahaan kita ke-"

"Lihatkan? Kau hanya terus membicarakan soal pekerjaan dengan anak kita, pa kau harus memaksa Arthur untuk mencari seorang calon istri untuk keluarga ini!" ujar Chen Hong memotong perkataan suaminya.

Chen Kaige menghela napas lelah, "Airen, jika kita memaksa Arthur untuk berkeluarga secepatnya, aku ragu dia belum siap, menikah dan memiliki anak adalah keputusan pribadi yang harus ia ambil sendiri, sebagai orang tua kita hanya bisa mendukungnya."

Chen Hong terdiam, ia menatap Arthur Chen yang kembali memakan suapan terakhirnya. Setelah minum pemuda itu bangkit, membawa serta gelas dan piring kotornya. Ia melangkah ke dapur dengan tegas, namun baru beberapa langkah ia menoleh ke belakang dan berkata pada ibu-nya, "Jika ibu terus membicarakan calon istri kepadaku, aku akan pergi dan tidak akan pulang hingga ibu berhenti membicarakan topik yang sama."

Chen Kaige menggeleng melihat betapa keras kepala putra dan istrinya, ia menoleh pada Chen Hong lalu mengusap lembut kepala istrinya sayang, "Jangan memaksanya lagi, dia sudah bukan anak kecil lagi, Airen."

Chen Hong mengangguk lemah lalu mengajak suaminya untuk keluar dari ruang makan.

****

Arthur Chen mengendarakan mobilnya tanpa tujuan, ia bosan karna setiap hari terus berdebat dengan ibunya dan terus membahas topik yang sama. Tanpa sadar ia sudah mengendarai mobil selama 3 jam lamanya hingga ia sampai matanya menemukan lautan luas yang membuatnya berdecak kagum.

Pemuda itu melajukan mobilnya, mencari tempat yang sekiranya menjual minuman segar di siang hari yang panas. Akhirnya tatapannya jatuh pada sebuah kedai sederhana di pinggir pantai, terlihat sejuk dan sepi. Ia menepikan mobilnya lalu keluar setelahnya.

Ia melihat seorang wanita yang kemungkinan usianya sama dengan ibunya, Arthur Chen tersenyum ramah lalu berkata, "Selamat siang, apakah bibi pemilik kedai ini?"

Bibi itu tersenyum sambil mengangguk antusias, "Ya, ada yang bisa aku bantu?"

"Aku ingin satu buah kelapa." jawab Arthur Chen.

Bibi itu mengangguk, "Baiklah, apakah ada lagi?"

Arthur Chen menggeleng sambil tersenyum, "Tidak, terima kasih bi."

"Sama-sama, tunggu sebentar, ayo duduk dulu." jawab Bibi pemilik kedai itu.

Tak lama kemudian wanita itu kembali dengan satu kelapa muda di tangannya, ia memberikan kelapa itu pada Arthur yang sedang duduk memandangi lautan.

"Kau datang dari jauh ya?" tanya-nya.

Arthur mengangguk sambil menerima kelapa yang di berikan bibi pemilik kedai, ia menyesapnya sebentar menggunakan sedotan lalu bertanya, "Apakah disini memang selalu sepi bi?"

Bibi pemilik kedai menggeleng pelan lalu menjawab, "Bibi tidak tahu, namun bibi dengar ada mitos yang mengatakan siapapun yang melewati jembatan itu tak akan bisa kembali lagi." si bibi menjawab sambil menunjuk jembatan di depan sana.

Arthur menatap heran jembatan itu lalu menoleh untuk menatap pada bibi pemilik kedai, "Kenapa?"

Wanita tua itu tersenyum, lalu menggeleng lagi, "Tidak tahu, itu hanya mitos, baru kemarin aku melihat seorang pemuda melewati jembatan itu dan keluar dengan sehat."

Setelahnya Arthur hanya mengangguk paham lalu kembali meminum air kelapa mudanya.

"Kau akan pulang setelah ini?" tanya sang bibi

Arthur menggeleng, "Mungkin tidak? Aku bertengkar dengan ibuku karna ibuku terus memaksaku untuk menikah."

Bibi tertawa mendengarnya, "Kau belum ingin menikah?"

Arthur menghela napas lelah, "Belum ada yang menarik perhatianku bi, semua gadis yang di kenalkan ibuku sangat buruk, aku tidak suka gadis seperti mereka."

Bibi pemilik kedai itu tersenyum paham, lalu berkata, "Kalau begitu, kau harus mencoba melewati jembatan itu. Aku dengar, ada banyak wanita yang memanjakan mata di sebrang sana."

Kening Arthur mengerut, bukankah tadi bibi bilang itu hanya rumor? Lalu, kenapa ia juga bilang bahwa di sebrang sama ada banyak wanita? Apakah benar seperti itu?

Setelah mengobrol sebentar dan menghabiskan kelapanya, Arthur membayar dan berpamitan pada bibi pemilik kedai itu. Saat akan memasuki mobil, ia menatap lama jembatan yang menarik perhatiannya, ia ragu apakah ia harus melewati jembatan itu atau tidak? Akhirnya dengan rasa penasaran tinggi, ia melewati jembatan itu untuk tahu apa yang ada di sebrang sana.

Tanpa sadar, bibi pemilik kedai itu tersenyum lembut lalu bergumam pelan, "Takdirmu akan segera menghampirimu, Monsieur."

****

Arthur benar-benar melewati jembatan itu, ia melewati lautan luas dan tiba di hutan yang terlihat asri dan terang, tidak terlihat gelap dan menakutkan sama sekali. Ia terus melajukan mobilnya tanpa tujuan, matanya menyisir pemandangan indah di depan sana.

Arthur terus melajukan mobilnya, matanya menangkap burung indah yang berdiri di kap mobilnya, ia terkagum dengan waktu yang cukup lama sampai ia tidak sadar bahwa mobilnya sudah keluar jalur, saat sadar ia mendapati mobilnya sudah sangat dekat dengan pohon besar, ia menabrak pohon itu, lalu pingsan. Saat akan pingsan, di detik terakhirnya ia bisa melihat keindahan berpakaian putih dengan hiasan kepala di rambutnya, sangat cantik.

To Be Continued...

halooo bersama cerita baruku (lagi) aku harap kalian ngga bosan. oh ya, cerita kali ini aku akan ngambil sedikit alur kerajaan, jadi maaf banget kalau ada yang salah ya. karna aku ngga tau banyak soal kerajaan kerajaan, tapi aku nyoba buat ini.

Heaven Beneath the Stars (Feiyunxi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang