26 Enemy?

4.1K 350 71
                                    

Hampir setengah jam lebih Salma terduduk disofa luar, Rony ada didalam kamar nampaknya. Ia ingin menjelaskan namun urung. Tak akan mempan menjelaskan saat seseorang masih diliputi amarah. Sia-sia pikir Salma.

Ia berdiam diri, melamun. Bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Rony semakin salah paham. Salahnya juga keluar tanpa izin sekembalinya bersama lelaki. Sungguh, tak terbesit dalam benaknya jika Rony akan menyaksikan interaksinya dengan Raihan. Jujur, ia tak bercakap banyak selain 'terima kasih'.

Orang yang dilanda cemburu sulit membuka mata, ia hanya melihat apa yang dilihat dan percaya pada apa yang dilihatnya. Subjektif memang. Salma memahami itu.

"Kenapa gue pake nepok bahu si Raihan lagi ah. Makin ribet, salah paham lagi. " keluhnya.

Salma bisa menjelaskan sedetil-detilnya. Jika perlu reka adegan sekalian. Ah, Salma jadi sebal sendiri. Membujuk orang yang cemburu menyebalkan bukan? Tapi jika situasinya dibalik pun Salma akui ia pasti akan cemburu.

Cemburu itu wajar, karena tidak ada manusia yang ingin melihat seseorang yang dicintainya lebih akrab dengan orang lain bukan?

Tapi tak usah berlebihan lah...

Lama saling diam tak menyelesaikan masalah, cacing-cacing diperutnya sudah berteriak minta makan. Lapar. Salma tidak mungkin makan lebih dulu sementara ada Suaminya disini, tak sopan. Setidaknya menawari saja. Ah, mungkin jika Rony masih menenangkan diri tak masalah. Tapi ngambek pun perlu tenaga bukan?

Salma tersenyum dalam diam, lelakinya ngambek. Apa akan menangis seperti semalam? Ah, itu karena ia mengerjainya. Sekarang beda situasi. Rony lagi ngapain ya?

Salma beranjak, ia membuka pintu kamar pelan. Tujuannya untuk mengajak Rony makan, setelahnya baru menjelaskan. Ah, semoga Rony mengerti dan tidak marah berkelanjutan. Ia sudah lelah didiamkan berikut lemas karena lapar.

Pintu terbuka lebih lebar, senyum Salma tersungging melihat seseorang yang tengah bersujud. Ah, tidak. Meringkuk diatas sejadah.

Seharusnya mereka shalat berjamaah. Bukan, bukan Rony tidak mau meng-imami. Hanya saja Salma sedang libur ibadah, tamu bulanan.

Salma masuk lebih dalam, rupanya waktu dzuhur sudah bergulir setengah jam yang lalu. Ia menutup pintu pelan. Apa Rony tidur lagi?

"Mas." panggilnya, pelan.

Rony bergeming, Salma sudah mengambil posisi duduk disampingnya. Ah, rupanya tidur lagi. Atau hanya memejam?

Salma mengusap bahunya pelan, "Mas."

Salma melihat mata yang memejam itu sedikit sembab. Menangis? Ah, ia lupa lelakinya itu memang cengeng.

Tapi disatu sisi ia trenyuh. Trenyuh karena ia yakin Rony menjadikan Tuhan sebagai tempatnya berkeluh kesah. Entah apa yang diceritakannya. Salma mendadak ge-er. Pasti dirinyalah yang menjadi topik obrolan lelakinya bersama Tuhan. Mungkin...

Salma mengusap surai yang setengah basah itu, basah karena air wudhu.

"Mas..."

Rony membuka netranya perlahan, Salma menyambutnya dengan senyum. Ia bangkit. Salma menarik tangannya, kikuk. Mau langsung menjelaskan? Tidak mungkin. Ia urungkan.

"Makan yuk. " ajaknya. Akhirnya itu yang Salma ucapkan sesuai tujuannya.

Rony tak mengangguk tak pula menggeleng. Ia bangkit Salma pun demikian. Rony melipat sejadahnya.

Salma menghela napas mempertebal rasa sabar saat Rony berlalu tanpa sepatah katapun.

Rony sudah terduduk dibangku pantry, Salma melihatnya tersenyum miris. Hubungannya dengan lelaki itu sedang tak baik-baik saja. Ingin rasanya ia mendekap tubuh itu, namun urung. Rony sedang tidak bersahabat. Salma menghela napas, lagi. Sungguhpun ia takut menunjukan wajah didepan lelakinya. Ah, serba salah.

Hi Switzerland (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang