02. Samudra Pasifik

0 0 0
                                    

Langit tampak mendung. Waktu sudah menunjukkan jam 2. Anak--anak sudah berhamburan keluar kelas. Beberapa guru juga bersiap pulang sebelum air dari langit mengguyur kota.

Ini sudah memasuki musim penghujan. Hujan bisa datang sewaktu-waktu. Seharusnya aku tahu itu sehingga selalu sedia mantol ataupun payung. Namun karena keteledoranku, aku selalu lupa. Padahal ibu sering kali mengingatkan.

Karena tidak ada jadwal ekstrakurikuler, aku juga bersiap pulang ketika semua anak sudah keluar gerbang sekolah. Aturan di sekolah ini memang mewajibkan guru beserta karyawan baru boleh pulang saat semua anak sudah keluar gerbang. Bahkan untuk guru piket harus pulang lebih belakangan setelah memastikan semua anak sudah tak tampak di sekitar sekolah.

Baru saja keluar dari kantor guru, gerimis kecil mulai berjatuhan. Makin lama makin deras. Dan lagi-lagi aku lupa membawa peralatan wajib saat hujan.

"Kamu ngga bawa motor, Ra?" Tanya Alea yang keluar kantor bersamaku.

"Ngga. Baru diservis."

"Bareng aku aja gimana?"

"Ngga bawa helm, mantol juga ngga bawa. Naik minibus aja. Lebih aman." Jawabku seraya tertawa kecil.

"Terus kamu ke haltenya gimana? Bawa payung kan?"

"Gampang. Halte kan cuma lima meter dari gerbang." Jawabku santai.

Kami berpisah di depan hall. Aku lurus menuju gerbang sedangkan dia ke tempat parkir. Halte cuma lima meter dari gerbang? Mungkin aku mengukurnya pakai lidi.

Di gerbang, beberapa anak masih berteduh. Ditemani satpam dan guru piket hari itu..

"Nunggu bis nya di sini aja, Mbak. Hujan. Nanti tak bantuin nyetop." Ucap Pak Rudi. Satpam yang bertugas hari itu.

"Iya, Pak. Makasih. Ini anak-anak belum dijemput?"

"Mereka naik bis, Mbak."

Satu per satu anak-anak meninggalkan area sekolah dengan bis. Tinggal aku karena bis jurusan ke daerahku belum datang. Guru piket sudah kembali ke kantor untuk bersiap pulang, sementara guru lain sudah pulang satu per satu menggunakan kendaraan mereka.

"Bukannya Mbak Kiara bawa sepeda motor?" Tanya Pak Rudi.

"Hari ini tidak, Pak. Motornya baru diservis." Jawabku.

"Ya udah, nunggu di sini aja! Kalau ke halte nanti malah basah kuyup." Ucap Pak Rudi. Aku mengangguk. Selain kehujanan, di sana belum tentu ada teman. Kalau di sini kan ada teman ngobrol. Aman juga kalau misal ada ODGJ ikut berteduh.

"Lho, Mas Samudra juga ngga bawa motor?" Tiba-tiba Pak Rudi bertanya. Aku mengikuti arah pandangnya. Dari dalam, seorang Samudra Pasifik berjalan tenang. Jantungku langsung tak karuan.

"Tidak, Pak. Motornya baru diservis." Jawabnya ketika sudah dekat.

"Lho, kok sama? Janjian ya?" Sahut Pak Rudi. Apa? Janjian? Ogah banget!

"Ngga Pak. Kebetulan aja." Jawabku cepat. Aku tak mau Pak Rudi salah paham.

"Mbak Kiara sudah ada temannya. Saya tak keliling dulu ya." Dengan tanpa dosa Pak Rudi beranjak. Aku sedikit kelabakan.

Si Laut mati hanya diam saja. Tapi suasananya sudah sangat canggung. Apalagi jika ingat perdebatan kami tadi. Aku harus segera pergi dari sini untuk menyelamatkan diri. Kecanggungan ini rasanya menggerogoti mentalku.

Sebuah bis melintas di depan gerbang sekolah. Bis itu bukan jurusan ke daerahku. Namun aku menghentikannya dan naik. Semata-mata ingin segera menghindari Laut Mati itu. Aku ingat, kalau tidak salah rumah Devi dilewati  bis ini. Mungkin sekalian aku ngecek ke sana untuk membuktikan kebenaran ucapan si Laut Mati.

My Stupid First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang