Dalam istilah medis, dijelaskan bahwa kondisi mual tanpa muntah disebut dry heaving. Faktor utamanya sering kali karena kehamilan, mabuk perjalanan, atau jadwal makan yang berantakan hingga dapat menyebabkan sindrom dispepsia.
Sayangnya, dari beberapa faktor yang disebut, aku tidak termasuk salah satunya. Yang kurasakan saat ini adalah mual karena menahan gugup setengah mati. Bahkan aku merasakan kedua tanganku berkeringat dingin.
Tenggorokan ku rasanya tercekat sampai aku sulit menelan ludahku. Aku tidak salah lihat kan, orang yang susah payah aku lupakan selama 2 tahun, tiba-tiba muncul tanpa aba-aba.
Lantas mataku langsung mencari keberadaan Nora. Ah, ternyata aku kalah cepat karena cewek itu sudah menyambut kedatangan kekasihnya dan teman-teman Mas Danish.
"Eh, Sashi. Long time no see, whatsup?" Mas Danish menyapaku yang terlihat bodoh seperti anak hilang sedang makan di kursi sendirian.
Aku membalas senyuman ramah pacar temanku itu. "Kabar Sashi baik, Mas. Mas Danish gimana kerjanya?"
"So far so good, sih, Sas. Walaupun penuh struggle. Tapi saya nyaman-nyaman aja." kata Mas Danish dengan suara ademnya.
Duh Nora, beruntung sekali dirimu memiliki laki-laki dewasa macam Mas Danish.
Netraku menangkap tubuh jangkung seorang lelaki ketika ia berjalan ke arah kami. Mas Danish menoleh saat sosok jangkung itu menepuk bahunya. Aku langsung mengalihkan pandangan, berpura-pura mengambil makanan yang tak jauh dari jangkauanku.
"Dicari yang lain, Nish," suara berat itu mengalun indah di telingaku. Aku tertegun dalam diam, mencoba untuk menekan diriku yang sudah tidak karuan di tempat.
"Oiya Sas, kenalin ini teman kuliah saya dulu, namanya Arfan. Seingat saya, kamu juga alumni SMP Pelita, kan?" Mas Danish bertanya langsung.
Mas, aku udah tau nama teman kamu itu dari jaman masih bau kencur. Bahkan dia orang yang aku taksir selama 4 tahun asal Mas Danish tau aja!!
Di saat dalam keadaan seperti ini, Nora malah menghilang. Jantungku bertalu-talu kala mataku bertubruk pandang dengan Mas Arfan yang diam melihatku. Orang ini... tidak berubah dari dulu ternyata. Wajah datar itu masih sama dengan versi dewasa yang sekarang.
Aku berdehem pelan agar suaraku tidak terdengar bergetar. "Iya Mas," kataku pelan.
"Waahh... kenalin nih, Ar, bestienya cewek saya. Sashi namanya," Mas Danish balik mengenalkan aku pada Mas Arfan.
Tanpa diduga, Mas Arfan menyodorkan tangan nya kepada ku. Aku mematung sebentar, tidak percaya dengan apa yang telah dilakukannya. Apakah itu artinya Tuhan mengabulkan doaku malam ini jika dulu aku sangat ingin merasakan genggaman tangan Mas Arfan?
"Arfan,"
"Sashi,"
Aku balas menjabat tangan nya. Tanpa sadar aku menahan napas tatkala tanganku berjabat tangan dengan nya walau cuma sebentar. Namun hal itu membawa efek yang besar untuk diriku.
Rasanya aku tidak rela harus mencuci tangan. Anggap lah aku sangat lebay sekarang.
Setelah Mas Danish dan Mas Arfan pergi dari hadapanku, aku segera masuk menuju dapur untuk mencari Nora. Aku kesal padanya, mengapa Nora tidak memberitahu jika teman Mas Danish yang lain adalah Mas Arfan?
"Nora!" Panggilku saat melihat gadis itu sedang berkutat di dapur.
"Hah, ada apa, Sas? Eh! Itu mukamu kenapa kok merah? Kamu pasti makan sambel kebanyakan nih, fix!"
"Bentar, Nor! Bukan itu masalahnya!" sahutku gemas padanya.
"Lalu ada apa, Sas?" tanya Nora sambil menatap ku lurus.
"Kamu dari mana aja, sih, tadi?"
Nora menunjukkan potongan mentimun yang sudah menjadi jus. "Sori. Aku gak sempat nemanin kamu, tetiba langsung di tarik ke sini sama Kak Nika."
Aku menarik napas sebentar. "Kok bisa, Nor?"
"Hah?"
"Kok bisa kamu nggak pernah kasih tau aku kalo Mas Danish temanan sama Mas Arfan dari jaman kuliah?" tanyaku pelan. Takut terdengar orang lain.
"Mas Arfan? Maksud kamu Arfan Askarava mantan gebetan kamu dulu?" Pekik Nora kaget. Aku reflek menutup mulutnya sambil melototi cewek itu.
"Iya."
"Sumpah, Sas! Aku nggak ngeh sama sekali kalo itu dia." kata Nora merasa bersalah. "But... are you okay, Sas?"
Aku menggeleng kepala sambil menunduk lesu. Nora yang melihatku langsung menepuk-nepuk bahuku.
"Apa aku perlu usir si Arfan itu biar kamu gak sedih kayak gini lagi?"
Aku mendongak cepat. "Jangan! Aku bukan sedih, lebih ke... masih ngerasa kaget sama kejadian tadi." jawabku tidak sepenuhnya berbohong.
"Maksud kamu?"
"The first time I had physical contact with him. And I still feel speechless." Ucapku to the point.
"Kok bisa?!"
Aku mengendikan kedua bahuku. "Siapa lagi kalo bukan cowok kamu itu, Nor. Mas Danish ngenalin aku ke Mas Arfan dan sebaliknya. Jadi... yah, begitu lah," jelasku.
"Yasudah Sas, hidup kan kadang gak ketebak. Mau gak mau, suka gak suka, kamu harus terima semua itu." kata Nora sambil membawa jus timun. Kami berjalan menuju area belakang rumah yang penuh diisi musik nyanyian.
Benar kata Nora, mau setidaksuka apapun, pada akhirnya aku harus menerima yang sudah terjadi, 'kan?
"Abis gosip kalian, ya? Pantesan lama buat jusnya," celetuk Mas Nolan selaku Abang ketiga Nora─di sebelahku.
"Dilarang komen kalo nggak ikut bantu." tembak Nora langsung.
"Galak banget adek saya. Kok kamu betah temenan sama dia sih, Sas?" bisik Mas Nolan padaku. Aku tertawa mendengarnya hingga tanpa sengaja mataku melihat Mas Arfan yang sedang menatap ke arah aku dan Mas Nolan. Mataku langsung beralih ke lain arah.
I miss your tan skin
Your sweet smile
So good to me, so right
Ah, mengapa deskripsi lagunya pas sekali tentang Mas Arfan yang dulu?
Aku memejamkan mata sebentar untuk menghilangkan pikiranku yang berkecamuk. Tanganku mencari ponsel untuk melihat jam. Ternyata sudah pukul 9 lewat malam. Aku mendapati pesan dan panggilan telfon tak terjawab dari Ayah dan Ibuku. Tanpa babibu, aku langsung menelfon Ayah yang ternyata sudah berada di depan rumah Nora.
"Nor, aku pulang dulu, ya? Ini Ayahku udah telfon dari tadi," ucapku dengan nada cemas.
"Mau aku anter, Sas?" tawar Nora.
Aku menggeleng, "gak usah, Nor. Aku udah dijemput Ayah." tolakku.
"Aku anter sampe depan ya, Sas,"
"Nggak usah, udah sana kamu temenin Mas Danish aja, aku gak mau ganggu kalian. Oh iya, aku titip salam ke Mama sama Papa kamu ya. Maaf buru-buru pulang."
"Gapapa Sas, santai aja. Nanti aku titipin kok ke Mama dan Papaku." Nora memelukku.
"Loh, udah mau pulang, Sas?" tanya Mas Danish menyadari aku yang sedang buru-buru.
"Iya nih, Mas. Udah dijemput Ayah di depan. Duluan ya, semua!" Aku melambaikan tangan pada yang di sana. Ku sempatkan untuk melirik ke arah Mas Arfan, sekilas aku melihat senyuman tipis terbit dari bibirnya.
Kalau sudah begitu, apakah artinya move on selama 2 tahun hanya wacana belaka?
***
Halo, terima kasih sudah membaca cerita ini. Maaf kalo masih banyak sekali kurangnya. I'll try to do my best!
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Teraih
ChickLitA short story | Selesai. Di masa lalu, Aku dan kamu pernah berada di dalam satu takdir. Bukan menjadi teman, bukan pula musuh. Hanya dua orang asing yang memiliki beberapa kenangan. Setelah berabad-abad yang lalu tidak bertemu, hari itu kamu datang...