32.

3.2K 355 37
                                    

..





Max merangkul Wilona yang terlihat lelah. Kabar mengenai Adik bungsu yang tak kunjung pulang itu membuat seluruh anggota keluarga panik.

Bahkan sang Nenek dan Kakek tak berhenti memanggil kontak mereka menanyakan apakah Azura sudah di temukan.

Tak biasanya Adik kecilnya itu lambat pulang, atau menghilang tanpa kabar. Biasanya ada kabar dari sang wali kelas titipan Roan ataupun dari sang penjaga sekolah yang tiap hari mengawasi sang anak.

Semuanya kacau dan rusuh. Ketidakhadiran Azura sekarang membuat mereka panik.

Semenjak mengantar kepergian kedua kekasihnya. Anaknya tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

Frustasi kemana hilangnya mereka.

Sesal membiarkan Anaknya pergi sendirian. Harusnya dia ikut. Atau paling tidak para kakak-kakaknya ikut.

Nyatanya sekarang di sini, Azura pada akhirnya menghilang. Rosa bahkan hanya bisa duduk melamun.

Padahal para bawahannya sudah di kerahkan, sebanyak mungkin. Namun tetap saja nihil. Sulit untuk di cari.

"Akses semua cctv yang ada di bandara! Kenapa kalian lelet!" Teriakan Roan mengusik mereka.

Melihat pria itu murka tentu menjadi hal baru bagi mereka. Roan adalah pria dengan penjagaan emosi tertinggi. Jika Dia sudah marah, maka. Dia sedang tak baik-baik saja.

Leon dan Andy sama-sama keluar setidaknya berusaha mencari di mana Azura. Dan dengan begitu hati mereka sakalian mencari kepuasan.

..

Zuya terbangun dari lelap pejaman matanya.

Tubuhnya terasa remuk dan berat saat Ia mencoba untuk menggerakkan-nya, tangannya mengudara ingin melepas kain yang melintang menutup mulutnya.

"Kamu bangun?"

Suara menakutkan itu kembali terdengar di telinganya, membuatnya tersentak. Zuya mulai mencoba bangkit dan menghindarinya dengan buru-buru.

Ingatannya memutar kembali pada kejadian semalam. Saat laki-laki itu menyetubuhinya dalam keadaannya demam tinggi.

Tidak bisa melawan karna rasa pening dan mual yang membuatnya ingin pingsan.

Ketika terbayang saat laki-laki itu membuka paksa bajunya. Membuka paha dan menyetubuhinya dengan kasar.

Wajah Zuya memucat.

Dari pada hubungan seksual. Itu lebih cocok di sebut sebagai penghukuman.

Namun, hukuman apa yang harus di terima Zuya bahkan saat Ia tak melakukan kesalahan apapun yang sekiranya begitu fatal.

Laki-laki itu maju dan mendorong tubuhnya hingga terjatuh kembali di atas kasur. Menekan punggung Zuya untuk membuat tubuh bagian depannya menempel sempurna pada kasur hingga tak bisa bergerak.

Lalu kembali memasukkan kepemilikannya pada Zuya yang tak bisa berteriak dengan mulut yang tertutup sepotong kain melintang ke belakang kepalanya.

Meski memberontak. Kekuatan remaja lemah seperti Zuya tak akan berhasil melawan dominan di belakangnya.

Hingga waktu berlalu.

Ketika si lelaki lengah, dan Zuya mencoba kabur dengan merangkak. Dia akan menariknya kembali, menekannya menjadi lebih keras.

Ketika Zuya berusaha mendorong si lelaki. Tangannya akan di tahan di belakang punggungnya, bahkan rasanya seolah tulangnya hampir patah.

"Kalo Aku ngga bisa dapetin kamu. Siapapun juga ngga bisa." Ujaran itu penuh penekanan dan ancaman.

Seolah Ia adalah barang buruan yang amat sangat di inginkan.

Zuya merasa tercekik. Lehernya di tekan saat bagian belakangnya terasa sakit dan bengkak.

Dia terbatuk dengan air mata yang kembali turun.

Saat Lelaki itu memperkosanya dengan keji. Zuya hanya bisa meronta dengan hasil nihil.

Hanya terdengar suara geraman dan nafas memburu. Suara tabrakan kulit yang menyakiti gendang telinga Azura.

Ketika tengah mencoba mendinginkan pikirannya, matanya membola saat tiba-tiba saja, pisau menancap kasur tepat di depan wajahnya yang tengah menghadap ke samping.

Membuat Zuya menahan nafasnya.

"Kamu mati di tangan aku? ... Atau hidup di tangan Aku?"

Lelaki itu mengangkat tangan. Menarik dagu dan memaksa wajah Zuya untuk menatapnya, mengecup pipi Azura.

"You have should known, you belong to me."

Zuya lagi-lagi membisu. Memangnya apa yang dapat di keluarkan dari mulutnya saat otaknya masih kosong.

Dengan begitu, Dia

Memaksa Zuya melayaninya.

Memaksa Zuya menerima ciumannya.

Memaksa lidahnya masuk ke dalam mulut Zuya.

Padahal. Air mata Zuya turun di segala senggama yang tengah lelaki itu paksakan padanya.

Dulu, lelaki itu yang selalu menyuruhnya untuk tak menangis.

Dulu, lelaki itu yang selalu menghiburnya saat bersedih kala itu.

Dan terus mengatakan omong kosong yang menegaskannya bahwa Ia tak boleh menangis. Lalu?

Apa maksudnya. Jadi Zuya boleh menangis jika itu karna Dia? Lantas apa bedanya?

Mengapa dahulu dengan susah payah memperlakukannya dengan manis jika sekarang Ia di perlakukan seperti hewan.

Itu menakutkan.

Menyeramkan lebih dari apa yang telah Ia lalui sebelumnya.

Seolah semuanya telah di rancang dengan begitu sempurna saat Ia ingin kabur.

Ini tidak seperti ... Lelaki itu sudah merencanakannya sedari awal benar?

Tubuhnya kembali di kekang. Tersentak-sentak hingga Ia ingin kembali menutup mata.

"Mnh!"

Menahan desahan kurang ajar yang membuatnya merasa jijik dengan dirinya sendiri.

Pinggangnya sakit. Perutnya nyeri. Bibir anusnya perih.

Tenggorokannya kering, dan hidungnya sulit menghirup udara.

Azura lupa meminum obatnya. Bagaimana bisa obat penting itu Ia lupakan.

"Kita di takdirin buat jadi satu sayang."

Zuya menggelengkan kepala dengan lemah. Menelan salivanya dengan susah payah. dengan mata yang hampir menutup, Azura membuka sedikit mulutnya.

Mata coklat itu menatap si dominan dengan pasrah.

"Just kill me now ... Ian."

..

Azura (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang