"Hari ini Gita dirayakan," seru mereka ramai-ramai saat aku keluar dari ruang sidang dan sudah dinyatakan lulus. Aku dikerubuni teman-teman dengan antusias, disalami mereka sambil mengucapkan selamat, dipeluknya aku oleh orang-orang yang hafal sekali dengan perjuanganku selama beberapa bulan terakhir untuk mengerjakan skripsi ini. Dan memang benar hari ini Gita dirayakan. Terima kasih untuk semuanya.
Setelah yakin sudah tidak ada lagi yang datang menemuiku untuk memberi selamat atau sekedar foto, aku bergegas membereskan semua barang-barang yang lumayan banyak dari pemberian mereka sebagai pencapaianku hari ini. Ah, mereka ini sweet sekali. Tapi tetap kalah dengan Dewi yang rela menunggu diriku dari awal masuk ruang sidang sampai hari mulai gelap ini. Dengan rendah hati mau dijadikan sebagai fotografer dadakan, dan sekarang, mau pula dia jadi kuli yang membawakan barang-barangku ke mobil. Walaupun, yah sudah terlihat dari raut wajahnya yang sudah kucel sejak siang tadi karena tak henti-henti suruh bantu fotokan, sampai habis suaranya sepertinya, karena ketika diajak bicara jawabnya hanya "hemm hemm hemm" saja sudah seperti intro lagu Sabyan.
"Dewiii, thank you ya. Udah mau nemenin gue, bantuin bawain barang-barang gue. The best pokoknya," ucapku sambil nyengir lebar.
"Hemm," Dewi jawab gitu lagi, membuatku tertawa.
"Lagi puasa ngomong apa gimana mbak? Udah tenang aja, nanti story lo gue repost kok."
"Ya iyalah harus, pokoknya story gue yang pertama lo repost,"
"Terus gue do'ain juga biar lo cepet-cepet nyusul. Biar jangan stuck di bab 3 aja."
"Yee, lo nya aja kali yang kecepetan. Mau cepet ke mana, sih? Mau cepet kawin lo?"
"Yaa iyalah, udah lulus mah, tinggal nunggu yang lamar aja."
"Iya deh, gue aminin aja."
Aku hanya tertawa lebar mendengar respon Dewi. Semua barang sudah berada di dalam mobil. Dewi juga sudah berjalan menuju motornya untuk segera pulang.
Sambil beriringan, aku memerhatikan Dewi dibalik kaca mobil. Waktu mengalir begitu cepat ternyata. Padahal baru saja kemarin aku berkenalan dengan anak itu pada hari pertama masuk kelas sebagai mahasiswa. Anak kecil dengan pakaiannya yang nyentrik seperti jemuran berjalan, dan tak lupa suara serak serak berserakan yang dipaksa supaya nyaring. Tapi sekarang, bahkan badannya lebih besar dibanding aku, dan sudah punya pacar pula dibandingkan aku yang sudah menjomblo selama lima tahun. Lalu aku menatap telapak tangan kiriku, "untung gak dihinggapi sarang laba-laba," lirihku merasa kasihan terhadap diriku sendiri.
Beberapa kali ponselku berbunyi, mungkin itu pemberitahuan Instagram karena ada yang menandai, atau pesan WhattsApp dari orang-orang untuk memberi selamat yang tadi tidak bisa hadir. Aku tersenyum lagi, menikmati sore yang hangat ini, begitu kontras indah dipandang. Aku memelankan laju mobil ketika lampu merah menyala di depan. Bagus sekali, biar sedikit lebih lama aku menikmati sore yang begitu sempurna.
Aku mengambil ponsel, tidak akan aku sia-siakan langit senja berwarna orange itu. Akan aku tunjukkan kepada orang-orang bahwa langitpun mengucapkan selamat padaku yang telah lulus ujian skripsi dan tinggal menunggu ada yang melamar saja. Kacau! Pikiranku ini makin ke sini, sebentar-sebentar mengarah ke sana. Apa benar ya, di umur sepertiku sekarang ini melihat orang-orang yang menikah menjadi fomo. Ada-ada saja.
Satu pesan muncul dari Yola. Ini dia yang aku tunggu-tunggu.
"Git, congrats ya. Selamat jadi sarjana. Sorry gue gak bisa dateng. Lagian kenapa lo sidangnya hari selasa coba, kan gue kerja"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Tahun
Short StoryDi mobil aku mengedipkan mata, terasa air mata yang hangat jatuh setetes, lalu makin lama makin deras seperti keran yang dibuka terlalu kencang. Dan pada akhirnya perasaanku, pengharapanku selesai di tujuh tahun ini.