- 06

1.2K 209 126
                                    

Kalo book ini punya ost/ sountrack, kayanya itu lagu masha and the bear yg jam day😭

Ruangan ini terang mentereng. Aku berdiri dikelilingi roncean bunga hibiscus rosa-sinensis plastik pada mimbar berkarpet belukap. Aku juga disorot lampu moving head dari langit-langit panggung. Tepuk tangan dan siulan liar mengiringi acara akbar ini.

Ketika aku menunduk ke bawah, aku baru sadar. Aku mengenakan baju kurung berbahan dupioni dengan jubah kain sutra charmeuse yang menyapu permukaan lantai granit hingga undakan ke bawah. Wah. Aku menikah? Aku memandang ke sekitar. Aula ini memiliki pilar batu kulansing yang memantulkan bunyi obrolan para tamu. Bedinda-bedinda hilir mudik menawarkan segelas es tembikai dan chendul penang di atas baki pipih. Tamu-tamunya didominasi oleh orang dewasa berbusana baju penang, baju teluk belanga, atau kebaya panjang seperti milik orang-orang Brunei Darussalam.

Aku pun baru sadar, aku mencengkram seikat bunga yang memiliki label toko floristnya Ying. Karangan bunga sup-tropis dengan karton coklat pudar. Wow. Jadi ini rasanya menikah? Kayak ada manis-manisnya.

Dan tatkala pandanganku menerjang tepat ke depan, aku menemukan pengantin priaku. Wow. Wow! Ganteng! Kayak Leonardo DiCaprio pas zaman-zamannya main film Titanic. Wow, Halilintar, wow. Aku sampai menganga.

Halilintar mendekat, ia memegang daguku, dan mendongakkannya, agar pandangan kami sejajar. Halilintar lalu memejamkan mata, dan aku pun begitu. Aku dan pengantin pria itu sama-sama bersiap mempertemukan bibir ranum kami.

Di tengah jalan, kubuka mataku karena iseng, aku ingin sekali memperhatikannya dari dekat, tapi—

Aku terbangun. Mataku melotot. Alih-alih berada di pernikahanku, aku malah sadar aku kini tengah merebahkan diri di sofa kulit yang tidak empuk. Dan aku membawa dagu seseorang ke dekat wajahku. Aku spontan membanting orang itu, Solar, dan menendangnya menjauh dari sofa. Melek-melek dari mimpi, aku langsung ketemu komuk tengil Solar di depan muka.

Aku lantas bangun, dan meraba-raba tubuhku. Aku bahkan memeluk diriku sendiri, bersikap seolah aku baru saja dilecehkan oleh pria yang kubuat jatuh tersungkur di lantai.

"Kamu ngapain?" Aku bertanya penuh marah.

Solar mengelus kepalanya yang membentur lantai, "kamu yang ngapain? Kamu tarik aku pas aku nyuruh kamu tidur di kamar tamu."

Mana mungkin aku bilang, 'Gue mimpi mau cipokan sama abang lo yang gantengnya mantul-mantul—mantap betul—itu di acara resepsi kami'.

"Hayo? Mimpi apa kamu?" Solar menggoda dengan wajah kucing birahi. "Jangan-jangan—"

"HAAH! Udah-udah. Aduh, pusing banget aku. Kayaknya, kecapean, deh." Aku mengelus kepala, mengalihkan pembicaraan sambil pasang muka orang kena defisiensi insulin menahun. Kebetulan aku dilahirkan dengan bakat langka; bakat pura-pura sekarat, supaya diangkut PMR, dan bisa nggak ikut upacara hari senin. Aku mempergunakan bakat terpendam itu untuk menyelamatkan diri dari rasa malu berkepanjangan.

"Mau dipanggilin dokter?" Solar berdiri dan meninjau keadaanku dari dekat sambil menyilang tangan. "Kayaknya parah."

Benar kataku. Ini namanya bakat.

"Nggak usah. Aku prefer istirahat di apart aja. Tapi aku mau cumuk dulu." Kataku. Wah. Kalau diingat-ingat, setelah pulang dari ulang tahunnya teman sekelas Glacier, aku ketiduran di sofa. Memergoki sinar baskara pagi telah menembus gorden panjang di ruang tengah, aku jelas bekersimpulan, aku sudah menginap semalaman di kediaman Eyang Retak'ka. Seseorang menghadiahi aku selimut fleece warna abu-abu pebble. Dari aromanya ... kayak kenal.

"Ya udah. Kamu boleh ke kamar tamu. Aku anterin." Solar menawarkan diri. Aku menerima ajakannya. Setidaknya aku perlu mencuci muka, baru pulang ke apartemen untuk bersih-bersih total, mengganti pakaian pesta ini, dan kembali ke sini, memenuhi tanggungjawabku sebagai babysitternya bokemnya Solar.

Solar x Reader | Mamanya GlacierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang