Pagi yang Menyesakkan

38 15 16
                                    

Beberapa hari berlalu.

Setelah permintaan Edward diajukan malam itu, Isabelle tak pernah mengunjungi kafeku lagi. Mungkin ia sibuk memilih gaun dan cincin. Aku tak peduli, sebab mengingatnya malah semakin membuatku terusik.

Pagi ini, aku hanya ingin menghirup udara segar sebelum kembali membuka kedai. Rasa-rasanya sejak kemarin dadaku terasa sesak.

Aku benci hatiku yang malang karena mencintai Isabelle. Ah, apa yang membuatku sampai terus begini?

Alesha.

Nama yang masih menjadi misteri. Jika boleh, aku ingin bertemu dengannya lagi dan meminta pertanggung jawaban sebab wanita itulah yang membuatku dan Isabelle menderita!

"Lucy!" teriakku memanggil kucing yang selalu mampir ke apartemenku. Kucing hitam dengan mata biru membuatku terpana.

Ah, diingat-ingat lagi setiap kali aku berinkarnasi, aku selalu mempunyai kucing. Mungkin Alesha sedikit "baik" padaku dengan memberikan kucing sebagai pelipur lara karena melewati banyak rintangan di setiap kehidupan.

Kucing menjadi salah satu hewan yang selalu membuatku damai saat Isabelle berulang kali membuat hatiku lara.

Kupasangkan tali cokelat dari kulit kerbau di leher Lucy. Di tengah tali itu terpampang tulisan "Lucy". Ya, kucing hitam itu sekarang sudah jadi milikku.

Setelah semua persiapan selesai, aku menarik tali itu, membawa Lucy menemaniku untuk merilekskan diri. Seperti biasa, kami hanya berjalan-jalan kecil di dekat perumahan.

Pagi ini, mentari tidak begitu menyengat. Aku sudah memakai kaos oblong putih dan celana pendek hitam yang panjangnya selutut.

Tak lupa topi hitam juga dengan tulisan "Good Boy" yang dibordir dengan benang putih terpasang di atas kepalaku. Sementara kakiku mengenakan sepatu kets yang kubeli kemarin.

Kulirik sekitar, beberapa orang yang lewat menyapaku seakan kenal. Ada Madam Ella, Bibi Perl, dan Paman Hardian. Mereka selalu saja menyahut namaku dan memberi salam padaku meski kami jarang berbincang.

Lucy terus mengeong, mungkin kucing putih berbulu lebat itu sedang mendendang saking riangnya diajak jalan-jalan pagi.

"Apa kamu sedang bahagia, Lucy?" Aku mengambil posisi jongkok untuk menggendong Lucy. Kemudian kucing betina itu kudekap seraya kuelus bagian ujung kepalanya.

Baru saja aku bangkit, tiba-tiba ada seorang gadis berdiri di depanku memasang wajah terkejut. Binar netranya begitu cerah.

Kedatangannya membuat lututku melemas, jantungku kian menari hingga ingin loncat dari tempatnya. Aku membeku sejenak tiap kali berdiri di hadapannya, siapa lagi jika bukan Isabelle?

"Na-Nathan?" Isabelle menyapaku dengan terbata seakan ia tertimpa nasib sial pagi ini karena harus bertemu denganku.

"Hm." Aku berdehem singkat, lalu mengalihkan pandanganku pada Lucy yang kugendong dengan anteng.

"Kamu ... jalan-jalan pagi?" tanya Isabelle kemudian berusaha mencari topik konversasi di antara kami. Terlihat dari raut wajahnya, ia tampak kewalahan menghadapi sikap dinginku.

Netraku beralih pada Isabelle yang tersenyum canggung seperti gadis pemalu. Ah, aku tak peduli. Sikapnya selalu membuatku bingung.

"Ya," jawabku singkat tak mau menanggapi lebih. Jujur saja aku ingin segera mengakhiri percakapan yang tak berarti ini. Lagi pula, selama aku bersama Isabelle, itu akan semakin mengoyak isi hatiku.

Aku tak sanggup menatap wajahnya yang akan dirias dengan cantik dan mengenakan gaun super memesona minggu depan. Rasanya dadaku dihimpit oleh kesakitan berkali-kali.

The Endless LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang