Roti Bakar yang Dingin

41 15 10
                                    

"Nathan, aku ingin jadi kucingmu biar setiap hari dipeluk olehmu, karena di sisimu ... rasanya sangat nyaman."

Suara Isabelle memanja telah menyapa runguku. Aku teringat momen saat aku dan Isabelle sebelum terkena kutukan reinkarnasi.

Kala itu, kami baru saja menikah beberapa minggu. Aku duduk di dekat kolam kerajaan seraya memangku kucing putih berbulu lebat dan berbadan gempal.

Kucing itu adalah milik kerajaan dan setiap hari selalu menemaniku di mana pun. Entah mengapa tiap kali kupeluk hewan berbulu itu, rasanya begitu nyaman seperti aku memeluk Isabelle.

Namun sore itu, Isabelle merengut manja sebab seharian aku hanya mengurusi kucing putih ini.

"Ada apa, Sayang, bukankah aku selalu memelukmu?" Aku mengelus pucuk kepala Isabelle setelah gadis itu mengambil posisi tepat di sampingku. Kami duduk di pinggir kolam dengan air mancur berbentuk bunga mawar.

"Tetapi seharian ini kamu sibuk." Isabelle mendaratkan kepalanya di pundakku. Aroma apel dari rambut cokelat Isabelle menusuk hidungku. Aku mendengusnya dengan kuat, bau itu ... aku sangat menyukainya.

Kukecup pucuk kepala istriku dengan lembut, sementara tanganku yang sebelah kiri mengelus kucing di pangkuanku.

"Maaf, Isabelle. Setelah Ayahanda meninggal, aku harus giat lagi mengurusi kerajaan." Aku berdalih memberi alasan padanya.

Isabelle sebenarnya mengerti, hanya saja sikapnya yang selalu manja kepadaku membuat diri ini tak bisa berkutik.

"Baiklah. Tapi kalau Yang Mulia ada waktu, berikanlah sedikit waktumu untukku." Isabelle mengangkat kepalanya dari pundakku.

Matanya yang bulat menatapku lamat-lamat. Bibir plump-nya yang berwarna merah jambu memasang senyum penuh asa.

"Iya, Sayang." Aku menaikkan kedua sudut bibirku.

Sore itu, kami menghabiskan sisa hari bersama. Rasa-rasanya, setiap detik aku melaungkan kalimat kesyukuran pada Tuhan atas nikmat ini. Hatiku dipenuhi kebahagiaan bilamana berada di sisi Isabelle.

Namun, saat ini aku harus merelakannya. Di kamarku yang gelap dan pengap, tak ada lagi senyum Isabelle. Aku tak dapat merasakan kehangatan tubuhnya, bahkan aroma khas darinya terasa hampir memudar.

Mendadak terpikirkan olehku, mungkin saja Alesha hanya mengirimku ke dimensi lain dan menguji diriku dengan sosok Isabelle, padahal sosok itu bukanlah Isabelle yang sesungguhnya. Istriku itu pasti ada di suatu tempat. Semakin dipikir, perasaan rinduku kian membuncah.

Aku yang duduk di atas kasur empuk bersama Lucy, tak sadar jika air mata sudah menganak sungai membasahi pipiku. Rasa nyeri di dada mengingat sosok Isabelle terus menghantuiku.

Kuremas dadaku, sesekali kutepuk dengan keras agar rasa sakit di dalam sana menguar.

Lucy terus mengeong seakan berkata padaku bahwa semua akan baik-baik saja. Namun Lucy, tidak semudah itu. Sudah banyak kehidupan yang kulewati dan berakhir menyedihkan. Aku penat dengan luka-luka ini, rasanya amat menyiksa diriku.

Kuangkat Lucy dari atas kasur. Kupeluk tubuh gempalnya. Tangisku kian pecah membayangkan Isabelle di kehidupan kali ini menikah dengan Edward. Rasa nyeri di dada semakin membuncah.

Tanpa sadar, aku sesenggukan. Malam ini, aku ingin sekali meluapkan segala gundah dan sesak di dalam dada. Aku hanya ingin menangis sepuasnya atas luka yang selama ini terpendam nyata.

"Isabelle!" teriakku dalam satu nada tinggi sampai membuat Lucy ikut mengeong begitu keras.

Bibirku gemetar, dadaku kembang kempis, mataku sudah basah dan hampir membengkak.

The Endless LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang