1. Sebuah Awal Baru

25 5 0
                                    

Pernah tidak kalian setelah selesai membaca buku yang baru saja dibeli, karena cover buku tersebut terlihat menarik dan 'ceria'.

Lalu tidak lama kemudian akhir cerita kedua tokoh tersebut sad ending dengan berbagai macam adegan yang membuat hati pembacanya sesak tidak karuan.

Seperti contohnya salah satu dari mereka mati atau terpaksa berpisah karena tidak ingin menyakiti hati satu sama lain lagi jika terus bersama.

Aku menghela napas gusar usai menutup buku bersampul pink dengan hiasan bunga-bunga yang indah. Cover buku ini benar-benar telah menipu diriku. Aku bersumpah ini adalah buku pertama dan terakhir yang aku baca.

Kenapa tidak berhenti membaca kalau ada bagian adegan yang membuat kedua tokoh tersebut akan berpisah di ujung cerita?

Jawabanku adalah aku sama sekali tidak berpikir sampai sana. Aku mengira itu hanya konflik biasa, setelahnya mereka akan kembali bersama setelah semuanya berlalu.

Dan ternyata, cerita itu sangat plot twist sekali.

Aku meneguk minumku rakus, kebiasaanku saat hatiku sedang perih seperti sekarang. Aku sangat yakin setelah menamatkan cerita sialan itu, aku akan galau berhari-hari.

Seperti saat ini, kata seandainya sedang mengerayupi pikiranku. Tau ah, pusing!

Tiba-tiba bunyi ringtone ponselku menyadarkan aku dari lamunan fana. Tertera nama sahabatku yang sudah menemani hari-hari suka dan duka dari waktu aku bertemu saat pertama kali di kelas tujuh SMP sampai aku menjadi freelancer setelah wisuda beberapa bulan yang lalu.

"Halo?"

"Halo beb, kok suara kamu kedengeran melow gitu?" tanya Nora di seberang sana.

"Biasa Nor, aku gak sengaja baca cerita yang tragis," jawabku.

"Ckckck, udah ah! Aku mau undang makan-makan di rumahku nih besok sore."

Sontak saja mataku membulat mendengarnya. "Dalam rangka apaan? Kok tumben banget kamu, Nor? Jangan-jangan kamu mau lamaran, ya?! Omaygaaatt!"

Aku bertanya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Suaraku tanpa sadar naik satu oktaf hingga membuat Nora yang di sana meringis.

"Ya makan-makan aja, Sashiii! Yakali aku lamaran, masih jauh banget tau!"

"Oalah... aku kira kan, Mas Danish mau ngajak tunangan sama kamu," kekehku di akhir kalimat.

"Kamu kurang minum deh, Sas, kayaknya. Oh iya, aku tutup dulu ya Sas, masih banyak kerjaan nih. Jangan lupa besok, kamu harus dandan cantik. Bye Sashi Sayang!"

Setelah panggilan telpon usai, aku merebahkan diriku sembari menatap langit kamar dengan perasaan hampa. Sudah beberapa bulan ini aku berada di rumah terus, karena ibuku tak mengizinkan aku keluar tanpa alasan.

Oh ibu, tidak tahu apa anakmu ini sedang butuh healing?

Tak ingin larut dalam pikiran buruk, aku memutuskan membuka lemari untuk mencari pakaian yang pas untuk dipakai ke rumah Nora besok.

***

"Weleh... anak gadis Ayah mau ke mana sore-sore sampai dandan cantik begini?"

Suara khas medok Ayah mengintrupsi pendengaranku kala aku baru saja keluar dari kamar. "Mau ke rumah Nora, Yah. Boleh kan?"

"Yaudah, tapi pulangnya jangan terlalu malam. Nanti Ibuk marah."

"Oh iya, Ibuk mana, Yah?" tanyaku ketika menyadari Ibuk tidak ada di ruang tv bersama Ayah.

"Ke tempat kawan nya sebentar. Kamu naik apa ke sana? Mau Ayah antar?"

"Nggak usah, Yah. Sashi naik ojek online aja. Bentar lagi mas ojek-nya udah sampai kok," jawabku sambil melihat layar ponselku.

Aku menyalimi Ayah saat melihat titik jalan bahwa ojek yang ku pesan sudah berada di depan rumahku. Tidak lama kemudian, aku sampai di depan pagar bercat hitam. Aku menyapa Pak Tejo─satpam yang berjaga di depan gerbang rumah Nora. Orang pemilik rumah itu muncul di depanku dengan dress bunga warna biru laut yang terlihat cocok di tubuhnya.

"Woi, Sashii!!"

Nora langsung menghadiahi ku pelukan eratnya. Aku hampir saja terjungkal ke belakang jika tidak menahan bobot tubuhku. Benar-benar nih anak!

"Ampun dah, Nor. Aku baru datang kamu langsung kayak gini. Kaget tau kamu tiba-tiba main peluk aja," omelku padanya, sedangkan cewek itu hanya menyengir kuda.

"Hehehe... aku reflek kesenangan tau pas liat kamu."

"Eleh... bilang aja kamu kangen kan samaku. Bilang gitu doang ribet,"

"Bodo Sas, bodo amat." Tanganku ingin menjitak Nora tapi urung ketika seorang wanita paruh baya datang sambil tersenyum lebar melihatku.

"Udah lama Sashi datangnya?" tanya wanita paruh baya itu yang merupakan Mama Nora.

"Nggak kok, Tan. Sashi baru aja datang." Jawabku setelah salam dan cipika cipiki dengan Tante Sonya.

"Nora, ajak tuh Sashi makan. Kamu ini gimana, sih," kata Tante Sonya sambil menyikut pinggang Nora. Aku terkekeh melihatnya.

"Aduh... iya Mah, iya. Yok Sas ke belakang rumah. Kamu bisa makan sepuasnya sampe perutmu meledak."

"Hih! Ngaco kamu, Nor!" sahutku sambil menabok bahunya. Sampai di belakang rumah, aku melihat beberapa keluarga Nora juga turut hadir. Tidak banyak sih, hanya ada kedua abang, satu kakak Nora, sepupu Nora juga Papa Nora berada di sana. Aku menyapa mereka dan berbasa-basi sebentar sebelum mengambil makan.

"Ini acara keluarga, kan? Kok aku diundang, Nor? Nggak enak nih aku."

"Tenang, Sas. Aku juga undang Mas Danish sama temennya juga kok ke sini. Jadi nggak cuma kamu doang yang ku undang."

Mulutku hanya ber'oh' ria. Aku dengan lahap memakan tusuk sate hingga mengabaikan orang-orang yang baru datang. Aku tidak peduli sih, yang penting aku harus segera memberi makan cacing-cacing di perutku.

***

Sedikit informasi supaya kalian nggak bingung nanti, aku memakai alur maju-mundur. Keterangan alurnya bakal aku kasih waktu tahun di masa lalu dan masa kini.

Yang Tak TeraihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang