2 - Perjalanan: Stagnan

2 0 0
                                    

"Kamu, kapan berhenti menemuiku di sini?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku, membuat Dera berhenti menyesap kopi panas di tangannya lalu meletakkan cangkir di atas meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu, kapan berhenti menemuiku di sini?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku, membuat Dera berhenti menyesap kopi panas di tangannya lalu meletakkan cangkir di atas meja.

Dia mengernyitkan kening. "Berhenti bicara omong kosong," balasnya. "Aku mau bertemu kamu."

Ya, 'aku mau bertemu kamu', satu di antara puluhan—bahkan ratusan–kalimat yang selalu dia ucapkan setiap menghabiskan waktu bersamaku. Ditemani secangkir kopi panas dan segelas coklat dingin, di sinilah kami selalu bertemu setiap dua hari seminggu—Senin dan Rabu—di Dignity Café. Oh, apa perlu aku ralat? Karena pada awalnya aku lah yang mengunjungi kafe ini terlebih dulu-sendirian. Lalu Dera, tanpa izin dariku tiba-tiba menduduki kursi kosong di hadapanku, menampakkan senyuman hangat yang selalu dia berikan cuma-cuma pada setiap orang yang dia temui. Baju kaos oblong hitamnya yang lusuh, celana jeans hitam dan rambut acak-acakannya yang tertutup topi hitam selalu tersaji di hadapanku.

Entah bagaimana, kegiatan ini menjadi rutinitasku dan dia. Aku sendiri tidak pernah bosan selalu menjadi yang pertama datang dan yang terakhir pulang demi melihat segala hal yang ada di kafe ini di sela-sela mengerjakan tugas dari dosenku yang terus ada sepanjang semester. Tetapi, Dera? Tidak adakah alasan lain selain itu? Bukan apa-apa. Mendengarnya mengatakan itu selalu memberikan efek aneh di dada dan rasa panas di pipiku yang sudah aku pastikan bukan berasal dari kopi panas di tangannya.

Lantas aku menunduk, memandang balok-balok es kecil yang mengapung di dalam coklat dinginku. Perlahan mereka mencair, lalu bergabung menjadi partikel berukuran sama dengan coklat cair itu sendiri—sama sepertiku yang mulai sadar dan melebur dalam kenyataan di antara aku dan dia. "Okay," hanya kata itu yang dapat kupikirkan saat ini.

"Dee," aku dapat mendengar Dera menghela napas, terdengar lelah. Sama, sebenarnya aku juga lelah, "berapa kali aku harus meyakinkan kamu kalau aku tidak main-main? Aku ke sini untuk mengatakan kalau perasaanku ke kamu itu nyata. Aku cinta sama kamu, Dee. Why can't you see that?"

"Nyata?" sahutku seraya mendongak, lalu berdecih sinis. "Bukankah kata cinta yang kamu katakan itu sendiri cuma terminologi untuk sesuatu yang semu, Dera? Aku berhenti menjadi ideali. Perspektif realistis lebih baik untukku sekarang. Tidak ada yang namanya cinta. Bodohnya aku terlambat untuk menyadari hal itu."

Tangan kanan Dera bergerak untuk menyentuh tanganku di atas meja, tapi langsung kutepis halus. "Dee, tolong, jangan tolak aku lagi kali ini," ujarnya dengan sorot mata lembut tapi ... kecewa? Ah, tidak. Aku pasti salah lihat. Netraku cukup sering bermasalah akhir-akhir ini.

"Aku bukan menolak. Sikapku ini cuma bentuk nyata dari kesadaranku. Jujur, aku lelah terus berputar di lingkaran yang sama. Aku ingin berhenti," jawabku lugas. Andai Dera tahu, dibalik kelugasan kata-kataku tadi, ada jiwa rapuh layaknya sayap kupu-kupu yang telah mati kala senyum Jovan kembali datang di pikiranku tanpa diundang.

Dera terperangah, seolah tidak percaya akan kata-kataku barusan. "Berhenti berputar?" tatapan tajamnya lantas berlabuh padaku, mengunci mataku rapat. Aku berharap agar dia berhenti melakukan itu. Aku ingin keluar dari binar sepasang iris hitam miliknya yang entah kenapa rasanya sulit sekali untuk dialihkan. Aku merasa aku mengkhianati diriku sendiri. "Sejak kapan kita berputar, Heidi? Selama ini kita berlari, bukan berputar. Kita memulai di garis yang sama, jadi jangan pernah katakan kita berada di lingkaran tanpa ujung."

StagnanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang