Autopsy

3 0 0
                                    

Jasad Eve dibawa oleh kepolisian ke salah satu Rumah Sakit terbesar untuk dilakukan Autopsi dan pengambilan sampel cairan janin untuk keperluan tes DNA. Usia kandungan Eve kurang lebih sudah 3 bulan dan memudahkan pihak kepolisian mengambil sampel. Dengan sekuat tenaga dan terus di temani oleh Anya, aku mengikuti segala prosedur, mulai dari introgasi sampai pengambilan sampel rambut dan darahku untuk kemudian dicocokkan dengan DNA janin.

Sudah seharian aku berada disini bersama Anya. Sampai aku lupa belum mengabari apapun kepada Lyvia. Kemudian aku memutuskan untuk mengirim Chat kepada Lyvia memberitahukan kondisi saat ini, tentu saja dengan sejujurnya, aku tak mau membohongi Lyvia lagi, cukup besar rasa bersalahku. Chatku terkirim dan sudah centang dua, tetapi belom ada respon atau tanda-tanda Lyvia online. Mungkin Lyvia sedang istirahat, kondisi tubuhnya belum kembali 100%.

Sambil menunggu, tiba-tiba seorang polisi bersama seorang wanita berusia sekitar 30-an datang menghampiriku. "Mas Damian, ada yang ingin bertemu, silakan mbak!" Ucap seorang polisi yang bernama Ali.

"Plak!" wanita itu menamparku tiba-tiba. "Lelaki brengsek, bajingan, kamu udah hamilin Eve, kamu biarin Eve mati mengenaskan, sekarang kamu minta tes DNA untuk janin yang di kandung Eve" Teriak Tina, kakak Eve di wajahku. Anya seketika menarikku dan dia berhadapan dengan Tina. "Mbak tolong jangan asal main nampar sepupu saya ya, lagian juga belum tentu Damian yang menghamili Eve. Tunggu saja hasilnya, jangan sampai Anda mempermalukan diri sendiri!" tegas Anya membelaku.

Dokter forensik yang menangani jasad Eve keluar dari ruangan Autopsi. Beliau dokter Effendi memang sudah terkenal akan kemahirannya menebak kasus berdasarkan hasil autopsi. "Dokter, bagaimana hasil autopsi Eve?" tanyaku dan Mbak Tina berbarengan. "Dilihat dari kondisi tubuh Jenazah, diperkirakan meninggal murni karena terpenggal, tidak ada ciri atau luka penganiayaan. Diduga senjata yang digunakan pelaku seperti pisau daging, atau pisau besar yang memang sangat tajam." Kami semua hening, mbak Tina makin histeris. "Lalu, untuk DNA, untung saja cairan sampel janin masih dalam kondisi baik, jadi masih mungkin dilakukan tes DNA, hasilnya mungkin dalam 2 minggu" Lanjut dr. Effendi sambil menatapku. "Apakah tidak bisa dipercepat dokter?" tanya Anya. "Sebetulnya bisa saja, jika memang pertimbangan dan faktor pendukung memungkinkan" lanjut dr. Effendi. "Tolong dokter dipercepat" lanjut Tina. "Baiklah, kami akan mengusahakan hasilnya secepat mungkin, dan nanti hasilnya akan saya infokan kepada Mas Damian, dan keluarga alm. Eve, saya permisi" Ucap dr. Effendi sambil berlalu.

"Ingat ya Damian, aku gak akan pernah maafin kamu jika memang hasilnya terbukti itu anak kamu, aku bakal bikin perhitungan dan pembalasan untuk kamu!" ancam Tina padaku. "Sebelum hal itu terjadi, saya akan melaporkan Anda pada kasus pengancaman terhadap saksi" bela Anya lagi. Aku hanya bisa terdiam. Mbak Tina pergi. "Dam, kita pulang yuk, kasian Lyvia" ajak Anya. Aku mengikuti Anya rasanya tubuhku juga lelah.

Aku dan Anya akhirnya tiba di Asrama. Membuka pintu kamar dan mendapati Lyvia duduk mengerjakan tugas kuliah yang tertinggal selama belum mengikuti kuliah kembali. Lyvia berbalik dan memelukku. Memeluk Lyvia rasanya mengisi kembali energi yang kosong. "Ehm, liat-liat dong kalo mau pelukan, pacar saya jauh nih!" tegur Anya. "Sirik aja sih! Susulin Kevin gih ke California!" sahutku. "Udah-udah biasa pada berantem deh" Lyvia menimpali. "Lyv....Lyv... suaramu balik?" Anya mendorongku dan memegang bahu Lyvia. Lyvia mengangguk mengiyakan. "Ah, Syukurlaaaahhh...." Pekik Anya sambil memeluk Lyvia. "Anya, nanti aku tidur disini ya please, males pulang kerumah" Mohonku pada Anya. "Ngungsi lagi deh ke kamar Rori sama Diana" Keluh Anya. "Giliran sekarang aja baru deh baik sama Lyvia, kemaren-kemaren kemana aja bro? Yaudah bye, jagain Lyvia awas kalo kenapa-kenapa!" Ucap Anya melanjutkan dan pergi ke kamar Rori dan Diana.

Sepeninggal Anya, aku kembali memeluk erat Lyvia. Mencium keningnya dan seluruh wajahnya. Baru kusadari wajah Lyvia tidak kalah cantik dengan alm. Eve. Sedikit perubahan berpakaian mungkin agar bisa terlihat lebih memukau, ditambah dengan sifat manja mungkin bisa jadi semakin mirip dengan Eve. Aku memang masih belajar menerima dan mencintai Lyvia, tapi Eve mungkin akan tetap menempati sisi hati tersendiri. Maafkan aku Lyvia, aku terlalu pengecut dan brengsek dalam waktu bersamaan. Akupun mengajak Lyvia untuk tidur. Tidak ada hal lain yang kulakukan, hanya tidur sambil memeluk Lyvia, saat ini sepertinya cukup.

........................

Seminggu berlalu sejak kematian Eve, dr. Effendi mengabarkan hasil tes DNA janin bisa diambil, berikut hasil autopsi lengkap Eve. Pukul 10 pagi, aku dan Anya kembali mendatangi Rumah Sakit. Disana kami bertemu Mbak Tina, kakak dari alm. Eve. Dokter Effendi menyerahkan hasil DNA padaku dan hasil autopsi lengkap pada Pak Ali, Polisi yang bertugas untuk kasus Eve. Kami ber 5 berada di ruangan dr. Effendi. "Baiklah, sebelumnya saya persilakan Pak Ali untuk membaca hasil Autopsi alm. Eve" dokter Effendi mempersilakan pak Ali untuk membacakan. "Hasil autopsi alm. Eve, berdasarkan hasil pemeriksaan menyeluruh, tidak ditemukan luka penganiayaan, serta tidak ditemukan sidik jari ataupun bukti lain yang bisa mengarahkan pada pelaku. Motif pembunuhan dendam pribadi, karena tidak ditemukan benda berharga jenazah Eve menghilang. Kasus terpaksa dihentikan karena kurangnya bukti adapun bukti berdasarkan CCTV yang beredar dipastikan editan pihak yang tidak bertanggung jawab." Ucap pak Ali. Mbak Tina mencoba menahan emosinya.

"Selanjutnya untuk pembacaan hasil DNA, saya selaku dokter Effendi mewakili Mas Damian dan Saudari Tina sebagai kakak dari alm. agar tidak ada kecurigaan atau perselisihan dikemudian hari". Kami semua mengangguk setuju. "Hasil pemeriksaan DNA antara saudara Damian dan janin dalam kandungan alm. Eve adalah 0%, tidak ada kecocokan antara keduanya." Ungkap dokter Effendi.

"Tuh kan aku bilang apa Dam sama kamu, bener kan feeling aku!" Ucap Anya. "Gak, gak mungkin dokter, gak mungkin itu bukan anak lelaki ini, gak mungkin Eve hamil anak laki-laki lain, pasti ada kesalahan, mungkin saja dia curang dok!" Tuduh mbak Tina padaku. Aku mengusap kasar wajahku dengan tuduhan itu, sekaligus merasa sedih dan lega bersamaan. Sedih karena jujur aku masih mencintai Eve, lega karena aku terbebas dari ancaman mbak Tina. "Saya tegaskan tidak ada kecurangan baik dari pihak saudara Damian ataupun sebaliknya, karena kedua sampel saya dan tim forensik kepolisian lah yang mengambilnya!" dokter Effendi menengahi. 

Mbak Tina terduduk dilantai. Aku mengerti kesedihan yang dialami mbak Tina. Tapi apa mau dikata, anak itu bukanlah anakku dan aku tidak tau itu anak siapa. Aku terlalu tergila-gila dengan Eve sehingga aku percaya saja dan tidak mencari tahu dengan siapa dulunya Eve berhubungan. Seingatku 3 bulan lalu, saat kami mulai dekat Eve mempunyai pacar bernama Roger, dari cerita Eve, dia sering dikasari oleh Roger makanya dia meminta agar aku menjaganya. Tapi apa mungkin anak itu anak Roger? Kebetulan aku tahu kantor Roger tak jauh dari kampusku. Mungkin aku harus mencari tahu sendiri antara sesama laki-laki.

Sebelum pulang, aku memutuskan menemui dokter Effendi kembali. "dokter, saya ingin menanyakan apakah sampel DNA janin masih ada? Jika saya bukan ayahnya, saya mencoba mencari tahu dok". Bisikku pada dr. Effendi. "Tentu saja masih, tapi sampel tersebut tidak bisa bertahan lama, kurang lebih masih bisa untuk 3 hari lagi, apakah mas Damian bisa membawakan sampel DNA lain untuk prosesnya dalam waktu 3 hari tersebut?" tanya dr. Effendi. Aku hanya mengangguk ragu, tapi apa salahnya kucoba.

Ego - The BeginningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang