Bab 3 Koq manggilnya Om, sih?

37 0 0
                                    

Paginya, aku langsung menuju stasiun. Sengaja aku menggunakan kereta agar bisa sekalian beristrahat. Naik Cirebon Express dan turun di Tegal. Keluar dari stasiun, adikku Adit langsung nongol dengan motor bebeknya. Ternyata dia yang menjemputku. Namun sampai di rumah, ibuku malah langsung memintaku mengantarkannya ke suatu tempat. Padahal aku masih pengin tidur.

"Hus! Udah, nurut aja. Nggak ada waktu lagi," jawab ibuku waktu aku hendak menolak dan meminta Adit saja yang mengantarkannya.

Aku mengantarkan ibuku dengan kijang kapsul milik bapakku. Aku pernah menawarkan untuk mengganti mobil lawas ini tapi bapakku menolaknya. Dia bilang merawat mobil ini lebih mudah. Kalau ada masalah mesinnya, dia bisa mengutak-atiknya sendiri. Dan lagi, usia mobil ini lebih cocok buat dia.

Baiklah, aku tidak ingin memaksa. Tapi adikku, dia minta BMW yang biasa aku pakai harian di Jakarta. Bapakku menentang keras.

"Hidup sederhana, Dit! Kakakmu nggak akan jadi seperti sekarang kalau dulu punya pikiran kayak gitu. Kamu silahkan beli yang bagus nanti, tapi dengan jerih payahmu sendiri."

Itu nasehatnya. Tapi aku hafal dengan tatapan mata adikku saat itu. Jadi, kami berunding sebagai anak muda yang pasti aku tahu obsesi-obsesi saat seusianya dulu. Aku setuju untuk membelikan sebuah motor sport yang spesifikasinya berada di atas motor bebek yang biasa ia pakai. Dan aku mengingatkan dia agar jangan membantah perintah orang tua, itu saja.

"Kita mau kemana sih, Bu?" tanyaku ketika mulai dilanda rasa penasaran.

"Ke rumah teman ibu," jawabnya singkat.

Aku masih curiga. "Terus kenapa mesti aku yang ngantar?"

"Kamu keberatan nganterin ibu?"

"Ya, nggak gitu. Biasanya kan si Adit yang nganterin ibu. Aneh aja. Aku yang baru pulang malah diajak jalan jauh. Disuruh pakai pakaian batik, lagi. Resmi banget. Mencurigakan," candaku.

Ibuku hanya tersenyum. "Boleh kan, kalau ibu ngasih lihat ke teman ibu. Nih anak yang ibu banggain udah sukses di Jakarta. Udah jadi bos!"

Aku tertawa, lalu terdiam. "Bu," ujarku lirih. "Kalau orang nanya aku di Jakarta kerja apa, bilang saja kalau aku karyawan di sebuah perusahaan, ya."

"Ibu ngerti. Ibu juga nggak pengin pamer. Tadi ibu cuma bercanda."

Mobil kami melaju ke arah perbukitan di daerah Bojong. Lingkungannya masih hijau. Pohon-pohon besar berdiri kokoh di kanan-kiri jalan. Di belakang pohon itu terdapat petak-petak sawah yang berundak-undak. Dan jauh di belakang sana, nampak juga hutan jati dengan daun yang masih hijau. Mereka seakan menjadi tembok yang membatasi siluet gunung yang berdiri megah di belakangnya. Dan keindahan itu berpadu dengan semilir angin yang terasa sejuk.

Aku membuka jendela mobilku dan menghirup udaranya dalam-dalam. Segar sekali.Dalam jarak beberapa kilometer, kadang terlihat jalan sempit menuju perkampungan. Aku membelokkan mobilku memasuki sebuah gerbang pedukuhan sesuai arahan ibuku. Sawah, kandang ayam di tengah sawah, petani-petani yang beristirahat di gubuk menjadi pemandangan sepanjang perjalanan.

Meskipun kegiatan masyarakatnya masih tradisional, rumah-rumah di sana sudah terlihat mewah. Genteng-genteng yang di cat mengkilat, pagar-pagar tinggi dengan garasi yang berisi traktor atau karung-karung beras.Jalanannya sudah beraspal kasar dan di kanan-kirinya terdapat selokan dan tiang telepon. Namun ibuku tak menyuruhku berhenti di salah satu rumah itu. Mobil kami masih berjalan pelan hingga sampai di jalan tanah yang becek. Kontur jalannya menurun.

Dan dari sana, aku bisa melihat pemandangan perbukitan dan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Hanya ada beberapa rumah sederhana yang tertangkap mataku. Dan ibuku menyuruhku berhenti di depan sebuah rumah tanpa pagar yang letaknya membelakangi sungai.Dua orang yang sepertinya suami istri keluar dari rumah begitu aku menghentikan mobilku. Mereka berdiri menyambut ibuku dengan senyuman ramah.

Pengakuan Si Cowok SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang