Semester 2 sudah dimulai. Tepatnya sehari setelah perayaan pergantian tahun. Yang artinya, tahun baru, semester baru, materi baru dan tentunya semangat baru (seharusnya). Tapi sayangnya anak-anak masih terlena dengan euforia libur semester dan libur tahun baru. Butuh waktu lagi untuk beradaptasi dengan jadwal sekolah yang padat. Terpaksa pada hari pertama, pembelajaran tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Selagi menunggu jam, aku merapikan beberapa buku dan berkas yang telah tak terpakai. Mungkin terpakai lagi di semester gasal berikutnya.
Suara ketukan di meja mengalihkan perhatianku dari tumpukan berkas. Aku menoleh. Pak Wirdana telah berdiri di depan mejaku dengan memamerkan senyum terbaiknya--yang aku tahu itu berarti satu hal.
"Mbak Kiara tidak ada jam hari ini?" Tanyanya penuh modus.
"Ada Pak. Jam kelima nanti."
"Hehehehe... Tukeran sama saya ya. Saya nanti harus jemput istri di rumah sakit." Pintanya sambil memasang puppy eyes--yang sama sekali tidak cocok untuk umurnya. Aku menghela napas pasrah sebelum akhirnya mengangguk.
"Terima kasih, Mbak Kiara. Nanti saya bawakan oleh-oleh."
"Lha, katanya mau jemput istri di rumah sakit, Pak. Kok bawa oleh-oleh?"
"Di depan rumah sakit kan ada orang jualan cilok. Aku beliin deh." Sahut Pak Wirdana seraya bergegas kembali ke mejanya.
"Kirain mau dibawain nasi Padang." Sahutku bercanda. Pak Wirdana hanya tertawa sebelum akhirnya keluar ruang guru.
Aku menghela nafas berat sekali lagi. Ikhlas sebenarnya menolong orang. Hanya saja terkadang seseorang suka menggampangkan sesuatu. Suka izin sesuka hati. Jadwalku yang semula ngajar kelas 9B pada jam kelima, kini harus maju menggantikan jamnya Pak Wirdana.
"Pak Wir kemana lagi?" Tanya Bu Lia menghampiriku yang sudah bersiap untuk pergi.
"Jemput istrinya di rumah sakit."
"Istrinya kenapa lagi?"
"Lha bukannya sakit? Kan di rumah sakit, Bu."
"Kemarin katanya sudah pulang, kok. Apa masuk rumah sakit lagi?" Ucap Bu Lia sedikit emosional. Kami berdua saling pandang. Ada yang tidak beres! Begitu pikiran negatif kami berdua.
"Kita harus mengawasi Pak Wir ini, Mbak. Catatan merahnya sudah mulai banyak." Bu Lia memang lebih suka memanggilku Mbak jika sedang dalam suasana santai dan tidak ada murid. "Dia sudah sering izin. Kasihan istrinya kalau cuma dijadikan alasan saja. Soalnya aku mendengar rumor negatif tentang dia."
"Rumor apa, Bu?" Ealah, aku terpancing juga untuk kepo masalah tetangga.
"Ssstttt... katanya Pak Wir selingkuh." Bisik Bu Lia sambil tengok kanan kiri.
"Astaghfirullah....!!" Aku malah berseru saking terkejutnya.
"Sssttttt!!!" Bu Lia meletakkan telunjuknya di bibir. Matanya melotot memperingatkanku untuk jaga suara. Aku mendekap mulutku sendiri dengan tangan. Sadar kalau suaraku bisa mengundang perhatian.
"Dengar darimana itu, Bu?" Kali ini aku ikut merendahkan suara.
"Sudah bukan rahasia lagi. Tapi ya, baru rumor."
Aku mendelik kesal. Baru rumor sudah bikin heboh. Bagaimana kalau ternyata hoax? Kan sama aja memfitnah. Kasihan kan, Pak Wirdana. Tapi mencurigakan juga sih. Soalnya bukan hanya hari ini dia keluar. Akhir-akhir ini dia sering izin. Entah keluar sebentar atau kadang sampai waktu absen pulang.
Udah ah, ngurusin Pak Wirdana. Aku mau masuk kelas dulu, keburu buyar anaknya. Ngobrol sama Bu Lia ini ngga bakalan selesai. Dia orangnya selalu punya topik pembicaraan. Ada saja yang dibicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Stupid First Love
Ficção GeralCinta pertama? Pasti setiap orang pernah mengalami karena ketertarikan dengan lawan jenis bisa jadi pertanda masa pubertas. Banyak deskripsi tentang cinta pertama. Namun tak selamanya cinta pertama menjadi kenangan indah.