Kening Pranoto berkerut-kerut melihat meja makannya, yang pagi ini seharusnya sudah kosong, ternyata masih berisi Kelana yang sedang menyantap sarapan.
"Kamu belum tinggal di apartemen baru?"
Kelana mengangkat wajahnya sebentar. Lalu tersenyum. "Masih mau di sini." Enggan rasanya ia mengaku pada Papa, bahwa ia malas tinggal di tempat yang seluruh perabotannya pernah dipilih bareng-bareng Rex.
"Pak Firman hari ini bakal anterin Papa seharian. Mana bisa kamu nyetir bolak-balik begitu?"
"Aku bisa, Pa. Tangan aku udah mendingan." Kelana mengangkat sedikit lengan kanannya yang masih kaku tapi tak lagi memerlukan arm sling, sementara jemari kirinya mengambil sebutir stroberi kecil dan memasukkannya ke mulut.
Lalu menjengit cepat. Astaga asamnya.
"Tumben kamu makan stroberi kecil," Papa menatap bingung. "Kamu kan nggak suka asem."
"Iya." Kelana menahan kecut luar biasa di mulut.
"Stroberi beli di mana, Lan? Kok bonyok-bonyok gitu?"
"Udah dicuci bersih kok, Pa."
Papa mengernyit pada pemandangan ganjil di hadapannya. Kelana tidak menyukai buah dan makanan apa pun yang asam. "Dikasih orang?"
Kelana berhenti mengunyah untuk sesaat. Lalu mengangguk. "Iya."
Pantas. Papa kenal betul dengan watak sang anak. Kelana bahkan tidak tega mengajukan komplen pada staf restoran pada satu ketika mereka bersantap di resto western dan menemukan ulat pada salad. Waktu kecil, Kirana gemar menyia-nyiakan masakan Mbok Muna dan Kelana lah yang menghabiskan semuanya walau makanan itu bukan kesukaannya.
"Oh iya, pagi ini Rex telepon Papa—"
Kelana berhenti mengunyah stroberinya. Rasa asam yang luar biasa menyengat itu dibiarkannya tertahan di tenggorokan.
"—katanya dia ada rekomendasi dokter Singapura yang jago buat nanganin vertigo Papa." Papa tertawa. "Ada-ada aja. Masa vertigo aja harus ke Singapur? Lagi pula kambuhnya juga cuma sesekali. Tapi, perhatian sekali ya, si Rex itu. Papa bersyukur sekali anak baik seperti kamu mendapat jodoh yang juga baik-baik. Papa tenang kalau sudah begini."
Dering nyaring dari ponsel di atas meja menyelamatkan Kelana dari pertanyaan yang sudah menggantung di lidah Papa. Papa mengambil benda itu, memandangi nama peneleponnya, dan mendesah lelah.
"Dari Tante Lina. Udah sejak tadi dia nelepon Papa, katanya mau ngobrol sama kamu."
Kelana ingin mengarang alasan bahwa ia harus segera berangkat, tapi Papa sudah terlebih dahulu menyalakan speaker untuk panggilan telepon itu.
Tante Lina, saudara sepupu Papa, langsung menyahut dengan suara cempreng. "Lama banget sih, diangkatnya? Lana, kamu di situ nggak, Lan?"
"Iya, Tante."
"Persiapan pernikahan kamu udah sampai mana, Lan?" Tante Lina menodong tanpa basa-basi. "Maksud Tante, udah milih tanggal? Gini ya, Lan. Eh, Pranoto, you juga dengerin baik-baik. Aku ini abis ketemu Suhu Aceng di Singkawang. Dia udah 'liat' hari, katanya untuk lima bulan ke depan, semuanya hari buruk. Lana sama Rexy nggak boleh milih tanggal satu puuuun untuk lima bulan ke depan. Apalagi Lana. Haduuuuuh~ kamu hati-hati ya, Lan, sisa tahun ini nggak bagus buat kamu. Bakal ada pengkhianatan, pertengkaran, kehancuran. Haduuhhh~ banyak-banyak sembahyang ke klenteng kamu, Lan!"
"Tapi saya Kristen, Tan—"
"Ngerti, nggak? Nah, hari baiknya itu waktu bulan Juli. Bagus buat Lana, semuanya akan berjalan mulus, bahagia, makmur, katanya di bulan itu Lana bakal punya anak dengan unsur kayu, cocok buat Lana yang berunsur air. Lan? Halo? Kamu jangan kurus-kurus lagi ya, Lan. Tante kemarin liat kamu kurus banget kayak tusuk gigi. Bakalan susah punya anak nanti!"