Halaman 10

4 2 0
                                    

Angin berhembus dingin. Kabut mengepung semesta. Akhirnya kami sampai di pos 4 setelah melewati jalur yang sangat menyiksa. Berbeda dengan pos-pos sebelumnya, disini tidak ada gazebo yang tersedia. Hanya sebuah tenda yang berdiri dari terpal buatan warga sekitar. Aku meminta untuk beristirahat lama disini. Karena kaki sudah terasa begitu nyeri dan sakit.

Baju yang basah karena keringat membuat hawa dingin terasa seperti menusuk ke tulang. Keinginan untuk istirahat lebih lama ternyata tidak kesampaian karena hawa dingin begitu mencekam. Kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan secara perlahan-lahan. Benar-benar perlahan, 10 langkah berhenti, 10 langkah berhenti. Tidak duduk, namun hanya berhenti dan menunduk. Cara ini lumayan ampuh, karena dengan begitu aku tetap berjalan meski terbilang lambat.

Disini, di trek pendakian, sedikit tanah datar terlihat begitu menggoda. Aku tak kuasa menahan diri dan memilih untuk duduk sejenak. Juang yang sedari tadi berada di belakangku kini ikut duduk bersamaku. Bersandar pada sebuah pohon, meluruskan kaki dan mengatur nafas dengan teratur. Banda, Lara, dan Timur istirahat tak jauh dari tempat kami berdua. Kami semua seirama, berjalan bersama begitu juga istirahat. Tidak ada yang mendahului, barisan tetap sama seperti pertama kali berangkat.

Akhirnya kami sampai pada sebuah trek landai berbatu setelah melewati tanjakan yang tak kenal ampun. Entah sudah berapa kali aku harus istirahat, karena jalur dari pos 4 ke 5 sungguh menyiksa. Kami berjalan berbaris dibawah ranting pohon yang terlihat seperti menyatu. Seperti berjalan pada sebuah lorong, sungguh menakjubkan. Telapak kaki terasa begitu sakit karena berjalan diatas bebatuan. Juang terus menyemangatiku dari belakang. Langkahku yang sedikit pincang mungkin jadi alasan.

Setelah lumayan lama berjalan menahan sakit. Aku melihat secercah harapan pada garis cakrawala. Kemudian plang bertuliskan POS 5 ALUN-ALUN SURYA KENCANA menyambut. Aku langsung menatap kegirangan kearah hamparan padang hijau. Kemudian melangkah menghampiri tumbuhan edelweiss yang sedang bermekaran bunganya. Air mata tumpah seketika, pemandangan yang tersaji sungguh indah. Aku melangkah kesana kemari, kaki yang sedari tadi terasa sakit seolah hilang karena kegembiraan tiada tara. Kami beristirahat sejenak disini, sebelum kembali berjalan menyusuri alun-alun.

Langit sedikit jingga mengisi ufuk timur. Sekarang sudah jam 4 lewat. Kami berjalan hampir 10 jam dari basecamp untuk sampai kesini. Setelah lama bersantai dan mengambil foto, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat mendirikan tenda.

Surya kencana adalah padang savana yang diapit oleh dua bukit. Benar kata Banda, berjalanan disini memberikan pengalaman yang begitu luar biasa. Namun ada juga rasa frustasi, karena aku merasa seperti sedang berjalan ditempat. Setelah berjalan cukup lama dengan kaki yang sakit, pemandangan yang tersaji tetap sama, rumput liar, edelweiss, dan juga bukit. Sangat jauh, sampai pada akhirnya bukit yang berada di sebelah kiri mengerucut. Lalu terlihat sebuah gua dari kejauhan. Kami mendirikan tenda didekat mata air. Persediaan air yang kami bawa tidak banyak, dan kami akan memasak menggunakan air dari sini.

Kami saling berbagi tugas setelah menemukan tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Aku, Lara, Banda, dan Timur saling bekerja sama untuk mendirikan tenda. Sedangkan Juang memasak mie instant, dia sedari berjalan tadi sudah menggerutu lapar. Akhirnya tenda sudah berhasil didirikan. Kami pun duduk bersama-sama didepan tenda sambil menikmati makanan. Setelah selesai, aku langsung memasak air untuk membuat kopi. Kami pun tenggelam dalam perbincangan dan candaan. Bersama dengan seruputan kopi yang efektif untuk menghangatkan hawa dingin. Perlahan-lahan gelap pun mengepung semesta. Dikejauhan, terlihat langit yang tadi jingga mulai bias ditelan temaram. Aku beranjak dan masuk kedalam tenda. Aku ingin segera mengganti pakaian yang sudah lepek karena keringat. Lara sudah lebih dulu mengganti pakaiannya, sekarang giliranku.

Setelah selesai, aku membuka pintu tenda dan ingin kembali keluar. Ternyata hanya tersisa Lara dan Juang didepan. Banda dan Timur sudah masuk kedalam tenda untuk istirahat tidur sebentar. Aku menghampiri mereka berdua. Ada dua gelas kopi yang menemani perbincangan mereka. Aku pun memasak air lagi, kali ini aku ingin membuat teh. Minuman hangat sangat dibutuhkan disini. Karena dinginnya hawa terasa begitu menusuk-nusuk.

Aku larut dalam gelapnya malam dan heningnya suasana. Menatap kosong kearah purnama di angkasa. Menggenggam erat sisa-sisa kehangatan yang terasa digelas. Aku menoleh kearah Juang dan Lara. Ternyata mereka juga melakukan hal yang sama. Menatap kosong kearah purnama. Tiba-tiba angin berhembus membawa kabut. Badanku yang diterpa reflek sedikit bergetar, sangat dingin. Aku mengajak Lara dan Juang untuk masuk kedalam tenda. Aku sudah tidak kuat menahan dingin yang tersaji diluar. Mereka berdua setuju, kami pun beranjak dan masuk kedalam tenda.

DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang