Biar bacanya enak, mendingan vote dulu, deh. Karena vote kamu adalah penghargaan sepadan untuk kerja kerasku. Tararengkyu : )
Aku menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. "Semuanya baik-baik saja," gumamku untuk menenangkan diri.
Aku ingat saat pertama kali bertemu Frena di tempat ini, di Corner Cafe sekitar sebelas bulan yang lalu. Saat itu ia sedang berkumpul bersama teman-temannya. Aku menghampiri mereka, mengajak berkenalan dan akhirnya kami terlibat dalam pembicaraan yang seru. Setelah perkenalan itu, aku seakan tersedot masuk dalam grup mereka. Kami jadi sering bertemu dan saat itulah Frena perlahan-lahan mencuri perhatianku. Dari keempat gadis itu, dia yang paling menarik di mataku. Dia jarang bicara dan sesekali tersenyum atau tertawa menanggapi gurauan kami. Saat aku bertanya tentang dia ke teman-temannya, aku baru tahu kalau Frena baru putus dari pacarnya. Mungkin itu yang menyebabkannya jadi pendiam.
Dengan bantuan teman-temannya juga aku berhasil mendekatinya. Mereka pandai membuat situasi agar kami bisa ngobrol berduaan. Lama-lama kami pun semakin akrab. Dan dari wajahnya yang semakin riang, kami semua yakin kalau Frena sudah melupakan mantannya. Bahkan aku mendengar dari temannya kalau Frena juga tertarik padaku. Dan seakan semuanya sudah tertulis dalam sebuah skenario cerita romantis, kami pun pacaran pada bulan ketiga setelah perkenalan itu.
Rasanya, aku belum pernah merasakan pengalaman seperti yang aku alami ketika bersama Frena. Apa kamu pernah melihat pasangan yang bergandengan tangan dan terlihat mesra, selalu tampak romantis dan seakan dunia hanya milik mereka berdua? Dulu aku berpikir kalau semua itu palsu. Aku pikir mereka cuma pamer kemesraan dan ingin membuat iri orang-orang yang melihatnya. Padahal kalau sedang berdua di tempat sepi, mungkin saja mereka bertengkar, atau setidaknya tidak semesra itu.
Tapi bersama Frena, anggapan itu hilang perlahan-lahan. Kami selalu mesra dan nyaris tidak ada pertengkaran. Semua tentang dia adalah indah dan bahagia. Itu yang aku rasakan ketika bersamanya. Dia penuh perhatian. Dia juga pandai mengekspresikan rasa cintanya. Dengan tertawa, cemberut menggemaskan bahkan menangis. Dan ia juga mengatakan betapa ia takut kehilangan aku. Awalnya, aku berpikir kalau itu hanya emosi sesaat karena hubungan kami yang masih baru. Tapi sampai bulan-bulan selanjutnya, ia masih menampakkan hal yang sama. Dan itu yang membuatku yakin untuk mengajaknya menikah.
Aku dan dia juga punya pemikiran yang sama tentang pernikahan dan bagaimana menjalani hidup sebagai pasangan. Dia ingin tetap bekerja dan meningkatkan karirnya. Aku sangat setuju. Aku juga berpikiran kalau kehidupan sosialnya sehat, maka hubungan kami pun akan bahagia. Termasuk dalam hal ini adalah pencapaian-pencapaian pribadinya. Tentang anak-anak, kami juga sepakat bahwa mereka adalah berkah sekaligus tanggung jawab. Kami harus memikirkannya dulu jika ingin memilikinya karena pasti akan ada perubahan dalam kegiatan sehari-hari kami. Jadi, aku menyerahkan keputusan masalah ini padanya. Dan tentang tempat tinggal, kami suka rumah dengan area berkebun yang luas. Ya, kami suka berkebun!
Kalau kalian pikir aku terlalu bodoh karena berkhayal sejauh itu, maka dengarkan yang satu ini. Aku sudah melamarnya dan dia terlihat bahagia saat mengenakan cincin dariku. Dan kami sudah membicarakan topik tentang pernikahan ini sejak lama. Jadi, jangan khawatirkan aku!
Aku melihat jam tanganku. Hampir lima belas menit aku menunggunya. Aku menerka-nerka masalah yang ingin ia bicarakan denganku. Ketika aku sedang meeting di kantor tadi, ia meneleponku. Ia bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting. Mungkin berkaitan dengan persiapan pernikahan kami. Aku kasihan padanya. Dialah yang paling repot karena rencana kami ini.
Aku melihat kedatangannya dari balik jendela kaca. Ia tersenyum padaku meskipun wajahnya menampakkan kelelahan. Dan ia langsung mendekat ke tempat duduk favoritku yang berada di dekat jendela. Dari sana aku bisa melihat mobil-mobil yang berhenti ketika lampu merahnya menyala. Juga seorang pengamen yang memainkan biolanya. Orang-orang yang lewat kadang melemparinya sebuah koin tapi pengamen itu seakan tak peduli. Sayup-sayup permainan biolanya terdengar olehku. Alunannya indah dan mendayu-dayu. Aneh, dengan permainan seperti itu, seharusnya ia bisa bergabung dengan sebuah orchestra atau grup musik. Atau bisa juga membuka kursus untuk anak-anak yang ingin bisa memainkan alat musik itu. Kenapa malah mengamen?
Saat Frena duduk di hadapanku, ia tak langsung bicara. Ia tahu aku sedang menikmati alunan suara biola itu. Tapi akhirnya, akulah yang membuka percakapan setelah cukup lama kami hanya duduk dan saling diam. "Kamu kelihatan capek banget."
Ia mengangguk tanpa semangat.
Aku meraih tangannya. "Kamu kenapa?"
Ia menunduk di hadapanku. Tak berapa lama, bahunya terlihat berguncang. Oh God, dia menangis dan dia menyembunyikan wajahnya dariku. Kedua tangannya yang aku pegang balas meremasku dengan kuat seakan menahan sebuah kepahitan. Namun aku belum mengetahui alasannya menangis seperti itu. Saat ia mengangkat wajahnya, aku melihat tatapannya yang sayu. "Ga," ucapnya lirih. "Aku pikir kita terlalu tergesa-gesa."
Aku merasakan kegusaran dalam kata-katanya. "Apa maksud kamu?"
"Aku merasa kita nggak ada kecocokan lagi," lalu ia berkata lirih sekali. "Aku mau kita putus."
Serasa beban berat menekan pundakku. "Putus?" Aku tak percaya dengan pendengaranku. Dan aku terus menatapnya. "Kenapa?"
"Aku nggak bisa jelasin sekarang."
"Apa kamu nggak bahagia?"
Dia hanya menunduk. Dan lama sekali tak ada jawaban. Atau mungkin dia memang tak berniat menjawab pertanyaanku. Dia hanya menggeleng-geleng tanpa berani menatapku.
Aku terus menatapnya. Menit demi menit berlalu tanpa ada percakapan. Aku berusaha mengingat-ingat kembali kebersamaan kami selama ini. Aku mencari-cari kesalahan yang mungkin pernah aku lakukan padanya. Tapi aku tidak menemukannya. Aku merasa tidak melakukan kesalahan yang membuat perpisahan menjadi jalan satu-satunya. Yang sekarang ada dalam benakku hanya kesimpulan bahwa hubungan ini sudah diputuskan secara sepihak. Dan sepertinya, aku tidak mempunyai daya apapun untuk memperbaikinya.
"Baiklah." Aku berusaha tegar, tapi tidak bisa. "Tapi aku minta kamu jujur. Kasih tahu aku apa alasannya. Biar aku nggak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan," ucapku pasrah.
Matanya bergerak-gerak dengan cepat menampakkan keraguan. "Kamu nggak punya salah. Kamu baik banget, Ga. Tapi itu justru jadi beban buat aku. Aku merasa nggak bisa ngasih balasan yang sama ke kamu."
"Aku nggak nuntut macam-macam dari kamu." Dari matanya, ekspresi wajahnya dan suaranya, aku tahu kalau ada sesuatu yang ia sembunyikan. "Kenapa kamu terima lamaranku?"
"Aku nggak enak kalau harus nolak kamu," jawabnya lirih. "Aku belum siap buat pernikahan, Ga. Dan kita nggak mungkin melangkah mundur. Jadi... "
Aku memandang cincin yang melingkar di jari manisnya. Itu cincin yang aku berikan saat aku memintanya menikah denganku. "Nggak masalah kalau kita menunda rencana ini."
"Tapi aku nggak bisa." Ia melepaskan cincin yang melingkar di jarinya dan meletakkannya di depanku. "Maafin, aku, Ga." Dan ia pun pergi sementara aku masih terpaku di kursiku.
Meskipun ramai, tapi kafe itu terasa senyap di telingaku. Hanya alunan biola itu yang aku dengar. Alunannya yang mendayu-dayu seakan menjadi irama dari kesedihanku. Semua kenanganku bersama Frena melintas kembali dalam pikiranku. Kini, ia pergi justru ketika aku hendak mengikatnya.
Aku menatap gamang keluar jendela. Langit sedang mendung dan titik-titik air mulai berjatuhan. Aku melihat pengamen itu yang sudah menghentikan permainan biolanya. Ia membereskan peralatannya dan berteduh di depan kafe. Dan aku sendiri bangkit dari tempat dudukku dan hendak berjalan menembus hujan. Jarak gedung apartemenku hanya sepuluh menit berjalan kaki. Aku tidak peduli jika harus berbasah-basahan dan kemudian sakit. Aku justru ingin merasakan kesakitan lain selain sakit hati yang aku rasakan sekarang.
Aku beranjak keluar dari ruangan kafe. Saat melewati pengamen biola itu, aku mendengarnya bergumam tidak jelas. Aku berbalik dan menunjukkan raut muka bertanya padanya.
Tapi ia nampak jengah dengan tatapanku. "Apa?"
"Kamu bilang apa tadi?" tanyaku.
Ia nampak ragu saat akan menjawabnya. "Ini yang ketiga kalinya minggu ini."
"Apanya yang ketiga kali?"
"Orang yang putus cinta di kafe ini." Ia mengarahkan pandangannya sejenak ke arah lain. "Kamu tahu apa yang kamu perlukan dalam sebuah hubungan? Terutama biar kamu nggak sakit hati?"
Aku menatap sinis padanya. "Apa kamu mau sok pintar di depanku?"
"Aku memang pintar," ujarnya dengan percaya diri.
Aku meninggalkannya begitu saja dan berjalan menembus hujan.
"Sombong sekali," gumamnya agak keras.Sepertinya, ia sengaja agar aku mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengakuan Si Cowok Sempurna
RomanceNamanya Dirga. Dia mapan dan sukses. Dia juga ramah dan romantis. Aku sering melihatnya datang ke kafe bersama kekasihnya. Kelihatan sekali dia sangat mencintai dan memuja wanita itu. Dirga yang selalu mengenakan celana katun dan kaos polo, yang sel...