Bab 4 Cuma orang ketiga

25 1 0
                                    

Kami berdiri di tepian lahan yang luas. Tanahnya masih kosong dan hanya ditumbuhi tanaman liar setinggi betis. Letaknya di samping jalan besar sehingga kami bisa melihat kendaraan yang berlalu lalang. Dari tempatku berdiri, aku melihat perbukitan yang mengelilingi kami. Semuanya nampak hijau dengan embun yang mengambang di atasnya. Terik matahari tak membuat kami kepanasan karena udara sejuk yang menyentuh kulit.

"Dari sini sampai ke dekat hutan itu," ucap ayahku tak henti-hentinya tersenyum. "Kamu beruntung, Ga."

Aku mengernyitkan kening, tak tahu maksudnya.

"Tanah ini sudah banyak yang ngincer. Tapi untung saja, bapak kenal baik sama pemilik lamanya. Jadi, waktu dia berniat menjual tanah ini, dia tawarin dulu ke bapak."

"Gimana dia bisa tahu kalau... bapak punya duit?"

Bapakku tertawa. "Bapak ceritain sedikit tentang kamu."

Aku mengangguk-angguk. "Oh."

"Dia juga nitip salam buat kamu. Katanya kamu diminta main ke rumah dia."

Aku menatap penuh selidik."Dia punya anak gadis. Cantik loh orangnya."

Aku terdiam, lalu nyeletuk. "Memangnya, Bapak pengin aku punya istri berapa?"

Kami tertawa terbahak-bahak. Beberapa orang yang lewat di dekat kami ikut tersenyum melihat keakraban bapak dan anak ini. Dari kejauhan, aku bisa melihat seseorang yang aku kenal. Itu Ratih sedang mengendarai motornya menuju ke arah kami. Ia tersenyum dari jarak beberapa meter. Aku membalas senyumnya. Ia berhenti di dekat ayahku dan bersalaman dengan mencium tangannya.

"Mau kemana, Rat?" tanyaku mendadak.

"Mau ke... " lagi-lagi ia kebingungan. "... rumah temen."

Nampaknya ia sedang tergesa-gesa. Jadi, aku mempersilahkannya melanjutkan perjalanan. Ia meninggalkan sebuah senyum manis ketika melewatiku. Dan aku menatapnya dari belakang hingga motornya mencapai jalan besar.

"Jadi, kamu pengin tanah ini ditanamin apa, Ga?" Ayahku mengamatiku yang tengah melamun. "Tenang aja. Kalau jodoh nggak akan kemana."

Nasehat klasik. Kalau jaman sekarang nasehat itu dipelintir jadi, 'Kalau jodoh harus dibawa kemana-mana'.

"Kalau menurut bapak gimana?"

"Bisa ditanamin tebu."

"Kalau apel?"

"Waduh!" Bapakku menepuk jidatnya. "Kalau itu belum lazim disini. Bapak mesti nyari orang yang punya ilmunya dulu. Jadi, kamu pengin disini ditanamin apel?"

"Terserah Bapak saja. Yang penting nggak merepotkan dan nggak jadi beban pikiran. Ya, daripada tanahnya nganggur. Kan juga bisa jadi pekerjaan orang-orang sini."

Ayahku mengangguk-angguk. "Berarti tanah ini mesti dipersiapkan dulu kalau begitu." Ia berpikir sejenak. "Ah! Bisa minta bantuan sama Pak Karna. Dia kan punya traktor yang gede. Sekalian kita sewa orang-orangnya."

"Pak Karna yang... "

"Iya. Yang bapaknya si Ratih punya hutang sama dia."

"Bapak kenal sama dia?"

Ia merengut sebentar. "Ya, kenal lah. Dulu bapak kan pernah kerja di tempatnya dia."

"Emang dia kaya banget ya, Pak? Menurut bapak, orangnya gimana?"

"Kaya lah, pastinya. Dan orangnya lumayan baik. Itu motor CB yang dulu kamu pakai, emang belinya dari siapa? Dari Pak Karna. Bapak beli setengah harga dari dia."

Pengakuan Si Cowok SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang