10. Love Never Dies

40 8 0
                                    


Kushina mengamati diam-diam dari jauh. Fisiknya mungkin terlihat seperti wanita berusia sekitar empat puluhan. Dia sangat modis. Tahu segalanya tentang dunia, dia belajar banyak hal selagi menunggu putranya kembali dalam pelukannya, tetapi tak pernah siap menemui suaminya bila nantinya pria itu terlahir kembali sebagai manusia biasa. 

Pria bernama Minato Namikaze tak hanya serupa. Setiap pria itu tersenyum, wajah Kushina memanas. Dia selalu ingat setiap gurat suaminya, sedih maupun senang. Kali ini pria itu pun memiliki pembawaan yang tenang, setenang terakhir kali dia mendengar suaranya yang berbicara bersamanya. Namun, setiap langkah yang akan diambilnya, Kushina justru tak berani mendekat. Dia berakhir berdiri di tempatnya hanya untuk mengamati, kemudian pergi seolah mereka tak saling terlibat.

"Tunggu sebentar," Kushina berhenti karena kaget, dia memutar tubuhnya secepat mungkin, melihat sosok tampan suaminya berlari mendekati. "Sapu tangan Anda," kata pria itu, wajahnya penuh kekhawatiran. "Apa Anda baik-baik saja?" 

"Ya, aku baik-baik saja."

Tampaknya hatinya tidak cukup baik. Namun Kushina berusaha memperbaiki wajahnya dan seolah dia akan pergi dari sana dengan seluruh ketidakpeduliannya itu. Hanya saja sesuatu menahannya, rasa rindu yang tidak lagi bisa ditahan. Dia mengamati pria yang mengkhawatirkannya itu dengan pandangan yang berbeda seolah-olah dia akan luluh dan mau memaafkan kesalahan pria itu. 

"Anda terlihat sangat pucat, istirahat dulu," pria itu berkata sekali lagi untuk menenangkan Kushina yang sepucat kapas, bahkan tak disangka-sangka Kushina menuruti saran pria itu. 

Mereka duduk di bagian sisi taman sambil melihat orang berlalu dan siang hari tampaknya menjadi dingin dengan seluruh angin yang berembus menyentuh kulit. Langit sangat cerah ketika Kushina memandanginya, terlihat ada pelangi meskipun tampaknya itu tidak mungkin, sementara pria itu memandang Kushina dengan cara yang berbeda, sampai-sampai membuatnya tidak sabar untuk menyikap rambut merah Kushina ke belakang telinga. 

"Maafkan saya," kata pria itu dengan terkejut. "Saya begitu saja melakukannya, seolah terbiasa untuk itu," Minato mengutuk dirinya sendiri yang aneh. Dia tidak pernah berperilaku lancang seperti itu kepada seorang perempuan yang ditemuinya, dan dalam hati bertanya-tanya, apa yang sedang dia pikirkan saat melakukan hal tersebut. "Apakah Anda tinggal di sekitar sini? Sejujurnya, saya sering melihat Anda," dia mulai mencairkan suasana yang canggung itu. 

"Aku memang sering ada urusan di sekitar sini." 

"Begitu ya." 

Merasa tidak ada yang ingin dibicarakan, mereka berdua malah terdiam dan hanya mengamati sekeliling. Semua terasa alami bagi keduanya, sehingga waktu cepat berlalu bahkan tanpa percakapan yang intens. Dan saat waktu berpisah itu tiba, tiba-tiba saja Minato menawarkan diri. 

"Lain kali, maukah Anda makan siang bersama saya?" 

"Bersamamu? Kenapa?" 

Minato tersenyum, dia kemudian memberikan kartu nama kepada Kushina, lantas diterima oleh wanita itu dengan sopan. Dia tidak mau menolaknya, senantiasa mengikuti kata hatinya. Apalagi terlalu banyak yang dirindukannya dari pria itu. 

"Saya tidak akan memaksa bila Anda tidak menginginkannya," kata pria itu dengan murah senyum. "Hubungi saya setelah Anda membuat keputusan." 

Tanpa mampu menjawab, dia membiarkan Minato Namikaze pergi, sedangkan Kushina tetap berada di tempatnya sambil mengamati kartu nama yang diterimanya tadi. Pria itu adalah dosen sastra tampan yang terkenal di Waseda. Usianya bisa dikatakan jauh lebih matang dan seharusnya siap menikah. Namun dia sudah mengikuti pria itu jauh dari yang dibayangkan, sehingga Kushina tahu, kalau pria sekelas Minato tampaknya tak berminat untuk memiliki kisah cinta. Pria itu tak terlihat dekat dengan wanita mana pun. 

Kushina kembali kediamannya, disambut oleh pelayan pribadinya yang sejak tadi menunggu kepulangannya. Begitu dia melewat ruang terbuka menghadap ke taman, dia melihat menantunya itu sedang minum teh sendirian. Taman di rumahnya sangat tertata, dia berdiri cukup lama melihat sang menantu yang tenang sambil melihat bunga matahari yang bergoyang karena angin. 

"Sudah berapa lama dia di sana?" 

Pelayan itu memandang Hinata sebelum menjawab pertanyaan Kushina. "Terhitung dua jam, Yang Mulia." 

Kushina tak beranjak, dia mengamati dengan penilaian yang berbeda. Sepenuhnya dia tidak membenci perempuan itu, tetapi dendam itu membekas layaknya belati di hatinya, tajam maka bila tergores sedikit saja rasanya menyakitkan. 

"Siapkan cangkir satu lagi, aku ingin duduk minum teh bersamanya." 

Tanpa menunggu balasan sang pelayan pribadinya, Kushina pergi menemui Hinata yang langsung berdiri karena terkejut dengan kedatangan ibu mertuanya. Dia pikir, dia akan dimarahi karena keluar dari kamarnya hanya sekadar minum teh, setelah Naruto menyetujuinya. Walaupun begitu, laki-laki itu masih tidak mau menemuinya, sehingga membuatnya selalu bertanya-tanya mengenai penjara di rumah ini. 

"Apa kamu tidak suka aku datang kemari?" 

"Tidak. Saya sangat senang Anda ada di sini." 

Kushina melirik sebentar, sebelum akhirnya dia menyuruh Hinata kembali duduk di tempatnya. Pelayan yang tadi pun datang dengan cangkir baru untuk Kushina, menuangkan teh di cangkir itu. Keduanya tak keburu mencairkan suasana. Masih mengamati bunga yang sama karena angin menerpanya. 

"Pasti kamu tidak nyaman tinggal di sini setelah menikah," Hinata mengepalkan tinjunya, sementara Kushina melirik sejenak. Dia dapat merasakan ketidaksukaan dari apa yang Kushina katakan. "Aku memberikan beberapa tugas kepadanya. Sejujurnya, tidak sekalipun aku menerima hubungan kalian berdua bahkan sebelum kalian terlahir kembali. Setiap melihatmu, hatiku terasa tersayat-sayat. Aku kehilangan putra dan laki-laki yang aku cintai. Apa kamu tahu berapa banyak klanmu merenggut apa yang aku cintai?" mata Kushina berkaca-kaca. "Aku tidak tahu, siapa yang mencoba melawan takdir. Aku atau kalian berdua." 

Hinata tidak tahu apa-apa. Soal klannya atau soal dia di kehidupan sebelumnya. Dia hidup dengan banyak kesialan dan ketidakberuntungan yang dihadapinya. Kalau saja Naruto tidak ada di sekitarnya, dia mungkin sudah menyerah. Benar, Naruto selalu ada di mana pun ketika aku tidak sanggup menghadapi ketidakseimbangan itu. 

Kushina berdiri setelah dia meminum habis tehnya, tanpa sepatah kata yang dapat dia dengar dari Hinata, menantunya. Namun di perjalanan menuju ruang pribadinya, dia berpapasan dengan putranya yang terlihat tampak lelah. 

"Pergilah bersamanya, meskipun sangat berat, aku tidak berhak mencegahnya. Jangan menahannya hanya karena aku tidak mendapatkan cintaku. Pergilah bersamanya, dan pulanglah kapan pun ketika kalian ingin pulang." 

Dia melewati putranya, lantas menjatuhkan diri untuk duduk di pojok ruangan sambil memeluk kedua lututnya. Ruang yang gelap tampaknya lebih baik karena bisa menyembunyikannya dari kesedihan. Seluruh hatinya dipenuhi oleh kehampaan, yang bahkan Kushina sangat merasa kebingungan, apa yang bisa dia lakukan. Setiap kali melihat orang-orang di sekitarnya, dia tidak dapat merasa bahagia. Dia pikir kelahiran putranya akan membuatnya lebih baik, tetapi sepertinya bukan itu yang dibutuhkannya. 

"Minato," gumamnya sampai dia benar-benar ketiduran. 


10. Love Never Dies, 16 Maret 2024

Bersambung

MIDNIGHT SUN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang