Sebelumnya, Aster tidak pernah mengerti konsep pergi. Apa alasan seseorang pergi, demi siapa mereka pergi, dan mengapa seseorang tidak berkabar saat mereka akan pergi, jangan tanya Aster tentang itu. Aster selalu berusaha mengukir garis melengkung ke atas setiap satu jiwa lari dari kehidupannya. Tanpa kabar, namun sejujurnya membakar. Aster sendiri menyadari bahwa hidupnya sudah seperti sebuah stasiun di pinggir kota yang sepi; orang-orang hanya singgah sebentar sebelum menaiki kereta yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Aster akan selamanya bergelung di dalam kesendirian yang tidak pernah ia inginkan.
Atau mungkin, tidak selamanya. Tidak setelah Aster bertemu seseorang yang mengubah cara pandangnya tentang konsep "pergi dan tinggal" yang selama ini terlalu takut ia pertanyakan.
Malam itu pukul delapan. Sepasang kaki jenjang Aster berderap maju meninggalkan pusat bimbingan belajar tempat ia menimba ilmu semenjak dua tahun terakhir. Aster sudah terbiasa sendiri dan juga mengerti bahwa Ayah dan Bunda tidak sempat untuk sekadar mengantar ataupun menjemputnya dari Fx Student Centre, pusat bimbingan tempat dia belajar setiap malam selain akhir pekan.
Sendiri, itu kata kuncinya. Dulu, Aster sempat berangkat dan pulang bersama Ruby, seorang anak perempuan yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Aster cukup dekat dengan teman seusianya itu. Namun karena suatu alasan yang tidak pernah Aster ketahui—sejujurnya, Aster lah yang terlalu takut untuk mencari tahu—pada suatu sore Ruby berhenti menunggu di depan pagar tinggi menjulang di kediaman Aster. Esoknya, netra Aster menyaksikan Ruby datang ke tempat bimbingan belajar bersama seorang anak perempuan yang tidak Aster kenali. Ah, lagi-lagi Aster hanya dapat tersenyum. Entah sudah berapa kali ia mengalami hal serupa. Tetapi tidak apa-apa. Letak pusat bimbingan belajar tempat Aster bergabung masih berada di dalam satu komplek dengan perumahannya meskipun dengan jarak yang lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Jadi tidak apa jika Aster harus berangkat dan pulang sendirian setiap malam tanpa Ruby, karena, sedikitnya kendaraan yang berlalu lalang membuat Aster merasa cukup aman.
Malam itu Aster terus berjalan. Sesekali ia menyingkirkan anak rambutnya yang menari-nari tertiup angin malam. Namun, pada persimpangan tiga jalan yang sepi, di bawah temaramnya lampu taman, langkah Aster melambat. Di sanalah Aster melihatnya untuk kali pertama. Sosok berambut acak-acakan itu memaksa kakinya untuk berhenti saat mereka berhadapan. Aster mendongak, berusaha menerka-nerka siapa gerangan laki-laki jangkung yang ia temui. Penampilannya aneh dan terkesan eksentrik. Aster tidak pernah melihat secara langsung seseorang dengan rambut berwarna perak kecuali seorang manusia yang kini menghalangi jalannya pulang ke rumah.
Setelah beberapa detik otaknya bekerja, Aster yakin sekali ia tidak mengenal laki-laki di hadapannya itu yang tampak seumuran dengannya. Mungkin saja ia adalah orang asing yang kebetulan lewat di rute yang sama dengan Aster, 'kan? Lagipula, Aster bukan satu-satunya orang yang biasa menggunakan jalan umum tersebut. Bisa jadi laki-laki itu merupakan penghuni baru di salah satu rumah yang ada di lingkungan Aster tinggal.
"Eumm, maaf," gumam Aster pelan seraya melangkah ke samping guna memberi jalan pada laki-laki asing di hadapannya.
Anehnya, laki-laki yang tidak Aster ketahui namanya itu malah bergeming. "Kamu nggak salah, jadi ngapain minta maaf?"
Muka Aster kontan memerah. Astaga, apa yang sudah ia lakukan? Mendapat tanggapan berupa sebaris kalimat bukanlah hal yang Aster harapkan saat mengucapkan permohonan maaf beberapa waktu yang lalu. Ia hanya mencoba bersikap sopan. "Maaf."
"Tuh, kan, minta maaf lagi," balas laki-laki itu seraya tersenyum simpul, semakin membuat Aster kalang kabut. "Ngeliat kamu kayak gini bikin saya jadi bingung sama manusia yang ada sekarang. Ada yang nggak ngelakuin apa-apa, malah minta maaf sepenuh hati—kayak kamu. Tapi anehnya, ada juga yang udah bikin banyak luka tapi tetap tenang-tenang aja kembali ngasih rasa sakit tanpa ada kata maaf di benak mereka. Orang minta maaf itu kalau ada salah. Kamu nggak ngelakuin apa-apa, kan? Jadi santai aja."
Santai? Mata Aster membulat beberapa saat. Bagaimana bisa ia santai saat ada orang asing yang tiba-tiba berbicara lebih dari satu kalimat padanya? Aster dan konversasi yang panjang adalah dua hal yang tidak bisa disandingkan. Ini gawat. Aster harus pulang.
Dengan saliva yang terasa menyangkut di kerongkongan, Aster dengan cepat berujar "Maaf" sekali lagi sebelum bergegas berlalu dari jarak pandang laki-laki tak dikenal yang ditemuinya itu.
◇◇◇
"Halo. Kita ketemu lagi."
Tubuh Aster sontak membeku ketika daun telinganya menangkap gelombang suara bernada ceria tidak jauh darinya. Aster tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak menoleh ke sumber suara. Benar saja, di bawah pohon cemara yang tidak terlalu tinggi berjarak sekitar satu meter dari bahu jalan, Aster mendapati seorang laki-laki tengah melambaikan tangan ke arahnya—lelaki yang sama yang dilihatnya kemarin malam. Sebuah sepeda berwarna oranye menyala tampak tersandar pada batang pohon cemara di samping laki-laki itu.
Kening Aster mengernyit. Sejak kapan laki-laki itu membawa sepeda bersamanya?
"Ma-mau kamu apa?" Aster mundur selangkah saat laki-laki itu mendekat, menyadari bahwa terasa sangat aneh jika ada orang asing yang berkeliaran di sekitarnya. Aster mulai waspada. "Saya nggak punya apa-apa."
"Saya nggak mau apapun dari kamu. Saya cuma lagi bingung."
Aster percaya bahwa manusia sering mengatakan hal yang sebenarnya berbeda dengan isi hati mereka. Seperti mudahnya meninggalkan dan melupakan, manusia juga senang berpura-pura—Aster masih bertanya-tanya mengapa. Jadi, saat laki-laki berambut perak itu mengatakan tidak ingin apapun darinya, Aster justru semakin curiga. "Bohong."
Laki-laki di hadapannya berdecak. "Ya udah kalau nggak percaya, itu hak kamu."
Hening perlahan menyergap. Kedua anak Adam tersebut membiarkan angin malam menabrak wajah mereka dengan ganas tanpa seorang pun yang berniat bersuara. Ah, Aster tidak suka ini. Aster tidak tahan bila harus bersama laki-laki asing tanpa tahu apa keuntungan yang bisa ia dapatkan. Terlebih lagi, keselamatannya juga bisa saja terancam.
Maka Aster sekonyong-konyong menunduk, bersiap-siap untuk pulang andai pertanyaan yang terlontar dari bibir laki-laki itu tidak menghentikannya.
"Kamu pikir," jeda sejenak saat laki-laki itu menahan napasnya, "kenapa orang-orang bisa pergi dari sisi kita dengan sangat mudah? Memangnya, apa susahnya tinggal?"
Aster sontak tertegun. Dipandanginya wajah pemilik rambut lebat berwarna perak itu dengan cermat. Meskipun pencahayaan yang ada sangatlah minim, Aster masih dapat menangkap sorot tak asing yang terpancar dari sepasang mata lawan bicaranya. Pikiran Aster berlari ke sana kemari tanpa arah kala dua pertanyaan sederhana yang baru saja dilontarkan padanya kembali mencuat ke permukaan. Dua pertanyaan yang sekilas terdengar sangat mudah dijawab, namun membuat Aster terjebak. Mengapa seseorang pergi? Apa sulitnya untuk tinggal?
Nyatanya Aster tidak tahu.
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pencarian
Short Story[CERPEN] ❝Kamu pikir, kenapa orang-orang bisa pergi dari sisi kita dengan sangat mudah? Memangnya, apa susahnya tinggal?❞ Pencarian ⓒ Tayya Nizami, 2017