Kisah yang Sama

60 18 17
                                    

Bangkit berulang kali, sakit setiap kali, dan remuk acapkali datang menghantuiku. Hidup berkali-kali, dan mati terus terjadi. Waktu demi waktu membangkitkanku tanpa pernah memikirkan betapa bosannya aku mengulangi kisah yang sama.

Kembali lagi, senyum yang pernah lekang setiap kali bertemu dengannya. Tanganku tak mampu meraih wajah cantiknya.

Aku terhimpit pada takdir kutukan yang menyiksaku tiada henti.

Kelam malam waktu itu, saat Isabelle mengabari bahwa di perutnya ada segumpal daging bakal penerus hidupku, sontak saja bulir bening meluruh. Betapa bungahnya diriku mendapat kabar itu.

Dadaku kembang kempis menahan gejolak kebahagiaan yang membuncah mendengar kabar merdu dari Isabelle.

"Nathan, ini anak kita," ungkap Isabelle dengan melukiskan lengkung sabit di wajahnya. Rambut coklat bergelombang yang panjangnya sepunggung tersibak angin malam.

Manik netra kecokelatan milik Isabelle berbinar terang seperti kelip bintang. Di sudut netranya, bulir bening menggenang. Isabelle menyeka sejenak sementara senyumnya tidak pernah hilang.

"Nathan, apakah anak ini akan tampan sepertimu atau cantik sepertiku?" Netra Isabelle kembali membasah.

Tanganku menangkup kedua pipi Isabelle. Kukecup keningnya dengan lembut. Kemudian, kuberikan senyum terbaikku.

"Isabelle, tentu saja dia akan tampan sepertiku dan cantik sepertimu."

Senyum Isabelle semakin merekah. Bahkan, lengkung sabit itu seakan tidak bosan terlukis di bibirnya.

Malam itu, kami menghabiskan malam di gedung penginapan milik kerajaan seraya menatap awan kehitaman di atas sana bersama dengan bintang dan bulan yang bersinar terang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, kami menghabiskan malam di gedung penginapan milik kerajaan seraya menatap awan kehitaman di atas sana bersama dengan bintang dan bulan yang bersinar terang.

Namun, malam itu berubah menjadi malam yang begitu pekat dan menyesakkan, hanya menyisakan kepedihan. Tepat pada saat purnama tiba-tiba diselimuti awan hitam, sebuah sihir menyiksa kami.

Entah cahaya apa yang membawa kami kepada dimensi lain. Bisik ngeri terdengar. Ia berkata, "Nathaniel, kamu tidak akan pernah bisa kembali ke dunia ini sebelum dirimu bersatu dengan Isabelle. Rasakanlah kutukanku!"

Aku terbelalak. Mataku mendelik dengan peluh keringat di dahi. Kutatap atap rumah yang di atas menggantung lampu bohlam.

Aku terhenyak. Lagi-lagi kembali bermimpi saat aku berada di negeriku, bukan di dunia ini. Entah sampai kapan aku berada di sini dengan terus mengulang kisah yang sama.

Kepalaku menoleh pada jam beker yang berdering nyalak, membuat runguku terasa pengang. Jam itu ada di atas nakas bercat biru langit. Aku menekan tombol di atas jam, membuatnya menjadi diam.

Pukul menunjukkan 7 malam tepat. Aku kembali terbelalak. Ah, jadwalku membuka kedai telah tiba!

Aku bergegas bangkit dari kasur, ternyata aku ketiduran hampir satu jam. Aku segera bersiap sebelum karyawanku mengomel.

The Endless LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang